Bagaimana, solusinya, kan sasaran yang mau  ditembak adalah penyalahgunaan minuman keras itu yang merugikan orang lain. Penengakan hukum sampai saat ini tampaknya belum jalan.  Memang beli miras atau minuman beralkhol dimintai KTP-nya biar nggak dibeli anak di bawah umur. Nah, yang terjadi orang dewasa disuruh beli (dan mau saja) buat anak-anak "alay" mabuk.
Kadang saya bertanya, apa sih enaknya mabuk? Pelarian masalah dengan menambah masalah lain, seperti efek kesehatan? Pergaulan, oke saja kalau itu di tempat privasi bukan di tempat umum. Â Saya pernah ada di kantor kawan yang para tamunya dijamu dengan bir. Saya nggak minum dan mereka menghormati. Saya juga menghormati mereka.
Jadi urus saja moral sendiri-sendiri, okelah, asal jangan menganggu yang tidak mau mabuk. Apalagi mabuk di tempat umum bahkan di kawasan orang yang tidak suka dengan orang mabuk.Â
Bagaimana dengan menggunakan minuman keras untuk berbuat atau karena minuman keras jadi berbuat kriminal? Iya, kalau keberatan dengan RUU Larangan Minuman Keras itu. Pihak yang menentang mencari solusi: cari cara lewat UU lain untuk perberat hukuman bagi kriminal yang mabuk atau diberi sangsi berat bagi yang memberikan minuman keras bagi orang yang tidak berhak, misalnya anak di bawah umur.
Lalu bagaimana menindak minuman oplosan, apa ada regulasi lain yang bisa digunakan? Saya bukan orang hukum. Makanya bagi para penentang RUU itu tunjukan caranya menindak beliau-beliau ini. Saya tidak hitam putih menilai orang mabuk. Kalau dia sendiri yang terkena akibatnya. Moral emang relatif: tetapi kalau berbuat kriminal lain cerita.
Mungkin juga ada "win-win solution", Perda Larangan Minuman Keras untuk daerah tertentu bisa dibuat dan jangan dicabut oleh Kemendagri atau diganggu pihak lain. Kalau perlu diperkuat.
Tahu sama tahu saja. Sekalipun mungkin berdampak bagi pariwisata daerah itu: Ya, sudah terima saja, pengambil keputusan di daerah tersebut tahu kok risikonya.  Saya lebih suka  cara ini sebagai kompromi ketimbang UU yang mengikat secara nasional.  Sebab keberadaan minuman keras boleh jadi kearifan lokal di satu daerah, tetapi di daerah lain justru bertentangan.  Iya, jadi daerah yang larang dan ada yang tidak.
Bagaimana dengan daerah seperti Jakarta yang plural, kriminalitasnya karena minuman keras juga nggak bisa dianggap sepele dan banyak anak "nongkrong" yang mabuk membuat resah? Â Apa tempat penjualan minuman kerasnya dibatasi, tidak di minimarket atau pasar swalayan yang bisa diakses sembarangan orang dengan mudah?
Jual saja di pub, kafe, hotel berbintang, tempat yang diberi tanda. Untuk kepentingan wisata atau pihak yang memerlukan alkohol untuk kepentingan ritual, privasi atau apa kek yang nggak kriminal bisa ke sana. Yang menjual akan lebih mengindetifikasi siapa yang beli dan ikut bertanggungjawab.
Kalau ada kasus kriminal karena mabuk, tinggal cari tahu di mana mereka peroleh minuman keras dan tempat yang jual ditenda karena menyalahi kepercayaan atau dicabut "kepercayaan" itu. Kalau beli oplosan ya, harus ditindak lebih keras, sudah kriminal, ilegal lagi. Yang buat oplosan harus ditindak. Nggak ada alasan karena nganggur, jual oplosan. Banyak yang menganggur, tetapi cari kerja baik-baik, seperti pelaku UKM dan mereka sabar.
Kira-kira begitu padangan saya, sekadar meramaikan tantangan Kompasiana dengan Topik Pilihannya. Kalau ada salah kata dan keliru terbuka untuk dikritik. Maaf kalau banyak pakai bahasa tidak baku untuk tulisan ini.Â