Lebih dari sepekan silam, akun Instagram Miles mengunggah serangkaian foto beserta cerita perjalanan Miles selama 25 tahun terakhir. Pada fase baru usianya, Miles Films hendak menghadirkan lebih banyak karya yang beragam.
Bagi saya Miles Film adalah pelopor kebangkitan film Indonesia kontemporer, setelah lama tertidur karena mati suri pada 1990-an. Â Kalau pun ada film Indonesia 1990-an didominasi film menghadirkan sensualitas yang mendominasi film bioskop kelas bawah, sementara untuk menengah atasnya didominasi film Hollywood.
Para pemilik production house yang kuat secara modal lebih suka melirik sinetron di dunia televisi, dengan alasan hiburan sudah menjadi industri. Â Itu tidak ditemukan kalau menginvestasikan dana di layar lebar untuk membuat film Indonesia.
Pada suatu hari dalam pertengahan 1990-an kedua, Â saya pernah ngobrol dengan Mira Lesmana mengapa tidak mencoba membuat film Indonesia kan belum tahu apakah ada pasar atau tidak, karena tidak ada yang mau mencoba. Â Ternyata Mira Lesmana juga sudah mencita-citakan hal itu sejak mendirikan Miles bersama Riri Reza pada 1995. Karya pertama adalah dokudrama "Anak Seribu Pulau" yang disiarkan pada 1996.
Berikut beberapa ulasan film yang saya tulis dalam catatan harian sebagai pengalaman saya menonton film produksi Miles antara 1998 hingga 2020. Â Tentu tidak semua, ada sejumlah film yang belum sempat saya tonton. Inilah kesan saya.
Kuldesak: Dongeng (Atau Realitas?) Jakarta
Miles kemudian berhasil memproduksi Kuldesak rilis pada 27 November 1998. Saya  menonton di Plaza 21 Studio 3 sehari setelah rilis.  Film yang disutradarai  oleh  Mira Lesmana, Nan Achnas, Riri Riza dan Rizal Mantovani bertutur memikat.
Film ini dibuka lewat adegan seorang perempuan (Ria Irawan) dikejar sekelompok pria dan mati terbunuh di suatu sudut sempit. Lalu cerita berpindah ke empat sosok anak muda. Pertama, Â Dina (Oppie Andaresta) seorang penjaga bioskop yang tinggal kos bertetangga dengan seorang gay, gandrung pada seorang penyiar TV bernama Max. Â Bagi saya ini simbol generasi MTV.
Kedua, Andre (Ryan Hidayat) seorang remaja broken home bersahabat dengan gelandangan, Lina (Bianca Adinegoro) karyawati yang mengalami depresi karena tekanan kerja, serta Aksan (Wong Aksan) mahasiswa jurusan film, ingin buat film, merampok ayahnya sendiri pengusaha laser disk.
Keempat tokoh ini lewat adegan silih berganti bahk video klip dan hingar bingar musik mengalami nasib tragis. Â Apa yang digambarkan film ini, saya menangkapnya lewat nyantian di akhir film Pak Lengser ingin mendengar dongeng tentang kota Jakarta. Kuldesak sendiri artinya jalan buntu.
 Pencipta Ikon
Mira Lesmana dan Riri Reza dan timnya mempunyai naluri, yang tepat. Petualangan Sherina yang dirilis pada 2000 (saya nonton di Plaza Senayan, 23 Juni 2006 jam 15:15) mampu mengisi kekosongan film anak-anak, sekaligus film Indonesia.
Dari jumlah penonton mendepak film Dinosaurus yang tayang bersamaan.  Mira menghadirkan karakter anak-anak yang sesuai zamannya, mengunyah camilan, trendi dan lebih ekspresif.  Ketika mengetahui Petualangan Sherina membuat Dinosaurus  "knock out" setidaknya di bioskop Indonesia, saya pun menghubungi Mathias Muchus (suami Mira Lesmana)  dan dia juga terkejut dan  tidak menyangka.
Film ini sudah pernah saya tulis di Kompasiana, jadi tidak saya bahas lagi, namun Mira dan timnya  adalah inovator, film itu mengorbitkan Sherina sebagai penyanyi cilik bahkan menjadi penyanyi dewasa. Sherina jadi ikon "pop art" pada masa anak-anaknya.
Film juga mengantarkan lawan main Sherina Derby Romero menjadi aktor. Hebatnya, sineas lain yang membuat film anak juga mengikuti pola cerita film ini ada anak-anak berpetualang di desa dan lawannya adalah para penjahat
Begitu juga film berikutnya Ada Apa dengan Cinta? (saya nonton 15 Februari 2002 di Cinere 21 pukul 15:00) . Miles Film memilih genre remaja dan memang ditunggu oleh masyarakat Indonesia yang sebetulnya sudah rindu film Indonesia dan film jadi box office bersamaan dengan film horor Jelangkung.Â
Selain itu Miles juga mengantarkan hampir seluruh bintangnya melesat ke dunia hiburan, Dian Sastrowardoyo, Nicholas Saputra, Titi Kamal, Adinia Wirasi, Ladya Cheryl dan Sissy Priscillia, Dennys Adiswara.  Sineas lain? Wah, ketika film A2DC booming, maka ramai-ramai buat film remaja, misalnya saja Eiffel, I'm in Love. Tetapi toh, para tokoh-tokohnya tidak mampu menjadi ikon yang bertahan lama.
Pasangan Cinta dan Rangga yang diperankan Dian dan Nicholas  memang jadi ikon remaja pada era itu, mengingatkan pada Sophan Sophian dan Widyawati, Rano Karno dan Yessy Gusman pada era 1970-an dan 1980-an dan kemudian baru digantikan Dilan dan Milea yang identik dengan Iqbaal Ramadhan dan Vanessa Prescilla beberapa tahun kemudian. Siklusnya cukup jauh, nyaris dua puluh tahun.
Film ini walau hanya mengumpulkan tidak sampai satu juta penonton menghadirkan empat segmen sekaligus, penggemar Nicholas, aktivis mahasiswa, mahasiswa dan alumni UI, serta keturunan Tionghoa yang tersentuh.  Saya mencatat pada pertunjukan jam 20:15, 80 persend ari 184 kursi terisi mengalahkan Fantastic Four yang hanya dapat 7 kursi.
Saya ingat seorang bapak keturunan Tionghoa membatalkan menonton film Fantastic Four bersama anaknya waktu nonton di Megaria pada 2005.  Miles menjadi motivator dan film itu sukses dari segi lain: menghadirkan sejarah peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru dengan lebih adil dibanding film Pengkihanatan G 30 S PKI.Â
PKI memang tetap dilihat sebagai pihak yang bersalah, tetapi pembantaian terhadap pengikutnya atau orang yang dianggap pengikutnya juga tidak bisa dibenarkan. Â Gie menghadirkan seorang peranakan Tionghoa yang mencintai dan membuktikan dirinya menjadi bagian Indonesia.
Saya nggak membahas detail film Gie, karen sudah pernah berkali-kali saya tulis, tetapi Gie adalah film Miles pertama yang menjadi inspirasi saya  dan punya pengaruh emosional.  Mungkin karena jurusan sejarah dan saya setuju dengan intepretasi Miles. Â
Saya nggak membahas lebih lanjut film ini. Namun saya akan membahas beberapa film Miles yang tidak terlalu sukses dari jumlah penonton, namun memberikan dampak lain seperti halnya Gie.
Untuk Rena: Debutan Maudy AyundaÂ
Pada 20 Oktober 2005 jm 19:15 di Gading 21, Â saya kembali menonton film anak-anak karya Miles bertajuk Untuk Rena, yang nuansa berbeda dengan Petualangan Sherina. Kesan saya yang pertama naluri species manusia berkeluarga bukan hanya sekadar hubungan seks seperti pada species hewan. Mungkin ada manusia, baik laki-laki maupun perempuan soliter, tetapi di dalam hatinya ada keinginan untuk berkeluarga. Manusia adalah mahluk sosial.
Yudha (Surya Saputra) gamang untuk memelihara anak perempuannya yang tersisa setelah kecelakaan besar menimpa keluarganya. Â Rena (Maudy Ayunda) anak itu dititipkan ke panti asuhan bernama Rumah Matahari yang dikelola kerabatnya. Â Suatu ketika dia ingin mengambil kembali Rena.
Persoalannya Rena juga punya "Keluarga" yang sulit dipisahkan, yaitu teman-teman pantinya.  Rena punya peluit yang selalu digantungkan di lehernya, tandanya dia diangkat sebagai pemimpin geng di rumah panti itu.  Kemudian Rena mengetahui ayah kandungnya  meninggalkannya di panti asuhan.
Konflik ayah-anak ini diselamatkan oleh seorang tukang cerita dari Aceh yang menyadarkan Rena betapa bahagianya dia mengetahui ayahnya selamat dari bencana tsunami (Riri Reza, sang sutradara mengaitkan dengan isu kekinian). Â Sementara di pihak lain, bos Yudha, seorang Jepang mengingatkan tentang kasih sayang pada anak.
Kelebihan film ini ialah pada lagunya mulai dari pembukaan "Rumah Matahari", hingga lagu dari grup Indie Bandung, Mocca, yang membuat saya jatuh hati band ini bertajuk "Hanya Satu" yang begitu menyentuh.Â
Film ini merupakan debutan Maudy Ayunda di blantikan film Indonesia dan membuat Mocca lebih dikenal. Â Terbukti Maudy Ayunda punya talenta dan Mocca menjadi band indie masih tetap kukuh hingga sekarang dengan genre swingnya.
Satu adegan favorit saya, pemberontakan Rena dinyatakan dengan menggantung baju yang dibelikan Yudha di atas menara air  mengisyaratkan kemarahannya, lalu mengurung diri di kamarnya.
Begitu juga ketika anak-anak yatim piatu melakukan "pemberontakan" mengusir calon orangtua angkat dengan melepas hamster. Mereka ingin tumbuh bersama dan tidak ingin dipisahkan. Origami, suasana ramadan memperkuat setting sosial film ini.
Satu-satunya kritik saya sependapat dengan Leila Chuoiri dari Tempo agak sulit menerima alasan Yudha mendamparkan anak sendiri ke tempat yatim piatu. Â Kalau saya pribadi mengalami hal itu, paling satu atau dua tahun, sudah itu ambil kembali.
Tiga Hari Selamanya: Munculnya "Road Movie"
Tiga Hari Selamanya (saya menonton 30 Mei 2007, press screening)  merupakan cara Miles memberi intepretasi soal dunia pos adolensce seklagus menjadi pelopor film road movie di era 2000-an. Dua tokoh Yusuf (Nicholas Saputra) dan Ambar (Adinia Wirasti) sepupuan mewakili  mereka berusia 20 tahunan, melakukan perjalanan dari Jakarta hingga Yogyakarta untuk menghadiri pernikahan kakak Ambar.
Dalam perjalanan film ini mengungkapkan, soal hubungan seks di luar nikah, ngeganja, mabuk tidak lagi dilihat hitam putih.
Ambar adalah gambaran ekstrem kaum coming age perkotaan Indonesia ketika kakaknya ditekan menikah karene ke-geb ML, Ambar menentang, tetapi tidak bisa mencegah. Yusuf digambarkan tidak terlalu liberal, masih berpegang pada tradisi. Â Pada akhirnya mereka justru melakukan hubungan incest.
Kekuatan film ini selain gambar-gambar yang bagus dan harusnya begitu film road movie, juga dikaitkan dengan isu aktual, seperti gempa di Yogyakarta,
Riri Riza mengakhiri film ini dengan ending bagus, Yusuf dan Ambar bertemu lagi setelah sembilan bulan. Â Yusuf sudah punya pacar dan Ambar baru pulang kuliah dari Inggris. Mereka hanya saling bertatapan dan menegur, seolah-olah hubungan seks berapa bulan sebelumnya bukan apa-apa.
"Gambaran Indonesia dewasa ini, eksotisme, erorisme dari budaya tradisional, sensibilitas desa, konservatisme, hipokrit dalam pandangan yang tidak menghakimi.." tulis Variety Asia (2007).
Riri Reza berani keluar dari mainstream film Indonesia dan cara mengakhiri film ini mengingatkan pada film Eropa. Kalau pola India (Bollywood) yang diambil, maka harusnya Yusuf dan Ambar jadian.
Garasi: Munculnya Sebuah Band Rock
Garasi yang dirilis pada 19 Januari 2006 (saya menonton di Cinere 21, tiga hari setelh rilis pukul 15:00)) merupakan  terobosan lain yang dilakukan Miles tentang tiga anak muda Bandung, yaitu Aga (Fedi Nuril), Gaia (Aiu Ratna) dan Awas (Aris Budiman) yang membentuk band indie bernama Garasi.Â
Yang menarik Aiu adalah peserta Indonesian Idol yang tersingkir, jusru melejit karena kejelian Indra Lesmana  melihat talentanya.  Aiu tampil dengan gaya gothik bermain bagus dan film ini kemudian mengantarkan dia ke jagat hiburan hingga kini.
Tokoh yang menonjol dalam film ini ialah Gaia yang hidup di keluarga broken home. Orang tua Gaia berpisah dan putus hubungan dengan pihak keluarga lainnya karena Gaia merupakan anak di luar pernikahan. Â Gaia menjadikan musik sebagai pelampiasan.
Kedua rekannya juga datang dari latar belakang keluarga berbeda, Aga lahir dari keluarga seniman, Â pemusik tradisional yang mencoba terus berkiprah. Sedangkan Awan, pernah tinggal lama di luar negeri dan pulang untuk merintis usaha sendiri.
Tiga tokoh utamanya terlibat konflik cinta dan masalah pribadi lainnya. Tetapi akhirnya bisa diatasi oleh kematangan berpikir para tokohnya. Â Agung Sentausa sang sutradara menyindir fenomena wartawan infotainment, yang gemar mengorek kehidupan pribadi. Â Juga sikap masyarakat yang terlalu mudah memberi cap negatif, karena kabar yang belum tentu benar. Â Hal ini masih relevan hingga sekarang.
Film ini boleh dibilang inovator Miles yang menggambarkan kehidupan anak band untuk pertama kalinya dalam film Indonesia kontemporer. Lagu yang dilantunkan dalam film ini seperti "Hilang" tetap tetap populer hingga sekarang.
Setelah syuting film band Garasi ini terus bertahan, walau Sang Vokalis Aiu Ratna tidak cocok dengan personel lainnya dan keluar pada 2009. Â Sebagai band, Garasi sempat mati suri enam tahun dan bangkit lagi pada 2017. Â Band ini punya fans bernama Anak Garaz. Â Secara tidak langsung Miles menjadi motivator.
Selain Gie, Garasi merupakan film Miles berikutnya yang mewakili saya pribadi (gue seperti kata anak Jakarta), secara emosional dan membekas. Mungkin karena saya cinta Bandung dan kehidupan band indie-nya ya?
Laskar Pelangi: Antar Belitung Jadi Destinasi Wisata
Laskar Pelangi yang diangkat dari novel karya Andre Hirata tentang kehidupan anak sekolah di daerah Belitung Timur era 1970-an memang layak diangkat ke layar film. Â Saya menonton film ini pada 25 September 2008 di Citos 21 jam pertunjukan 14:00,s etelah kejar-kejaran karena sejumlah bioskop yang menayangkan film ini banyak yang "sold out".
Film itu dibuka dengan narasi: "Angka 10 buat guru kami luar biasa karena dengan angka 10 itu anak-anak miskin bisa bersekolah di pulau paling kaya."Â
Air muka Muslimah (Cut Mini) tampak cemas berdiri di beranda sekolahnya yang bobrok. Itu hari pertama dia mengajar sebagai guru di SD Muhammadyah Kampung Gantong. Keinginan itu bisa terpenuhi kalau jumlah murid  mencapai 10.  Dengan angka tersebut SD itu bisa diteruskan.
Semangatnya tetap menyala sejak ia bertemu Lintang, anak pesisir yang rela mengayuh sepeda berpuluh kilometer untuk sekolah. Â Namun sampai waktu yang ditentukan baru 9 anak mendaftar dan diselamatkan oleh seorang anak yang harusnya masuk SLB jadi murid ke 10.
Prolog film dan sekaligus novelnya luar biasa. Â Saya sudah membaca berbagai literasi bahwa pada waktu itu Bangka-Belitung penghasilan timah yang menghasilkan devisa bagi negara, sayangnya tidak menetes ke rakyat kebanyakan. Â Kalau pun ada, tidak berdampak signifikan.
Orang-orang yang bekerja di PN Timah menyekolahkan anak-anaknya di SD PN Timah berbeda bak bumi dan langit dengan anak-anak asuhan Bu Mulimah. Mental baja guru ini dan kisah hidup Ikal (nama Andre Hirata waktu itu), Lintang, Mahar dan lainnya yang mampu menunjukan mereka berbuat banyak hingga memenangkan lomba cerdas cermat menjadikan film ini luar biasa.Â
Riri Reza mampu menyuguhkan perjuangan seorang guru di tempat terpencil yang bahkan sampai saat ini masih ada yang seperti itu di daerah tertentu. Â Dari sisi sinematografi, Riri menyuguhkan gambar bagus pantai hingga pedalaman Belitung. Â Bahkan dalam berapa degan miirp film dokumenter dengan narasi.
Tak heran seorang penoton yang mengajak anaknya dalam oborolan dengan saya mengatakan, bosan melihat Jakarta, ingin melihat Belitung ternyata bagus. Â Dampak film ini Belitung menjadi destinasi wisata dan disebut sebagai Bumi Laskar Pelangi. Â Bahkan replika SD Muhammadyah di Gantong tempat syuting film jadi salah satu destinasi wisatanya.
Dampak lain film ini ialah Muslimah dan 11 anggota laskarnya bersepeda rupa-rupanya juga diikuti oleh sineas lain. Berapa film menyelipkan adegan bersepeda beramai-ramai ini.
Sang Pemimpi: Kegelisahan Dunia Melayu Indonesia
Saya juga menonton sekuel Laskar Pelangi, yaitu Sang Pemimpi dua kali, yaitu waktu press screening 14 Desember dan pada 18 Desember 2009 jam 16:35 di Cinere21, yang menceritakan kehidupan Ikal alias Andre Hirata  sewaktu duduk di bangku SMA. Film ini fokus pada tiga sekawan, Ikal (Vikri Setiawan), Aray (Rendy Ahmad) dan Jimbron (Azwar Fitrianto).
Ikal menjadi kesayangan guru Bahasa Indonesianya Julian Bastian (Nugie) Â karena pandai mengarang dan Aray merayu Zakiah Nurmala (Maudy Ayunda) lewat Fatwa Pujangga, Riri Reza menggambarkan dunia remaja yang berbeda dengan A2DC.
Sang Pemimpi adalah perjalanan mencari jati diri dan mengejar keinginan seperti Laskar Pelangi. "Kalau kau tidak punya mimpi, maka kau akan mati," cetus Arai pada Ikal dalam sebuah dialog.
Sekuel ini tidak sedahsyat Laskar Pelangi, namun sarat menampilkan budaya Melayu, lewat orkes dengan tokoh Zaitun, serta puisi. Â Ada kritik dalam sebuah dialog dari seorang tokoh bernama Pak Mustar bahwa orang Melayu pemalas, suka nongkrong di warung kopi dan tak berdaya ketika hasil buminya dirampok dan dikuras habis oleh pusat dan akibatnya orang Melayu sendiri menanggung akibatnya.
Sang Pemimpi menampilkan dunia orang dewasa yang menghadapi kerasnya hidup, sementara Laskar pelangi sekalipun ada tekanan ekonomi, tetapi anak-anak ceria. Baik Laskar Pelangi maupun Sang Pemimpi menampilkan aktor lokal, anak-anak asli Belitung yang mengingatkan saya pada konsep film neorealisme, walaupun tidak sepenuhnya.
Dalam Sang Pemimpi, Ikal menjadi kenek bus, kuli dan pekerjaan kasar lainnya. Â Dalam adegan lain uang tabungannya habis agar Jimbron bisa naik kuda di kota. Â Kelak Jimbron membalasnya dengan memberikan dua celengan kedua yang berisi uang sama banyaknya, ketika Aray dan Ikal merantau. Menyentuh.
Film ini penampilan Maudy Ayunda berikutnya setelah untuk Rena. Sekalipun perannya datar dan nyaris tidak ada dialog. Hanya ekspresi "jutek" ketika digoda Aray. Hanya sja  kemampuan akting artis 19 Desember 1994 di film berikutnya pelan-pelan meningkat.Â
Itu terbukti penampilan Maudy pada Perahu Kertas 1 dan2, serta 2014: Siapa di Atas Presiden dan  Habibie dan Ainun sekuel ketiga. Naluri tim Miles memilih Maudy Ayunda tepat.
Kesan lain terkait Sang Pemimpi ialah zaman yang dilalui Ikal sebangun dengan saya. Terutama ketika kuliah di Universitas Indonesia dan wisuda di Balairung. Begitu juga dengan lagu Rhoma Irama.
Film Miles Sesudah 2011
Saya tidak banyak membahas film Miles sesudah 2010 dalam tulisan ini, karena rata-rata sudah saya buat reviewnya di Kompasiana.  Sokola Rimba saya tonton 24 November 2013 di Cinere 21,  terobosan lain yang dilakukan Miles  tinjauan filmnya sudah saya tulis di Kompasiana.  Saya hanya mencatat Miles berani menyuguhkan tema tentang relawan yang mendidik anak rimba di pedalaman Sumatera, sebetulnya juga punya nilai edukasi yang senafas dengan Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi.
Pendekar Tongkat Emas rilis 18 Desember 2014. Saya baru menontonnya 27 Desember 2014  inovasi lagi dari Miles mengangkat tema silat ke layar lebar dengan latar belakang Sumba. Bagi saya film itu tidak terlalu istimewa dan hanya terselamatkan lewat panorama Sumba Timur yang ciamik, lautan jenrih hingga  padang savana.
Adegan perkelahiannya bolehlah, walau lebih mirip film kung fu dari pada film silat. Tidak apa, pencak silat juga ada pengaruh kung fu pada walnya. Â Plot ceritanya juga klasik, Cempaka (Christine Hakim) mewariskan tongkat emasnya pada Dara (Eva Celia), menimbulkan iri hati dua murid lainnya Biru (Reza Rahadian) dan Gerhana (Tara Basro).
Cempaka terbunuh. Dara kemudian mencari Timur (Nicholas Saputra) murid Cempaka lainnya  yang mengasingkan diri.  Ending cerita bisa ditebak sejak awal.  Pendekar Tongkat Emas satu-satunya film Miles yang saya tonton setelah saya punya blog di Kompasiana (sejak Juni 2011), tetapi saya malas menulisnya. Baru kali ini saya bahas.
Ada Apa dengan Cinta 2Â juga saya tulis pada April 2016 di Kompasiana, disugguhkan menarikan oleh Miles dengan cerita sesuai usia para tokoh-tokohnya dulu. Â Tentu saja mereka yang merindukan Cinta dan Rangga menjadi penonton film ini di luar kaum milenial. Â
Film Miles terakhir yang saya nonton adalah Bebas, ulasannya saya tulis di media tempat saya bekerja. Saya lampirkan di bawah ini.  Bebas  merupakan reuni bagi anak-anak 1990-an suatu era terakhir sebelum dunia digital menjadi digaya.  Film ini adaptasi yang bagus dari film Korea Selatan dengan lagu begitu energik.
Sekali lagi Miles adalah inovator dan motivator, sebetulnya juga kolaborator  sekaligus, sekalipun tidak semua filmnya berhasil di pasaran. Tetapi kekuatannya di tiga hal itu menemukan gagasan, kemudian ketika flmnya beredar memberikan motivasi dan filmnya merupakan hasil kerja tim yang solid.
Seperti dikutip dari Instagramnya Mira Lesmana dan Riri Riza sudah terbiasa berdiskusi dan  mengambil keputusan secara kolektif dengan para kolaboratornya di Miles, di antaranya adalah anak-anak muda berbakat yang pernah bekerja dekat dengan sutradara Riri Riza.
Sebagai catatan tiga 3produksi Miles masuk dalam daftar 15 besar film indonesia terlaris sepanjang masa (Laskar Pelangi, Ada Apa dengan Cinta 2 dan Ada Apa Dengan Cinta) dua  film Miles meraih Film Terbaik di ajang Festival Film Indonesia, yaitu Gie (2005) dan Athirah (2016).
Perusahaan rumah produksi independen Miles Films punya tiga orang di jajaran direksi. Mira Lesmana sebagai Chief Executive Officer, Riri Riza sebagai Creative Director, dan Toto Prasetyanto sebagai Chief Operational Officer.
Pada usianya yang sudah menginjak seperempat abad, masih ditunggu inovasi apa lagi yang akan dilakukan Miles. Apakah akan menjadi motivator? Miles akan berkolaborasi dengan siapa lagi? Saya optimis Mira Lesmana, Riri Riza dan timnya tetap akan memberikan kejutan.
Irvan Sjafari
Tulisan Terkait:Â [1]Â [2]Â [3]Â [4]Â [5]Â [6]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H