Mira Lesmana dan Riri Reza dan timnya mempunyai naluri, yang tepat. Petualangan Sherina yang dirilis pada 2000 (saya nonton di Plaza Senayan, 23 Juni 2006 jam 15:15) mampu mengisi kekosongan film anak-anak, sekaligus film Indonesia.
Dari jumlah penonton mendepak film Dinosaurus yang tayang bersamaan.  Mira menghadirkan karakter anak-anak yang sesuai zamannya, mengunyah camilan, trendi dan lebih ekspresif.  Ketika mengetahui Petualangan Sherina membuat Dinosaurus  "knock out" setidaknya di bioskop Indonesia, saya pun menghubungi Mathias Muchus (suami Mira Lesmana)  dan dia juga terkejut dan  tidak menyangka.
Film ini sudah pernah saya tulis di Kompasiana, jadi tidak saya bahas lagi, namun Mira dan timnya  adalah inovator, film itu mengorbitkan Sherina sebagai penyanyi cilik bahkan menjadi penyanyi dewasa. Sherina jadi ikon "pop art" pada masa anak-anaknya.
Film juga mengantarkan lawan main Sherina Derby Romero menjadi aktor. Hebatnya, sineas lain yang membuat film anak juga mengikuti pola cerita film ini ada anak-anak berpetualang di desa dan lawannya adalah para penjahat
Begitu juga film berikutnya Ada Apa dengan Cinta? (saya nonton 15 Februari 2002 di Cinere 21 pukul 15:00) . Miles Film memilih genre remaja dan memang ditunggu oleh masyarakat Indonesia yang sebetulnya sudah rindu film Indonesia dan film jadi box office bersamaan dengan film horor Jelangkung.Â
Selain itu Miles juga mengantarkan hampir seluruh bintangnya melesat ke dunia hiburan, Dian Sastrowardoyo, Nicholas Saputra, Titi Kamal, Adinia Wirasi, Ladya Cheryl dan Sissy Priscillia, Dennys Adiswara.  Sineas lain? Wah, ketika film A2DC booming, maka ramai-ramai buat film remaja, misalnya saja Eiffel, I'm in Love. Tetapi toh, para tokoh-tokohnya tidak mampu menjadi ikon yang bertahan lama.
Pasangan Cinta dan Rangga yang diperankan Dian dan Nicholas  memang jadi ikon remaja pada era itu, mengingatkan pada Sophan Sophian dan Widyawati, Rano Karno dan Yessy Gusman pada era 1970-an dan 1980-an dan kemudian baru digantikan Dilan dan Milea yang identik dengan Iqbaal Ramadhan dan Vanessa Prescilla beberapa tahun kemudian. Siklusnya cukup jauh, nyaris dua puluh tahun.
Film ini walau hanya mengumpulkan tidak sampai satu juta penonton menghadirkan empat segmen sekaligus, penggemar Nicholas, aktivis mahasiswa, mahasiswa dan alumni UI, serta keturunan Tionghoa yang tersentuh.  Saya mencatat pada pertunjukan jam 20:15, 80 persend ari 184 kursi terisi mengalahkan Fantastic Four yang hanya dapat 7 kursi.
Saya ingat seorang bapak keturunan Tionghoa membatalkan menonton film Fantastic Four bersama anaknya waktu nonton di Megaria pada 2005.  Miles menjadi motivator dan film itu sukses dari segi lain: menghadirkan sejarah peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru dengan lebih adil dibanding film Pengkihanatan G 30 S PKI.Â
PKI memang tetap dilihat sebagai pihak yang bersalah, tetapi pembantaian terhadap pengikutnya atau orang yang dianggap pengikutnya juga tidak bisa dibenarkan. Â Gie menghadirkan seorang peranakan Tionghoa yang mencintai dan membuktikan dirinya menjadi bagian Indonesia.