Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bandung 1966, Ketika Mahasiswa Bergerak (1)

19 Oktober 2020   21:10 Diperbarui: 19 Oktober 2020   21:22 910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kegagalan Gerakan 30 September lebih meyakinkan kaum beragama akan kebesaran Tuhan" (Mayjen Soeharto dalam amanatnya di depan 17 Kolonel dan 13 Mayor, Angkatan ke IV, Seskoad Bandung, Kamis 30 Desember 1965 dimuat di Pikiran Rakjat 3 Januari 1966.  Pernyataan itu mengisyaratkan bahwa pukulan telak pertama terhadap PKI telah selesai dilakukan. Pukulan secara "de facto".

Praktis pada akhir 1965 Partai Komunis Indonesia sudah tamat riwayatnya. Presiden Sukarno mau membubarkan atau tidak sebetulnya hanya soal legalitas saja, karena basis riilnya sudah hancur (terkecuali di daerah tertentu, seperti Blitar).  PKI yang mengkaim mempunyai tiga juta anggota sebenarnya sudah disindir oleh Jaques Lecrec sebagai raksasa lempung.

Dukungan Aidit terhadap kudeta yang dilakukan Kolonel Untung pada pengujung September 1965 menjadi blunder yang membuat PKI mengalami kehancuran untuk selama-lamanya. Padahal partai belum siap melakukan sebuah pertarungan bersenjata. 

Bahwa PKI dengan mudah dianalogikan sebagai kelompok anti Tuhan, mungkin bisa menjadi perdebatan. Namun pada faktanya benturan antara para pengikut PKI dengan santri di perdesaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur pada 1960-an membuatnya menjadi musuh kalangan santri.

Jumlah korban pembantaian terhadap PKI beragam. Brian May, seorang koresponden kantor berita Prancis AFP dalam bukunya  mengutip tiga sumber, yaitu John Hughes penulis buku "The End of Sukarno" yang menyebut 200 ribu, Adam Malik mengungkapkan 160 ribu dan Life Magazine menyebut sekira 400 ribu, itu artinya 13 persen dari estimasi jumlah anggota PKI (May, 1978: halaman 120).

Mahasiswa praktis muncul sebagai kekuatan politik baru menuntut perubahan. Sejarawan Onghokham dalam tulisannya "Jurang Generasi dan Mitos Sukarno" mencatat fenomena generation gap atau jurang generasi yang melanda masyarakat Barat, di mana berhadapan para ayah dan kakek yang dibesarkan dalam sistem otoriter dengan anak-anaknya generasi pasca Perang Dunia ke II yang hidup di masyarakat yang sangat liberal.

Generation gap ini juga terjadi di Indonesia, ketika muncul neo priyayi pada masa pergerakan di mana kaum muda menggugat kaum tua, mulai dari Sumpah Pemuda hingga Ben Anderson menyebut Revolusi 1945 sebagai Revolusi Pemuda. Nah, yang terjadi pada 1966 seperti itu juga, gejala anak-anak punya sikap benci pada ayah (yang diwakili grup Sukarno), Sukarno mendominasi sektor publik Jakarta dan Indonesia, di sudut-sudut ada fotonya dan itu menjadi obsesi mahasiswa angkatan 1966 ini untuk membersihkan jalanan dari Sukarno (Onghokham, halaman 75).

Kesenjangan generasi baru dengan generasi lama dipertajam dengan ideologi di kalangan mahasiswa seperti yang diungkapkan Francois Raillon bahwa kalangan mahasiswa generasi baru banyak dipengaruhi oleh gerakan HMI yang diidentikan dengan Masyumi serta Gemsos yang berafiliasi dengan PSI, yang notabenenya keduanya dibubarkan karena dituding dikaitkan dengan PRRI/Permesta. PKI dan underbow-nya di kalangan kampus CGMI terlalu dominan dan kerap melakukan agitasi terhadap semua yang berlawanan dengan cepat mengumpulkan banyak musuh.

Oposisi terhadap rezim Demokrasi Terpimpin itu datang dari dua kekuatan: yang pertama berasal dari tokoh-tokoh anti Soekarno di Angkatan Darat. Sementara kelopok kedua datang dari partai-partai yang dilarang pada Agustus 1960 yakni setelah terjadinya pemberontakan PRRI, yaitu Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia.

Tokoh-tokoh Angkatan Darat yang anti Soekarno itu bergabung dengan anggota atau simpatisan partai-partai politik terlarang. Diantara mereka sendiri memang sering sudah terjalin hubungan pribadi.

Francois menyebutkan bila sebelumnya universitas merupakan satu kelompok sosial yang sedikit sekali terpolitisir dan hanya ditugaskan untuk mencetak elite Indonesia maka kini ia berubah menjadi satu ajang pertempuran politik. Secara sistematis setiap partai politik menciptakan organisasi kemahasiswaan yang berafiliasi pada mereka. Dengan demikian mereka mulai memasukkan elemen-elemen pertama dalam debat politik dikalangan mahasiswa.

Dunia kampus dihadapkan dengan situasi konflik antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) disatu pihak melawan pengaruh universitas-universitas Amerika di pihak lain. Sepanjang 1950-an hingga 1960-an berbagai program kerjasama kebudayaan yang dibiayai oleh pemerintah Amerika Serikat atau Ford Foundation dan Rockefeller Foundation telah mempengaruhi pengajar dan mahasiswa untuk melakukan gerakan anti komunis

Ketika Lekra memaksakan pandangan-pandangan mereka dalam bidang kesenian, kesusasteraan- "romantisme revolusioner", muncul tantangan dari kaum sosialis kanan yang kemudian melahirkan satu manifesto kebudayaan yang disingkat Manikebu.

Salah satu faktor utama dalam politisasi dan radikalisasi mahasiswa itu ialah adanya evolusi kondisi material dalam kehidupan mahasiswa. Ditambah lagi kesukaran-kesukaran ekonomi seperti kenaikan harga buku, transportasi, tarif pengobatan, sewa tempat tinggal, mahalnya uang kuliah, uang ujian dan juga semakin meningkatnya ongkos hidup secara umum, membawa pengaruh tak kecil bagi mahasiswa. Hingga dengan sendirinya mahasiswa menjadi juru bicara rakyat.

Mahasiswa menjadi golongan sosial yang baru sejalan dengan pertumbuhan perguruan tinggi antara 1959 hingga 1963. Jumlah universitas negeri melonjak dari 8 hingga 39. Sementara universitas swasta tumbuh dari 112 pada 1961 menjadi 228 pada 1965, hingga total terdapat 335 perguruan tinggi dengan 278 ribu mahasiswa. Pada 1940 hanya tercatat 79 mahasiswa yang lulus di Hindia dari total populasi koloni 70 juta (Arif Novianto, 2017 berdasarkan kajian Sejarawan Universitas Gadjah Mada Dr Abdul Wahid).

Jumlah mahasiswa di Bandung pada 1965 luar biasa. Buku Pembangunan Jawa Barat 1945-1965 mengungkapkan secara rinci, bahwa antara 1945-1965 terdapat 4 Institut, 10 Universitas dan 14 akademi yang berdiri di Bandung dengan jumlah total mahasiswa di atas 30 ribu (lihat Tabel I).

tabel-jumlah-mahasiswa-bandung-1965-5f8d9b60d541df423301a362.jpg
tabel-jumlah-mahasiswa-bandung-1965-5f8d9b60d541df423301a362.jpg
Masalahnya makin buruk, Sukarno tidak punya tim ekonomi yang mumpuni, terjadinya sanering pada Desember 1965 di nama Rp1.000 dijadikan Rp1 dengan disertai pajak penukaran sebesar 10 persen. Kebijakan fiskal ini menimbulkan ketidakpercayaan pada mata uang rupiah. Kurs pasar gelap untuk dolar AS melonjak dari Rp8.100 per dolar pada triwulan kedua 1965 menjadi Rp50.000 pada triwulan keempat 1965.

Situasi semakin buruk ketika harga bahan pokok dan bahan bakar membumbung tinggi, spekulan merajalela nyaris tidak terkontrol. Pada 3 Januari harga bensin dinaikan Rp250 menjadi Rp1.000 dan harga minyak tanah meningkat dari Rp150 menjadi Rp400. Tarif bus, kereta api dan pesawat terbang naik lima kali lipat. Minyak tanah bahkan menghilang di kota Bandung awal Januari 1966 dan tahu-tahu muncul dengan harga Rp1.000 (Pikiran Rakjat, 3 Januari 1966).

Para spekulan bukannya tidak ditindak, Di Kota Bandung, masih diberitakan ada 16 pedagang diadili dengan tuduhan subversi ekonomi (Pikiran Rakjat, 7 Januari 1966).

Sementara Tim Sandang Pangan Bandung pada awal Januari mencoba mengatasi kekurangan bahan pokok dengan penyaluran gula sebanyak 160 karung di 160 toko di pasar dengan harga Rp500 per kilogram (Pikiran Rakjat,11 Januari 1966). Di sisi lain beras injeksi kerap ditemukan berkualitas buruk (Pikiran Rakjat, 12 Januari 1966).

Mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) pada 25 Oktober 1965 yang merupakan hasil kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Mayjen dr. Syarief Thayeb, yakni PMKRI, HMI,PMII,Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI).

Tujuan pendiriannya, terutama agar para aktivis mahasiswa dalam melancarkan perlawanan terhadap PKI menjadi lebih terkoordinasi dan memiliki kepemimpinan. Namun hingga akhir 1965, KAMI hanya sekali-sekali terlibat dalam aksi anti PKI dan tidak mencoba menjadi kekuatan politik sendiri (Sundhaussen, 1986: halaman 396)

Mahasiswa Bergerak

Ketika keadaan ekonomi makin memburuk akhirnya  mahasiswa mulai bergerak.Pada 8 Januari 1966 satu delegasi yang tergabung dalam Presidium Front Pemuda mendatangi Sekretariat Negara dan bertemu Wakil PM III Chaerul Saleh dan para pemuda tidak membenarkan kebijakan keuangan dan ekonomi pemerintah (Pikiran Rakjat, 11 Januari 1966). Berapa hari Kemudian KAMI menuntut dicabutnya semua keputusan kenaikan seluruh harga (Pikiran Rakjat, 12 Januari 1966).

Ilustrasi-Foto: Merdeka.
Ilustrasi-Foto: Merdeka.
Pada 10 Januari 1966, ribuan mahasiswa bergerak ke Gedung Sekretariat Negara memprotes ketidakstabilan negara dan menyuarakan tiga tuntutan Tritura. Demonstrasi terus terjadi sepanjang tanggal 10-13 Januari 1966 hingga desakan Tritura sampai ke presiden. Lambannya respons pemerintah menjadikan tuntutan demonstrasi melebar hingga terdengar desas-desus untuk menurunkan Sukarno dari jabatan kepresidennya.

Organisasi-organisasi yang turut serta dalam demonstrasi tersebut antara lain Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI), dan lainnya.

Pada saat bersamaan, KAMI bersama Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia menggelar sebuah seminar mengenai masalah ekonomi yang dihadapi Indonesia yang dihadiri juga oleh Mayjen Soeharto, Jenderal Nasution, Sjarif Thayeb, Sultan Hamengkubuwono IX, Subchan ZE dan Adam Malik. Seminar ini bersamaan dengan demonstrasi Tritura. Soeharto memuji demonstrasi ini sebagai kontrol sosial.

KAMI Bandung merupakan yang paling radikal, sebab di sana pengaruh aktivis PSI yang paling kuat, terutama dari mereka yang memimpin pernah terlibat peristiwa 10 Mei 1963. Berbeda dengan tokoh KAMI di Jakarta, mereka tahu persis tujuan mereka yaitu menurunkan Soekarno. Selain itu tokoh-tokoh mahasiswa banyak dilindungi perwira Siliwangi (Sundhaussen, 1986: halaman 398).

KAMI Bandung berdiri pada 1 November 1965, hanya selang beberapa hari dengan terbentuknya KAMI di Jakarta. Rapat pembentukannya mengambil tempat di Margasiswa PMKRI Jalan Merdeka 9 Bandung. Mengikuti pola KAMI Pusat, organisasi ini juga dipimpin oleh satu Presidium. Pertama kali, Presidium terdiri dari Majedi Sjah (PMII), RAF Mully (PMKRI), Rohali Sani (Somal), Daim A. Rachim (Mapancas), yang didampingi para sekretaris Ta'lam Tachja (HMI) dan Mansur Tuakia (IMM).

Pembentukan KAMI Bandung diikuti oleh pembentukan KAMI di ITB. Tetapi dalam perjalanan kegiatannya, seperti yang digambarkan Hasjrul Moechtar, aksi-aksi KAMI Bandung sampai Desember 1965 tidak mampu menggambarkan potensi yang sebenarnya dari mahasiswa Bandung.

Para pimpinan KAMI Bandung, sejalan dengan pikiran Menteri PTIP Sjarif Thajeb, berpikir terlalu formal organisatoris, bahwa hanya mahasiswa-mahasiswa organisasi ekstra, terutama yang punya induk politik, yang mampu menggerakkan mahasiswa --sesuai kepentingan politik faktual saat itu-- untuk menghadapi PKI.

Padahal pada beberapa perguruan tinggi terkemuka di Bandung, khususnya di ITB, merupakan fakta bahwa organisasi intra lebih populer dan lebih mewakili keseluruhan mahasiswa dibandingkan dengan organisasi ekstra universiter. Faktanya, "walaupun sama-sama anti PKI, Dewan-dewan Mahasiswa tidak merasa perlu untuk menggerakkan mahasiswa di kampusnya mengikuti aksi-aksi KAMI". Di mata Dewan-dewan Mahasiswa, kehadiran KAMI tak lebih dari sekedar perubahan wajah saja dari PPMI minus CGMI, GMNI-Asu, Perhimi dan Germindo.

Dengan penilaian atas KAMI seperti itu, maka 24 November 1965, Dewan-dewan Mahasiswa maupun Senat-senat Mahasiswa dari 20 perguruan tinggi se Bandung sepakat membentuk Kesatuan Organisasi Mahasiswa Intra Universiter Indonesia (KOMII), yang sekaligus juga menjadi pengganti MMI yang mereka tak percayai lagi. Ketua Umum pertama KOMII adalah Rachmat Witoelar dari ITB. Rachmat yang saat itu adalah Ketua Umum DM-ITB dianggap mewakili wajah kampus ITB yang betul-betul a-politis.

Ketua-ketua KOMII yang lain adalah Soegeng Sarjadi dari Universitas Padjadjaran yang waktu itu belum bergabung sebagai anggota HMI, Asmawi Zainul dari IKIP dan AP Sugiarto dari Universitas Parahyangan. Sekertaris Umum Hermanto Hs dari ITB dengan Sekertaris-sekertaris Anis Afif (Akademi Tekstil) dan Sadan Sapari dari Universitas Pasundan. Tiga bendahara adalah R. Hasoni dari AKMI, I Gede Artika (APN) dan Tatang Haris dari Universitas Pantjasila.

Sehari sebelum Natal di tahun 1965 itu, Alex Rumondor yang bertemu seorang aktivis Gemsos, Bonar Siagian, menyampaikan ajakan untuk mengorganisir suatu pertemuan di antara para aktivis mahasiswa Bandung, karena menurut Alex sudah saatnya untuk mengambil tindakan-tindakan menghadapi perkembangan situasi.

Ajakan serupa disampaikan Alex kepada Adi Sasono. Untuk itu, Alex menyiapkan suatu draft Petisi Amanat Rakyat, yang isinya menggugat langsung Soekarno, sikap politik maupun kebijakan ekonominya. Pertemuan tak dapat segera dilakukan karena berimpitnya libur-libur natal dan akhir tahun, yang bersamaan pula dengan bulan puasa.

Pertemuan yang direncanakan segera setelah perayaan akhir tahun, ternyata baru bisa berlangsung 8 Januari 1966. Di antara yang hadir tercatat nama-nama seperti Rahman Tolleng dan Muslimin Nasution, dua orang yang dulu terkait Peristiwa 10 Mei 1963. Lalu ada Rachmat Witoelar yang adalah Ketua KOMII. Hadir pula sejumlah aktivis yang berlatar belakang HMI seperti Bagir Manan dan Iwan Sjarif.

Nama-nama lain adalah Soegeng Sarjadi yang belakangan diajak bergabung sebagai anggota HMI, Erna Walinono, Fred Hehuwat, Rohali Sani, Jakob Tobing, Robby Sutrisno, Rudianto Ramelan, Aswar Aly, Hasjroel Moechtar dan Mangaradja Odjak Edward Siagian yang juga adalah seorang perwira cadangan jalur wajib militer.

Latar belakang para mahasiswa ini beragam,  ada yang dari organisasi-organisasi mahasiswa lokal yang menjadi cikal bakal Somal, Pelmasi, Mahasiswa Pantjasila sampai yang berhaluan independen. Begitu juga tiga pencetus awal, yakni Alex Rumondor, Bonar Siagian dan Adi Sasono, punya latar belakang berbeda.

Alex adalah tokoh IPMI yang berlatar belakang Kristen, yang berapa tulisannya saya kutip di "Kompasiana" berkaitan dengan kemahasiswaan di Bandung. Bonar berlatar belakang sosialis anggota Gemsos, serta Adi Sasono seorang tokoh HMI namun dikenal punya kecenderungan pemikiran sosialistis. Sementara Adi adalah cucu seorang tokoh Masyumi yang termasyhur, Mohammad Roem.

Namun yang dominan sebetulnya adalah mahasiswa-mahasiswa tanpa latar belakang pemikiran politik sama sekali seperti misalnya Erna Walinono --belakangan dikenal sebagai Erna Witoelar-- mahasiswi yang terselip di antara aktivis yang umumnya mahasiswa putera.

Di kota Bandung, aksi mereka tak kalah dengan Jakarta. Misalnya saja pada Kamis, 14 Januari 1966 terjadi demonstrasi di Kota Bandung yang melibatkan puluhan ribu mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi.

Mereka menuntut agar PKI dibubarkan, agar menteri yang tidak bevoeg diretool , agar wartawan-wartawan Peking diusir dari Indonesia. Mereka menempelkan plat-plakat tersebut di mobil yang mereka stop. Tuntutan itu mereka cetusan dalam pernyataan kepada Presiden lewat Wali Kota Bandung dan Gubernur (Pikiran Rakjat, 15 Januari 1966).

Di jalan mereka meneriakan: "Bubarkan PKI, Ritul Kabinet Dwikora, Turunkan harga beras, Lapar! Bosan dengar pidato, Turunkan harga Buku! Rakyat butuh beras bukan monument! Jangan coba-coba mengalihkan perhatian dari Gestok (Gerakan Satu Oktober) dengan menaikan harga. Usir wartawan Peking. Adanya demonstrasi mahasiswa ini membuat para pengusaha menutup tokonya masing-masing".

Mahasiswa merasa bagian dari rakyat yang hidupnya tertekan secara ekonom. Pikiran Rakjat edisi 13 Januari 1966 mengungkapkan hal itu kenaikan ongkos transportasi menyebabkan terjadinya gangguan perkuliahan di ITB, Unpad dan IKIP. Dalam berita disebutkan Pembantu Rektor II IKIP bahwa sejak dua hari dosen dan karyawan IKIP tidak bisa dijemput karena tidak ada bensin.

Dengan bensin harga baru diperlukan Rp250 (uang baru) untuk keperluan itu. Sementara untuk naik oplet dibutuhkan Rp600 dan pulang-pergi Rp1.200. Mahasiswa juga jarang yang datang karena kendala yang sama.

Pangdam VI Siliwangi Ibrahim Adjie seorang loyalis Sukarno, tetapi anti komunis mencoba menengahi situasi dengan menyerukan demonstrasi bukanlah penyelesaian. Pangdam juga menantang PKI Gaya Baru yang disebut akan dibentuk. Bentuklah kalau bisa (Pikiran Rakjat, 14 Januari 1966).

Adjie juga melarang pembentukan Barisan Sukarno di daerah hukumnya dan pelanggarannya dianggap kejahatan. Keputusan itu untuk mencegah penyalahgunaan nama Sukarno (Pikiran Rakjat, 20 Januari 1966).

Selain itu mahasiswa juga dijanjikan beras mulai 19 Januari dan tiap orang dapat 12 kilogram dari Siliwangi. Harganya Rp2,71 uang baru per kilogram. Gelombang pertama diberikan pada Ramadan sebanyak 6 kilogram dan separuhnya lagi sesudah lebaran. Gelombang pertama sudah di drop melalui Puskopad pada pukul 20.00, 19 Januari 2020.

Ibrahim Adjie dalam Pikiran Rakjat 19 Januari 1966 juga mengumumkan tindakannya terhadap para demonstran dan mendapati adanya dua anggota eks CGMI menyusup dalam demonstran. "Kita harus berhati-hati terhadap beberapa oknum kontrarevolusi yang menumpang pada setiap kesempatan," ujar Adjie.

Pangdam sendiri dalam suatu seruannya menyebutkan sebaiknya menekan kenaikan harga dan mencabut kenaikan tarif.  Kedua, pecahan uang 10 rupiah dihentikan dulu dan di bawah Rp10 diperbanyak karena punya efek terhadap daya beli rakyat.  Dia juga meminta peninjauan terhadap iuran Revolusi sebesar 10% (Pikiran Rakjat, 17 Januari 1966).

Sayangnya, Sukarno, tidak mau menerima kritikan untuk meninjau kembali kebijakannya. Presiden memang mengundang sepuluh wakil KAMI Jakarta dan sepuluh mahasiswa GMNI anti KAMI di Bogor pada 15 Januari untuk menghadiri sidang kabinet.

Sukarno malah memberikan teguran bahwa KAMI melakukan kritik yang tidak bermoral terhadap orang yang lebih tua dari mereka. Sukarno malah menyebut dirinya Pemimpin Besar Revolusi dan pendukungnya merapatkan barisan. Tokoh KAMI dilarang bicara.

KAMI Bandung kemudian merencanakan longmarch ke Jakarta setelah kegagalan pertemuan Bogor. Namun Adjie melarang tindakan tersebut. Di sisi lain, menurut Sundhaussen, sebetulnya Addjie menghadapi masalah di internal.  Loyalitas perwiranya yang berkurang karena mereka anti Sukarno dan mereka berpaling ke Dharsono, yang sudah dipindahkan di MABAD.

Menjelang Lebaran memang aksi mahasiswa mengendur, bersamaan dengan larangan melakukan demonstrasi oleh Panglima Kodam Jakarta yang baru Amir Machmud atas perintah Soekarno. Namun tetap terjadi demonstrasi di depan Kedutaan RRC dan bentrokan antara KAMI dan GMNI. Dalam sebuah rapat umum di Jakarta pada 26 Januari dia merasa yakin masih mampu menguasai massa.

Blunder kembali dilakukannya ialah membentuk kabinet baru di mana dia tidak memasukan Nasution pada 13 Februari. Sukarno melah mempertahankan orang-orang yang dinilai KAMI sebagai simpatisan PKI seperti Omar Dhani dan Suryadharma.

Padahal Nasution sedang mendapatkan simpati besar, setelah kematian putrinya dalam percobaan pembunuhan terhadap dirinya. Akibatnya terjadi kemarahan besar di kalangan umat Islam, terutama HMI dan sebagian besar perwira yang mengagumi Nasution (Sundhaussen, 1986: halaman 402).

Peristiwa 23 Februari

Pada 23 Februari KAMI mengadakan demonstrasi menuju Istana Negara. Sejak subuh berbagai kelompok mahasiswa memblokir jalanan. Mereka menyetop berbagai kendaraan di wilayah-wilayah strategis ibukota, mengempesi ban-ban, hingga membuat lalu-lintas lumpuh total.

Tujuan mereka: menggagalkan acara pelantikan anggota Kabinet Dwikora II yang diumumkan Presiden Sukarno tiga hari sebelumnya. Lewat aksi tersebut, para mahasiswa berharap menteri-menteri tak bisa datang. Jumlah massa yang terlibat dalam demonstran itu menurut Brian May mencapai 50 ribu anak-anak muda (May, 1978: 136).

Lewat tengah hari demonstran semakin mendekati istana hanya beberapa ratus meter. Pada saat itulah prajurit Carabirwa melepaskan tembakan yang melukai sembilan mahasiswa, seorang di antaranya bernama Arief Rahman Hakim tewas. Tercatat nama lain yang tewas Zubaedah, seorang siswi SMA dari kota Bandung.

Pada 25 Februari massa yang besar sekali memberikan penghormatan pada mahasiswa yang tewas itu dan dimakamkan diiringi tembakan kehormatan oleh satu regu tentara. Nasution, Soeharto, Ibrahim Adjie, Sarwo Edhie mengirim karangan bunga.

Usai pemakaman Arief Rahman Hakim, situasi Jakarta semakin memanas. Di tingkat atas, Presiden Sukarno melakukan pertemuan mendadak dengan para perwira senior militer yang tergabung dalam Komando Ganyang Malaysia (KOGAM).

Pertemuan tersebut pada akhirnya menghasilkan keputusan pembubaran Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) berdasarkan S.K. KOGAM No.41/Kogam/1966 tertanggal 25 Februari 1966 langsung ditandatangani oleh Panglima Tertinggi KOGAM, yang tak lain adalah Presiden Sukarno sendiri.

Pembubaran KAMI dilanjutkan dengan pelarangan untuk berdemonstrasi dan penangkapan sejumlah tokoh mahasiswa anti Sukarno. Panglima Kodam V Jakarta Raya, Mayor Jenderal Amir Machmud bahkan mengumumkan akan memberlakukan jam malam di seluruh kawasan ibu kota.

Besoknya, Brigadir Jenderal Kemal Idris (Kepala Staf Kostrad) mengontak seluruh tokoh KAMI. Demi keamanan, dia mendesak mereka untuk sementara "mengungsi" ke Markas Komando Tempur (KOPUR) II yang terletak di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat.

Berbagai kelompok memburu mahasiswa mulai dari Kodam V Jakarta Raya, para preman pimpinan bekas jagoan Pasar Senen Letnan Kolonel Syafii dan (tentu saja) intel Resimen Tjakrabirawa termasuk pihak-pihak yang aktif menangkapi para mahasiswa yang dicurigai terlibat dalam demonstrasi-demonstrasi sepanjang Januari-Februari 1966.

Sementara di Bandung Pembubaran KAMI dengan segera ditolak oleh mahasiswa Bandung. Hanya beberapa jam setelah pembubaran diumumkan, pada mahasiswa Bandung ini, yakni jam 24.00 pada 25 Februari, mahasiswa Bandung  menyampaikan penolakan yang tegas.

Sikap penolakan  yang dinyatakan mahasiswa Bandung itu menaikan  moril  hingga mendoorng  para mahasiswa di berbagai kota untuk ikut menolak keputusan pembubaran KAMI tersebut. Bahkan pada tengah malam menjelang 25 Februari itu, mahasiswa-mahasiswa Bandung memutuskan memberikan tenaga bantuan bagi rekan-rekannya di Jakarta. Mereka kemudian datang ke Jakarta bergelombang dan dilakukan secara diam-diam.

Langkah jitu ini diambil, karena mahasiswa Bandung punya pengalaman kegagalan long march mereka ke Jakarta 17 Januari 1966 dihambat oleh aparat keamanan. Sementara terjadi pendudukan   kampus ITB oleh Barisan Soekarno --Siswono Yudohusodo, terutama dari GMNI.

Rombongan pertama mahasiswa Bandung yang berangkat ke Jakarta terdiri dari empat puluh orang dengan menggunakan dua bus umum. Selama perjalanan, empat puluh mahasiswa yang seluruhnya dari mahasiswa yang dikenal sebagai kelompok Bangbayang, dipimpin oleh Riswanto Ramelan mahasiswa Seni Rupa ITB, berpura-pura untuk tidak saling kenal.

Rombongan kedua yang dipimpin oleh mahasiswa Elektro ITB Bernard Mangunsong, menumpang kereta api pukul enam pagi dan turun di Stasiun Jakarta Kota. Sedang rombongan ketiga yang juga menggunakan kereta api pukul sepuluh pagi, turun di Kramat Sentiong.

Rombongan berkereta api ini pada umumnya anggota Batalyon I Resimen Mahawarman. Sedangkan rombongan terbesar.  Romongan terakhir, yang terdiri dari kurang lebih 150 mahasiswa menggunakan kereta api pukul tiga sore, dipimpin oleh Arifin Panigoro mahasiswa Elektro ITB. Mereka menempuh jarak Bandung-Jakarta Kota dalam tempo empat setengah jam.

Jumlah mahasiswa Bandung yang datang ke Jakarta sekira  400-an mahasiswa, berasal dari berbagai kampus perguruan tinggi di Bandung, namun terbanyak dari ITB. Jumlah ini sebenarnya tidak terlalu besar di tengah ribuan massa mahasiswa Jakarta. Mereka bergabung di Fakultas Kedokteran UI.

Pada malam kedua kehadiran mereka di kampus Fakultas Kedokteran, datang perintah dari Kodam Jaya untuk mengosongkan kampus. Kodam melarang mahasiswa menginap, dengan alasan ada kemungkinan serangan dari pasukan-pasukan yang pro Sukarno.

Hanya satu malam Kontingen Bandung meninggalkan Fakultas Kedokteran di Salemba, karena keesokan harinya berangsur-angsur mereka kembali ke sana. Mereka bertahan seterusnya  di FKUI.

Ketika sejumlah tokoh mahasiswa Jakarta yang tertekan karena teror dan ancaman, menginap di Kopur (Komando Tempur) Kostrad untuk keselamatan mereka, anak-anak Bandung ini  bertekad terus bertahan di Fakultas Kedokteran UI ini sampai PKI dibubarkan atau Sukarno dilumpuhkan, seperti yang diutarakan tokoh-tokohnya  Muslimin Nasution,  Rudianto Ramelan dan Fred Hehuwat.

Aksi mahasiswa Bandung ini kreatif, mungkin saja bisa dianggap kreatif. Misalnya saja,  mahasiswa-mahasiswa seni rupa ITB, seperti Riswanto Ramelan, T. Soetanto dan kawan-kawannya menciptakan kreasi-kreasi seperti patung besar Subandrio dengan kepala yang besar bertuliskan Dorna Peking.

Patung ini ikut dibawa ketika kelopok Bandung bersama mahasiswa KAMI Jakarta dan pelajar KAPPI menyerbu, merusak dan mengobrak-abrik ruang kerja Soebandrio di Departemen Luar Negeri. Patung ini lalu dicari-cari untuk disita oleh aparat Kodam Jaya, dan akhirnya 'terpaksa' dibakar sendiri oleh para mahasiswa dan pelajar setelah diarak, dalam suatu acara simbolik di kampus Salemba.

Pada hari-hari berikutnya, tak henti-hentinya terjadi konflik fisik antara mahasiswa KAMI dengan anggota-anggota Front Marhaenis Ali Surachman. Ini adalah buah dari pengerahan yang diciptakan oleh para pemimpin partai dan para pendukung Soekarno, terutama dengan pembentukan Barisan Soekarno yang diperhadapkan dengan mahasiswa KAMI dan para pelajar dari KAPPI. Selain menyerbu Departemen Luar Negeri pada tanggal 8 Maret, para mahasiswa juga melakukan penyerbuan ke Kantor Berita RRC Hsin Hua, namun gagal.

Pada 10 Maret, wakil-wakil partai politik dipanggil Presiden Soekarno ke Istana, dan disana partai-partai tersebut untuk kesekian kalinya menampilkan perilaku oportunis mereka di depan Soekarno, lalu mengikuti perintah Sukarno mengeluarkan pernyataan yang tidak membenarkan tindakan-tindakan yang dilakukan para mahasiswa dan para pelajar serta pemuda.

Sejarah kemudian mencatat ketegangan akhirnya selesai setelah adanya Surat Perintah 11 Maret 1966, di mana Soeharto mengantongi kuasa untuk mengatasi segala keributan tersebut. Berbekal surat perintah itu, Soeharto langsung membubarkan PKI. Pukul 06.00 WIB, RRI menyiarkan pengumuman pelarangan PKI beserta seluruh "underbouw'-nya.

Mayjen Kemal Idris  membangunkan beberapa mahasiswa yang tertidur di markas Kostrad."Kalian menang. PKI dibubarkan!" ucap Kemal yang disambut kegembiraan para mahasiswa.

Di jalan-jalan pun rakyat menyambut pembubaran PKI. Mereka bersorak-sorai menyambut parade militer yang digelar Soeharto. Saat itu rakyat dan mahasiswa merasa perjuangan mereka telah berhasil. Pukulan telak kedua bagi PKI selesai dilakukan, pukulan secara "de yure".

Karakteristik Gerakan Mahasiswa Bandung

Hal menarik dalam gerakan mahasiswa di Jakarta dan Bandung, untuk beberapa lama, soal Soekarno ini menjadi salah satu perbedaan strategi gerakan antara mahasiswa Bandung dengan Jakarta. Perbedaan ini berlangsung cukup lama. Dalam demonstrasi-demonstrasinya, mahasiswa Jakarta masih kerap meneriakkan yell-yell 'Hidup Bung Karno', 'Kami tetap mendukung Bung Karno' seraya meneriakkan hujatan-hujatan terhadap tokoh lainnya, seperti Soebandrio yang menjadi sasaran favorit.

Sementara itu, dalam gerakan-gerakan mahasiswa Bandung, sikap anti Soekarno sudah tampil sejak dini dalam kadar yang amat tinggi". Misalnya saja di Bandung bermunculan coretan yang ditujukan langsung kepada Soekarno, seperti tulisan "Sukarno, No" serta berbagai serangan lain yang menunjukkan bahwa mahasiswa tak lagi menginginkan Soekarno sebagai pemimpin negara.

Gedung MPRS, Gedung Merdeka di Jalan Asia Afrika Bandung diserbu dan dicoreti mahasiswa dengan tulisan "Gedung Komidi Stambul". Dalam nyanyian-nyanyiannya mahasiswa menyindir "MPRS.... Yes, yes, yes" yang menggambarkan betapa lembaga tertinggi 'perwakilan rakyat' itu berisi dengan orang-orang yang hanya bisa mengatakan "yes" kepada Sukarno.

Sukarno yang marah, bersama Subandrio, melontarkan tuduhan bahwa aksi-aksi mahasiswa itu ditunggangi oleh Nekolim. Tetapi berbeda dengan masa pra G30S, pada saat itu tudingan semacam itu telah hilang keampuhannya dan tidak lagi membuat gentar mereka yang dituding. 

Irvan Sjafari

Sumber Primer

Pikiran Rakjat, 3 Januari 1966, 5 Januari 1966, 7 Januari 1966, 12 Januari 1966, 13 Januari 1966, 14 Januari 1966, 15 Januari 1966, 17 Januari 1966, 19 Januari 1966,  20 Januari 1966

Sumber Sekunder

Aly, Rum,Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 -- Mitos dan Dilema, Mahasiswa Dalam Proses Perubahan Politik 1959-1970, Jakarta: Kata Hasta Pustaka Jaya, 2006 dan http://s-kisah.blogspot.com/2011/10/kisah-1966-dari-10-januari-menuju-11.html

Hadi, Abdul, "Sejarah Tritura dan Gerakan Mahasiswa Tumbangkan Orde Lama" 10 Januari 2020, dalam https://tirto.id/sejarah-tritura-gerakan-mahasiswa-tumbangkan-orde-lama-erMo diakses 18 Oktober 2020. Diakses pada 18 Oktober 2020

Johari, Hendi, "Setelah Arief Tewas di Ujung Peluru" dalam Historia id. 23 Februari 2020 dalam https://historia.id/politik/articles/setelah-arief-tewas-di-ujung-peluru-vQJ3a/page/1 diakeses pada 18 Oktober 2020

Lecrec, Jaques, "Aidit dan Partai  pada Tahun 1950", Prisma, Juli 1982

Maxwell, John, Soe Hok-Gie : Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2001.

May, Brian, The Indonesian Tragedy, Singapura: Graham Brash LTD, 1978

https://www.merdeka.com/peristiwa/tritura-senjata-mahasiswa-gulingkan-presiden-soekarno.html

Novianto, Arif "Genosida Intelektual (Genocide): Pemberangusan Ideologi dan Kaum Kiri di Kampus Pasca September 1965" 24 Februari 2017, dalam https://mapcorner.wg.ugm.ac.id/2017/02/genosida-intelektual-intellectualcide-pemberangusan-ideologi-dan-kaum-kiri-di-kampus-indonesia-pasca-september-1965/ diakses 18 Oktober 2020.

Onghokham, Sukarno, Orang Kiri Revolusi & G30S 1965, Jakarta: Komunitas Bambu, 2013

Permana, Rangga Bulki, "24 Februari 1966: Tertembaknya Arief Rahman Hakim Mempercepat Pelengseran Sukarno, 24 Februari 2018 dalam https://tirto.id/tertembaknya-arif-rahman-hakim-mempercepat-pelengseran-sukarno-cE8v

Raillon, Francois, Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966-1974, Jakarta: LP3ES

Sundhaussen, Ulf, Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI, Jakarta: LP3ES, 1986 dalam Dyah Rahmawati, Petani Milenial dari Kota Malang

https://tirto.id/sejarah-tritura-gerakan-mahasiswa-tumbangkan-orde-lama-erMo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun