Layar menyala seperti mencari sinyal. Â Tampak hamparan bintang dan sebuah planet yang sangat kami kenal: Titanium, lalu mengecil ke arah sebuah kota Preanger Satu.
"Ya, Tuhan, dia sudah menemukan alat komunikasi Intersellar," ujarnya. "Dia sudah kontak dengan seseorang atau lebih di Preanger Satu."
Aku terperanjat ketika gambar yang ada di layar adalah wajah Bagus Sucahyana. "Sayang, aku menyusul anjeun ke sana. Tapi perlu waktu karena aku tidak punya peta ke Bumi. Jadi harus ada yang ke sana dulu."
Dia kemudian menunjukan sebuah gambar mirip burung garuda. Entah untuk apa. Suaranya kabur.
Di meja itu juga ada gambar dari Purbaendah yang ditunjukan ke Bagus. Ada gambar cambuk api, perisai yang didapat dari planet lain yang dihuni manusia. Ada rekaman suaranya.
"Kang Bagus, ini dari kahyangan yang lain, ya? Ada cambuk dan perisai yang tidak kelihatan. Tetapi aku ingin lihat seperti apa Manuk Dadali yang Kang Bagus rencanakan."
"Aku ajarkan caranya. Tetapi jangan anjeun gunakan melawan orang-orang kahyangan."
"Janji, Aa!"
Tak seorang pun di antara kami bicara. Semua terperangah. Â Apalagi aku, melihat diriku sedang tidur di kamar kosku. Â Sementara ada foto Samuel Wanggai, Atep Firman, Jalal Pamuncak, Yudi Faisal dan ada jersey Persib tergantung di lemari. Ada beberapa wayang golek, kujang untuk hiasan. Â Benda milik Bagus. Tentunya juga gambar Burung Garuda.
"Garuda itu Manuk Dadali dalam bahasa kami."
"Ya, ini lambang negeri nenek moyang Aa dulu."