****
Habis salat subuh kami berangkat ke perbatasan dengan kendaraan militer sesuai protokol. Â Badai menunggu dengan setia. Komandan patroli itu Sersan Reda Fahrudin sudah akrab dengan saya, karena sering menamani kalau berpergian dengan Abah, kalau bawa saya.
Dia bawa delapan serdadu dengan senjata high voltase. Â Kami memakai jaket dan celana panjang, serta sepatu khusus agar terhindari dari mahluk berbisa atau semacam serangga penggigit yang rasanya gatal.
Akhirnya kami tiba di lokasi di mana pohon buah merah itu banyak tumbuh. Para tentara menyebar karena meyakini lokasi itu aman dan ada Badai dengan peralatan radarnya mendeteksi kalau ada mahluk di luar manusia mendekat. Dia baru saja membunuh mahluk seukuran telapak tangan dengan capit dan mulut lebar bergerigi ingin menggigit sepatuku tanpa aku sadar. Badai sudah menginjaknya hingga remuk.
"Tipox, mahluk asli planet ini. Gigitannya berbisa buat radang selama berapa hari walau tidak mematikan," kataku.
Bagus pun mengangguk dan dia menginjak seekor Tipox yang menjalar di depan kakinya. Â Kemudian kami mengamati sebuah pohon.
Bagus asyik meneliti buah merah sebesar dua kepalan tangan berbentuk serupa alpukat. Dia memetik satu dan membela buah itu ada daging buahnya yang agak keras. Tapi belum ada yang memakanannya, karena belum diketahui efeknya.
Bagus mencoleku menunjuk sebuah pohon berbuah merah menyala. Â Daun-daunnya berwarna kuning membuatnya menarik.
"Wah, aku belum pernah melihatnya euuy..." sahutku.
Aku memanjat pohon dan memetik berapa buah. Satu jatuh dan seekor ciput memakannya dengan lahap.
"Sepertinya Ciput menyukainya, aman," kataku,