Kami tidak bisa menolak. Seorang dokter ahli alergi yang selama ini menangani Guru Minda, dua orang mekanik, dua perawat, seorang juru masak, sembilan tentara menemani kami dengan persenjataan lengkap, obat-obatan dan makanan yang jauh lebih banyak dibanding ekspedisi kami pertama.
Cerita kami sudah cukup jadi referensi ekspedisi tidak bisa dengan kekuatan kecil. Dewan khawatir kalau kami bertemu lagi dengan orang Atlantis atau bangsa lain yang kami tidak tahu siapa mereka. Â Kami berangkat dengan Guru Minda Dua Belas yang ukurannya besar.
Ambu dari Guru Minda, Sunanti marta Sasmita  ikut dengan kami. Suaminya harus tetap di Titanium untuk menjaga putri mereka yang masih kecil, skelaigus juga meneliti efek buah itu. Lagipula Guru Minda sangat dekat dengan ibunya.
"Pokoknya kali ini bawa semua pulang ke Titanium. Kalau bertemu Ginanjar, Harun, Elang dan siapa itu cucunya Mayang dan Ira bawa mereka semua. Â Kalau ada warga yang mau ikut, masih memungkinkan, angkut. Bilang ini perintah Dewan," suara Presiden Dewan Preanger menggelegar.
Anggota dewan lain mengangguk.
Pulang? Bukankah mereka juga pulang ke Bumi. Arti pulang jadi relatif. Itu kalau mereka mau. Kalau mereka masih ada.
Yang membuat aku lega salah satu Hiyang mengikuti kami di pesawat tentunya hanya aku dan Ira yang melihat. Dia bersembunyi di bagasi yang memang besar dengan tenang. Lewat telepati dia berjanji akan membantu. Itu artinya menghadapi masalah yang lebih besar.
Orang Atlantis? Mereka masih jadi ancaman. Aku mencoba bertelepati.
Lebih kuat dari orang Atlantis. Bangsa itu sudah lenyap. Negeri mereka tenggelam karena bencana. Suara Hiyang melegakan, sekaligus juga menakutkan.
Namaku Mayang Kusuma, aku tak membayangkan petualangan kembali ke Bumi untuk kedua kalinya. Eskpedisi kami mencari  Guru Minda, dia yang diejek sebagai lutung.
Lutung Kasarung, Â lutung yang tersesat. Itu julukannya. Dia punya tugas di Bumi. Kalian akan membantunya pada saat yang paling berbahaya. Kami hanya bisa mengawasi dan memberi masukan.