Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Dayang Sumbi (7)

9 Juni 2020   16:29 Diperbarui: 9 Juni 2020   16:31 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi-Foto: Kumparan.

TUJUH

Malam itu aku melihat dari jendela ke arah tepi danau. Sang Kuriang memimpin pembuat kapal besar dengan tiga lantai mungkin tingginya delapan meter ke geladak. Panjangnya sekitar dua puluh meter. Terbuat dari kayu. Entah apa rencana Hyang. Mereka menampakan diri atau tiga mahluk membuatkan perahu itu.

"Itu kah Hyang yang dimaksud anak-anak kita?" ujar Ira.

"Iya, mereka punya rencana, sebagian dari mereka bermaksud buruk pada manusia, tetapi sebagian lagi melindungi."

Hyang menampakan diri kembali.  Ira nyaris terpekik. Aku yang sudah pernah melihatnya kemudian memegang tangan Ira untuk diam agar tidak menarik perhatian penjaga.

Dulu beberapa bangsa kami membantu membangun Lemurian. Mereka membangun peradaban tinggi bahkan transportasi yang bisa  membawa mereka terbang.  Lemurian juga membuat persenjataan.

Bangsa kami juga membantu Mesir, Maya, peradaban tua sejarah kalian. Kami juga membantu Atlantis, tetapi  mereka tidak mengembangkan senjata.

Sayangnya,  Lemurian menggunakan keunggulan teknologi dan senjata untuk menjajah bangsa lain, seperti negeri Atlantis. Itu sebabnya kami menggunaan suami kalian untuk membantu Atlantis membangun persenjataan dan sebetulnya energi untuk mengusir Lemurian.

Berhasil, sayangnya raja mereka jadi serakah. Kini mereka akan membuat senjata yang mengerikan yang bisa menghancurkan daerah yang luas.  Senjata itu disiapkan untuk menghancurkan kerajaan lain di sebelah Barat, negeri yang dalam sejarah kalian nanti akan disebut Athena.

"Senjata pemusnah masal?" cetus Ira. "Senjata nuklir?"

Seperti itu. Namun belum sedahsyat itu. Radiasinya masih lebih ringan tetapi tetap merusak. Kami ingin mencegahnya. Masalahnya kode etik melarang untuk bertempur langsung, tapi harus menggunakan manusia lain atau alam.  Selain itu ahli mereka yang belum matang ilmu buat kerobohan, radiasi bocor dan membuat sebagian areal tidak bisa didiami lagi.

"Itu sebabnya mereka ingin memusnahkan penduduk negeri Parahyangan. Untuk kemudian memindahkan penduduknya," sahut aku menjadi takut.

"Kesalahan mereka diulangi lagi berabad-abad kemudian," ucap Ira.

Itu sebabnya kami membantu kalian membangun Titanium dan juga ada berapa tempat lain untuk bangsa lain.  Bumi menjadi porak poranda.

Ira tersenyum. "Jadi di planet lain ada bangsa lain?"

Sampai kami menemukan jalan bagaimana agar umat manusia bisa akur, kami tidak akan pertemukan kalian.

Hyang, bagaimana cara kalian mencegah perkawinan terlarang ini.

Jalankan saja. Kami mengatur. Tepatnya alam yang mengatur.

Hyang menuturkan sebagian mereka membantu Sang Kuriang membuat perahu hingga selesai dalam waktu semalam. Mahluk ini sudah lama berada di antara umat manusia dengan kemampuan kamuflase mereka.

Sebagian dari mereka membantu manusia, sekalipun untuk tujuan yang salah. Mahluk ini kagum pada manusia dengan kretivitasnya. Mereka punya keunggulan mampu mewujudkan permintaan manusia dalam waktu singkat, tetapi tidak punya kreativitas. Itu sebabnya mereka ingin bersama manusia.

Aku dan Ira tidak bisa tidur karena perahu sudah selesai. Hyang yang mendampingi kami meminta saya dan Ira turun untuk melihat perahu.

Mintalah pada Sang Kuriang untuk mencoba perahu dulu. Tepat sebelum matahari terbit kalian bebas.

Suara telepati Hyang mengisi kepala saya dan Ira. Apa yang harus kami katakan.

Ilustrasi-Foto: Bandung.Go.id
Ilustrasi-Foto: Bandung.Go.id
Kami tidak bisa tidur semalaman. Subuh hari Ira dan aku salat dan kemudian mandi turun ke dermaga.  Sang Kuriang sudah menunggu dengan bangga. Kapal sudah selesai.

"Boleh kami mencoba perahu ini dulu. Setelah matahari terbit kami kembali dan pernikahan bisa digelar," aku berkata dengan tegas.

Sang Kuriang mengangguk. "Silahkan, orang aku akan mengantarkan kalian berkeliling danau untuk melihat matahari terbit ketika di danau."

Aku dan Ira menaiki perahu besar itu bersama enam pengawal. Hyang yang mengawal kami mengikuti. Perahu pun bergerak ke tengah danau. Amboi harus diiakui begitu indahnya panorama di tengah danau menjelang fajar. Keajaiban apa yang menyelamatkan aku dari perbuatan yang terlarang ini, anak yang menikahi ibunya?

Hiyang menampakan diri lagi.  Para pengawal ketakutan, tetapi mahluk itu tetap memerintahkan mereka untuk bertugas di kapal melalui telepati.

"Bagaimana caranya kalian menganggalkan pernikahan aku dan anakku?" tanya aku penasaran.

Kami sudah jauh sudah di tengah danau. Dari jauh terlihat Gununtangkubanprahu, tampak berasap.

Sebetulnya kalian sudah melihat tandanya kemarin. Suara Hiyang hanya menjelaskan.

"Gunung itu akan meletus. Itu sebabnya puluhan tentara Atlantis mati terkena gas racun dan hawa panas," ujar Ira.

"Bagaimana dengan Elang, Kanaya, teman-teman kita?" aku khawatir. "Bagaimana pun dia anakku."

Mereka selamat. Kami melindungi mereka.

Persis ketika matahari menyembul dari Timur, bumi bergetar. Danau mulai bergolak. Gunung meletus. Aku dan Ira panik. Tapi Hyang menenangkan.

Justru ini cara kami memisahkan kalian.

Air bergolak keras ketika api menyembur dari kepundan. Dari kejauhan Sang Guriang tampak gelisah. Anak buahnya di kapal panik. Tiba-tiba air bergulung membalikan perahu. Saya dan Ira tercebur ke dalam danau. Hyang melindungi kami dengan gelembung udara yang dibuatnya membungkus kami di dalam air.

Aku sempat melihat terbalik di atas air, bagian lunasnya berada di atas dan geladaknya ada di dalam air. Tapi Hyang kemudian mengarahkan gelembung ke tepian lain yang jauh.

Entah berapa lama, tahu-tahu kami ada di tepian lain di mana Mamo dan Caecilia menunggu. Di sekeliling mereka berkumpul sekelompok sosok mirip manusia, namun dengan bulu lebat lebih ke arah kera. Mereka melongo.

"Kami sudah berteman," kata Mamo terkekeh-kekeh.

Tiba-tiba kelompok  manusia goa beteriak histeris. Rupanya lontaran batu akibat gunung meletus masuk ke gua. Kami berlari bersama dan mendapatkan salah satu sosok itu tewas di dekat periuk berisi umbi-umbian. Dia terkubur di salah satu lubang.

"Wah tadi kami makan bersama mereka di goa ini. Mereka menyebutnya pawon, artinya dapur," ujar Mamo sedih.

Ilustrasi-Foto: Kumparan.
Ilustrasi-Foto: Kumparan.
Tak ada yang bisa kalian lakukan. Cepat tinggalkan planet ini kembali ke asal kalian? Sebelum Sang Kuriang menyadari. Saat dia sedang marah menyuruh anak buahnya mencari kalian. Suara Hiyang mengisi kepala saya dan Ira.

Gunung berhenti meletus. Dari kejauhan  kami melihat kapal terbalik dengan bagian lunas di atas. Persis seperti gunung.

"Ayo kita pergi!" ajak Aku.

"Yang lain?"

" Kapten Gumilar dan Harun tinggal di sana menjaga anak aku dan cucuku dan cucu Ira juga. Mereka menjaga agar Sang Kuriang bisa lebih bijak," ucap aku.

"Dua motor capung dan jip terbang masih di sana? Juga persenjataannya?"

"Biarkan. Itu membantu Elang melindungi negerinya. Ada Kapten Ginanjar yang akan mengajarkan."

Aku dan Ira mengikuti Mamo dan Sisil  ke arah Guru Minda Delapan yang sudah siap. Tak Jauh dari Guru Minda  Enam.  Beberapa Hiyang menampakan diri. Mereka yang membawa kapal itu dari dasar danau semalaman. 

Para manusia gua itu mengelilingi kami dari kejauhan.

Para Hiyang kemudian menghilang. Tepatnya menghilang dari pandangan. Mereka masih berada di situ.  Ada yang tidak boleh melihat mereka. Ada yang datang.

Sepuluh serdadu  Atlantis.  Saya mengenal Ares ada di situ.

"Orang kahyangan atau dari langit, kalian sudah cukup membuat jengkel,"ucap Ares geram.

Kami tahu Hiyang tidak bisa ikut campur dalam konflik antar manusia.  Ares menodongkan senjata pelontar panasnya.

Ira tampak melihat ke atas. Para manusia gua yang sudah demikian bencinya pada orang Atlantis berkumpul. Jumlahnya puluhan kali lipat. Orang Atlantis itu terlalu meremehkan mereka.

Ada yang membawa tombak, pemukul dari tulang binatang, kapak batu dan ada yang melempar batu mengenai kepala orang Atlantis. Tombak mereka melayang dua mengenai sasaran. Ira segera menembak cepat, diikuti Mamo. Dua prajurit Atlantis tumbang.  

Konsentrasi pasukan Atlantis buyar, beberapa dari mereka mampu menjatuhkan manusia gua itu dengan senjata pelontar panas. Tetapi para manusia gua itu tidak takut lagi. Mereka menyerbu ke bawah.

Ares berhadapan dengan Ira. "Aku kenal wajah kamu perempuan, yang aku bunuh sepuluh tahun lalu."

"Oh, kamu kamu yang membunuh Iskanti. " Ira berkelit menghindari tembakan Ares dan ganti menembak tepat di kaki Ares hingga jatuh senjatanya terlepas.

"Aku tidak akan membunuh Anda Panglima. Pembunuh perempuan tak berdaya. Lagipula Anda milik mereka yang Anda anggap binatang," kata Ira.

Kami meninggalkan Ares dan dua tentara yang tersisa dikepung manusia-manusia gua dengan teriakan keras dan sorak-sorai.   Mereka hanya menjerit  dan bersorak riuh ketika pukulan tulang menyentuh kepala Ares dan anak buahnya dengan keras. Aku mendengar pukulan seperti tulang berbentur tulang. Lalu ada yang menghujam tombaknya.  Makin lama makin banyak manusia gua yang datang

Kami tidak tahu nasib Ares dan anak buahnya. Hanya menduga saja. Semut saja diinjak marah mengggigit.

Kami berempat masuk dalam Guru Minda Delapan.  Mamo mengemudikannya dengan segera meninggalkan tanah. Dari atas kami melihat capung terbang dikemudikan Sang Kuriang dan Kapten Ginanjar menyeberangi danau. Mereka melihat dulu kondisi perahu dan menolong enam anak buahnya.

Sang Kuriang tampaknya gusar. Ginanjar menenangkannya. Untung mereka tidak melihat kami.

"Kita harus meninggalkan Ginanjar dan Harun?" tanya Sisil sekali lagi.

Tapi Sisil tidak perlu jawaban aku atau Ira. Ada suara yang mengisi kepalanya dan Mamo. Keduanya kemudian berkonsentrasi mengemudikan Guru Minda Delapan menembus batas atmosfer.

Guru Minda Delapan masih bagus. Baterai cukup untuk perjalanan pulang. Kemudian Mamo menerbangkan pesawat melesat ke angkasa menuju lubang cacing. Hyang membantu kembali ke waktu kami hilang lewat petunjuk telepati ke otak Mamo.

Ira memperlihatkan wajah sedihnya. "Setidaknya aku tahu, bahwa aku sudah punya cucu. Sekalipun tidak akan melihatnya lagi."

Guru Minda melesat memasuki lubang cacing. Kami dalam perjalanan pulang. Entah bagaimana sejarah Bumi apakah jadi dunia paparel atau memang begitu, masa depan adalah sejarah.

Entah berapa lama kami dalam perjalanan. Aku tertidur tak peduli dengan busana kerajaan anakku. Begitu juga dengan Ira. Tahu-tahu Mamo membangunkan ketika kami akan memasuki permukaan Planet Titanium.

Planet yang menghijau dengan bercak-bercak coklat dan biru pertanda adanya ribuan danau besar dan kecil bertebaran dan warna cokelat dan biru di bagian katulistiwa tanda sangat panas. Laut, tapi mungkin sangat panas. Di subtropis juga beberapa danau yang lumayan luasnya bila dilihat dari atas.

Dalam berapa jam pesawat mendarat di atas lapangan Preanger Dua. Kami mendarat kira-kira pada pukul 20.00 Waktu Titanum di mana matahari baru akan tenggelam. Pada musim panas ini matahari baru tenggelam pukul 22.00 dan sehari-semalam bagi kami adalah 30 jam.

"Bangunan-bangunan masih sama. Aku khawatir jangan-jangan kita di masa depan?" ujar aku.

"Atau di masa lalu," Ira juga paranoid.

Dengan masih berpakaian ala kerajaan Sunda, aku dan Ira berjalan canggung. Dasir dan Vanda Katrina menyambut kami. Mereka langsung mengajak kami masuk ke lobi. Di sana juga menunggu atasan saya Dedi Cumi. Dia suka merudung, dia pasti tergelak melihat saya berpakaian aneh seperti ini.

Tapi kali ini tidak. Dedi sama sekali tidak tertawa. Dasir dan Vanda mengajak kami langsung masuk ke lobi. Mereka sadar bahwa ekspedisi tidak berakhir bahagia. Bukan saja tidak bisa membawa kembali Taruma, Elang dan Iskanti, malah kehilangan tiga orang.

"Berapa lama kami di sana menurut hitungan Titanum? Hitungan kami hanya kurang dari satu minggu di Bumi," ujar saya lirih.

"Tiga bulan di sini. Itu bagus. Kalian malah bisa datang sebelum koloni di bangun, karena lubang cacing tidak bisa ditebak," jelas Vanda.

"Kami kembali ke Bumi, tetapi di waktu pra sejarah. Entah itu Bumi di dimensi nenek moyang kita atau tidak. Kami bertemu mereka yang hilang dan banyak kejadian mengerikan.Kami takut kedatangan mereka mengubah sejarah," kataku lirih.

"Kalau sejarah berubah mungkin kalian tidak bisa melihat koloni lagi," sela Dedi Cumi.

"Laporkan besok ke Dewan Tujuh Preanger," ucap Vanda. "Sekarang istirahat dulu."

Irvan Sjafari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun