Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Dayang Sumbi (4)

5 Juni 2020   20:42 Diperbarui: 5 Juni 2020   20:49 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

EMPAT

Pimpinan pasukan itu membawa kami ke bangunan yang berpagar bambu dengan gerbang. Mungkin istananya? Kami memasuki halaman dan dibuat takjub ada kolam besar dan taman bunga, hingga di bangunan utama.

"Mirip keraton yang ada di foto?" bisik Harun.

Tiba-tiba para prajurit penggiring kami berlutut dan komandan itu menyuruh kami semua berlutut. Kapten Ginanjar mengisyaratkan kami mengikuti, karena belum tahu berhadapan dengan apa.

Dari bangunan itu keluar seorang pemuda dengan ikat kepala dan pakaian serba berwarna biru dan iket kepala biru juga. Sementara penggiringnya lima laki-laki dan lima perempuan berpakaian serba merah dan cokelat. Mungkin dia raja.

"Sampurasun! Wilujeng sumping, urang asing!" Lelaki berpakaian biru itu berkata.

"Rampes Sri Paduka!  Hatur nuwun ditampi di nagara Sri Paduka!" Aku menjawab sekenanya.  Sementara kawan-kawanku tidak tahu harus menjawab apa.

Laki-laki itu mungkin usianya 25 tahunan, mungkin lebih. Tapi tak akan lebih dari 30 tahun. Tubuhnya tinggi. Rambutnya dibiarkan panjang tetapi cukup terawat. Dia mengelilingi kami. Di depan aku dia berdiri dan meminta kami semua berdiri.

Dia menatap mataku dengan sorot yang kuat. "Anjeun, dari mana?" sapanya lembut. Dia terpesona pada aku. Dia bisa berbahasa kami.

"Bukan dari sini, dari langit..." jawab aku menunduk karena cara dia menatap menandakan dia tertarik padaku.  Jujur aku terpesona, tetapi aku belum membuka hatiku. Cintaku hanya pada Kang Anggga.

"Anjeun bisa tahu bahasa kami?"

Dia tak menjawab. Tapi menyilahkan kami mengikuti masuk ke dalam istananya.

"Tentunya kalian lapar, silahkan menikmati jamuan kami," ujar dia.

Kami diminta menunggu di ruangan makan, meja yang disusun melingkar. Aku duduk di samping Ira. Meja kayu yang kuat dan bagus buatannya. 

Apakah ada Elang dan Iskanti di sini? Orang itu tidak mungkin Taruma karena kita tahu wajahnya dan tidak mungkin lagi anak-anak kita ada di sini?"

Sekitar setengah jam aneka hidangan disajikan, ada sepuluh ekor ikan dan sepuluh potong ayam bakar dengan nasi hingga sayuran dan buah kupas, mungkin sejenis mangga. Baunya ranum. Piringnya terbuat dari kayu yang begitu halus buatannya dan diberi alas daun pisang. Begitu juga dengan gelas air.

"Sok, dimakan?" kata orang itu.

Kapten Ginanjar makan dengan lahap dan hati-hati. Begitu juga Andrian dan Harun. Aku dan Ira akhirnya menyusul. Sampai saat ini kami dibiarkan membawa senjata, menandakan mereka sebetulnya sudah tahu siapa kami.

"Seandainya sebagian orang-orang ini dari Titanium. Pertanyaannya bagaimana dia membangun peradabannya, ada yang membantu," bisik Harun. "Kalian lihat komandan pasukan tadi tidak terkejut dengan senjata listrik kita dan pakaian kita."

Laki-laki berambut panjang itu menatapku tajam. Aku gelisah, tatapan itu mirip tatapan suamiku dulu, ketika hendak meminang. Bahkan wajahnya begitu mirip.

"Abdi Sang Kuriang. Anjeun semua dari atas?" Dia menunjuk langit.

Kami saling berpandangan.

"Kami mencari warga kami yang mungkin terdampar di sini. Kendaraannya ada di danau," tutur Kapten Ginanjar memberanikan diri.

Pria yang menamakan dirinya Sang Kuriang mengangguk. "Kami harus waspada, musuh kami juga orang asing dari negeri seberang lautan kerap menyerang  negeri ini. Kami sudah lima tahun berperang melawan mereka, orang-orang Atlantis."

"Negeri?"

"Negeri kami Parahyangan, sesuai nama pelindung kami."

"Hyang?"celetuk aku.

"Dia ada di sekitar tempat itu. Selalu membantu kami, asal kami mematuhi sejumlah aturan, seperti menjaga hutan dan air, tidak mengambil hasil hutan kecuali diperlukan. Kami juga tidak boleh beburu binatang berlebihan," tutur Sang Kuriang.

Sang Kuriang? Masa sih dia Elang? Harusnya anak kecil? Jantungku berdegub. Kalau begitu mana Iskanti dan Taruma?

Setelah makan Sang Kuriang mengajak aku untuk berbicara berdua. Mulanya Ira dan Ginanjar keberatan. Namun aku begitu penasaran.

Dia mengajak aku ke taman di belakang istananya. Kebun yang ditata bagus, penuh buah dan bunga. Di tengahnya ada bangunan kecil. Dia mempersilahkan aku untuk masuk di sana ada dua gundukan tanah dengan nisan bertulis huruf aneh mungkin huruf Sunda kuno. Aku tak bisa membacanya dan hanya mengira-ngira.

"Ini Dayang Sumbi dan itu orang yang membawa kami..."

"Taruma, berarti ini Iskanti..."

"Orang-orang Atlantis membunuh mereka beberapa tahun lalu..."

"Lalu Elang? Kamu Elang anakku? Aku Ambu?," papar aku melihat bekas luka di antara rambutnya. Aku ingat luka itu dari belalainya Bolo yang membuat bekas seperti lingkaran.

"Tidak mungkin anjeun Ambu abdi. Usianya pasti sudah tua," ujar dia. "Aku hanya percaya kalian dikirim tetua dari langit, kan? Dari kahyangan"

Susah menjelaskannya. Logika dia kalau aku mencarinya, pasti sudah dua puluh tahun lalu ketika dia masih kecil.

Lalu dia berdiri dan menatap aku dengan mata yang tajam. Dia memegang kedua tanganku dengan lembut dan kata-kata yang merendah.

"Maukah anjeun menjadi Dayang Sumbi abdi? Pengganti dia?"

Ilustrasi-Foto:Popmama.com
Ilustrasi-Foto:Popmama.com

Tak mungkin. Dia tidak ingat aku ibunya. Tetapi bagaimana menolaknya? Di sisi lain aku tidak bisa menyangkal, ada bagian dari diriku juga menyimpan rasa suka. Dia membuat aku terpesona.

Ada bagian kecilku, yang menyangkal, apakah benar dia Elang atau hanya kebetulan saja ciri-cirinya menyerupai Elang.  Pertanyaannya bagaimana bisa anak kecil yang baru berapa hari lalu bersamaku tumbuh menjadi pria dewasa?

Bisa jadi Sri Paduka bertemu Taruma, Elang dan Iskanti dan menawan mereka dan mendengar cerita mereka soal negeri yang mereka sebut kahyangan. 

Kemungkinan kedua, ketiganya masih hidup dan ditawan di satu tempat dalam istana ini. Tapi tak mungkin, kami diterima dengan terbuka dan senjata tidak diambil. Artinya Sri Paduka Sang Kuriang menganggap kami benar-benar tamu.

"Beri aku waktu," jawabku. Jawaban yang netral.

Sang Kuriang mengangguk. Untuk sementara dia memaklumi bahwa aku juga perlu waktu menerima pinangan mendadak itu. Lalu kami kembali ke pendopo dengan penuh kebingungan dan tanda tanya.

Di sana sudah ada teman-temanku yang lebih menyimpan tanda tanya.

 

Irvan Sjafari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun