EMPAT
Pimpinan pasukan itu membawa kami ke bangunan yang berpagar bambu dengan gerbang. Mungkin istananya? Kami memasuki halaman dan dibuat takjub ada kolam besar dan taman bunga, hingga di bangunan utama.
"Mirip keraton yang ada di foto?" bisik Harun.
Tiba-tiba para prajurit penggiring kami berlutut dan komandan itu menyuruh kami semua berlutut. Kapten Ginanjar mengisyaratkan kami mengikuti, karena belum tahu berhadapan dengan apa.
Dari bangunan itu keluar seorang pemuda dengan ikat kepala dan pakaian serba berwarna biru dan iket kepala biru juga. Sementara penggiringnya lima laki-laki dan lima perempuan berpakaian serba merah dan cokelat. Mungkin dia raja.
"Sampurasun! Wilujeng sumping, urang asing!" Lelaki berpakaian biru itu berkata.
"Rampes Sri Paduka! Â Hatur nuwun ditampi di nagara Sri Paduka!" Aku menjawab sekenanya. Â Sementara kawan-kawanku tidak tahu harus menjawab apa.
Laki-laki itu mungkin usianya 25 tahunan, mungkin lebih. Tapi tak akan lebih dari 30 tahun. Tubuhnya tinggi. Rambutnya dibiarkan panjang tetapi cukup terawat. Dia mengelilingi kami. Di depan aku dia berdiri dan meminta kami semua berdiri.
Dia menatap mataku dengan sorot yang kuat. "Anjeun, dari mana?" sapanya lembut. Dia terpesona pada aku. Dia bisa berbahasa kami.
"Bukan dari sini, dari langit..." jawab aku menunduk karena cara dia menatap menandakan dia tertarik padaku. Â Jujur aku terpesona, tetapi aku belum membuka hatiku. Cintaku hanya pada Kang Anggga.
"Anjeun bisa tahu bahasa kami?"