Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ma Petite Histoire (11): Kampung Tugu 2002-2003

10 April 2020   11:38 Diperbarui: 10 April 2020   12:12 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Para pemain kroncong Tugu mengenaan syal yang dililitkan pada leher masing-masing. Sedangkan pemusik wanita mengenakan kebaya.

 *****

Pada 2002-2003 itu juga saya membaca dua buku yang terkait dengan Kampung Tugu dan salah satu di antaranya dimuat di sebuah media online yang kini sudah berhenti. Berikut petikannya.

Menurut Antonio Pinto Da Franca dalam bukunya "Pengaruh Portugis di Indonesia", terbitan Sinar Harapan, 2000,  Tugu itu adaah kampung perdusunan yang letaknya sekitar dua kilometer dari Pelabuhan Sunda Kelapa. Rupanya pada abad ke 17, banyak prang Goa dan Mestizo Portugis yang ditawan oleh VOC (Belanda) selama perang, 

Setelah berapa lama VOC memutuskan untuk membebaskan mereka  dan itu sbebanya mereka disebut orang mardijker atau merdeka.  Pada 1661 mereka menganut Protestan melalui perentaraan Gereja Portugis diberikan tanah di Jakarta.  Di tempat ini mereka membangun Tugu.

Mereka memperoleh posisi sebagai borjuis kecil di Batavia yang menempati jabatan rendah di aparat pemeirntahan.  Sekalipun pihak Belanda memaksakan agama baru pada mereka, tetapi musik Portugis dan kesadaran akan darah Portugis tetap hidup dalam diri mereka.

Selama abad ke 18 dan ke 19 orang-orang Tugu membeirkan konstribusi budaya yang relatif kuat di Jakarta. Lagu "Nina Bobo"  itu berasal dari kata "Nina" atau Menina yang dalam bahasa Portugis berarti anak kecil.

Lainnya saya tulisan di coretan, yaitu M Nuswiryan dalam tulisannya bertajuk "Pesta Panen Masyarakat Keturunan Portugis di Tugu" dalam buku Gita Jaya, terbutan 1982 mengungkapkan bahwa ketika masih banyak sawah di Batavia hingga Jakarta hingga 1970-an, masyarakat Tugu menggelar pesta panen sesudah Juli, Agustus atau September.

Setelah mereka selesai melakukan penuain (pemotongan) padi di swah, mereka mengadakan pesta gembira ria yang diprakasai Majelis Gereja. Para anggota jemaat memberikan sebagian hasil sawah, kebun atau ternak kepada gereja.

Oleh panitya sebagian dari hasil sawah, kebun dan ternak itu dilelang atau dijual kepada masyarakat ramai, biasanya dengan mengadakan semacam bazaar atau pasar amal.  Dalam pesta itu diadakan lomba menembak. Tetapi lomba itu kemudian tidak diadakan lagi. 

Bagi saya  catatan ini salah satu dokumentasi terkait sejarah Jakarta, terutama mengungkapkan sejarah kampung demi kampung saya tulis satu demi satu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun