Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ada Apa dan Mengapa dengan Mudik?

4 April 2020   21:38 Diperbarui: 4 April 2020   21:38 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi-Foto: Intisari Online.

Gemas memang mendengar para perantau ingin tetap  mudik sekalipun dalam pandemi Covid-19 atau Corona.  Para perantau dari daerah yang ada di Jakarta bahkan sudah mendahului pulang mudik, sebelum imbauan untuk tidak mudik gencar. Pertanyaan pertama, mengapa mereka ngotot untuk mudik walau pun ada risiko penyebaran Corona di Kampung Halaman? Ada Apa dengan Mudik?

"Kalau bisa Aku ingin pulang!" ucap Parino, ketika karyawan sebuah warung kaki lima Bakmi Bangka depan kompleks perumahaan saya. Pria yang karib dipanggil Rino ini gelisah karena tidak bisa mudik ke kampungnya di Cilacap akibat adanya pandemi corona.  Dia hanya sendirian di Depok, sementara istri, anak, orangtuanya ada di kampung. 

Video call tidak bisa menggantikan silaturahmi langsung. Sekalipun nanti libur lebaran diganti sekalipun belum tentu semua keluarga di perantauan bisa kumpul setahun sekali. "Kerjaannya kan beda-beda, tempatnya juga beda-beda," imbuh dia.

Sementara seorang tukang sayur langganan saya memutuskan untuk tidak mudikm karena sadar bahwa bakal membawa potensi bahaya kepada keluarganya di kampung.  Pasalnya di rumahnya banyak anak-anak dan orang usia tua. "Kasihan kalau mereka tertular!" katanya.

Di sekitar kompleks saya, tukang tahu Sumedang sudah kabur ke kampungnya. Sekalipun sebetulnya dagangannya tidak sepi juga. Masih banyak yang beli bahkan tukang ojek daring juga masih ada.  Tukang cukur dari Garut juga tutup gerainya.

Sejumlah pedagang kaki lima juga kabur, tetapi karena sepi. Sekalipun masih ada pembeli dari warga, tetapi dengan ditutupnya kantoran maka pemasukan mereka juga berkurang. Memang ada warung kaki lima yang bisa bertahan karena langganan melalui ojek daringnya sudah banyak.  Seperti warung ayam bakar pupuy. Hanya saja para pegawainya juga cemas tidak bisa pulang. 

Pemerintah seperti yang dikatakan Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto meminta masyarakat tak mudik jelang Ramadan (masih bersifat imbauan). Yuri menyatakan pandemi virus corona dibawa oleh manusia.

"Oleh karena itu pergerakan manusia dalam jumlah besar seperti mudik berpotensi menambah penyebaran virus ini," ujar Yuri seperti dikutip Cnnindonesia.

Namun sebetulnya masalah ini nggak perlu terjadi kalau saja sentra pembangunan tidak terlalu terpusat di Jakarta.  Sekalipun tradisi pulang kampung mempunyai akar sejarah dan budaya, tetapi bukanlah dalam pengertian mudik seperti sekarang ini. 

Orang Minang seperti dalam dongeng Malin Kundang punya tradisi merantau untuk mencari penghidupan lebih baik dan baru pulang karena sukses, tetapi tidak terkait dengan Hari Raya.  

Orang Minang  (mungkin juga suku lain seperi Bugis, Makassar) dalam sejarah  merantau lebih mirip dengan orang Tionghoa ketika merantau sampai ke negeri orang. Bahkan hingga sekarang, banyak dari mereka sudah jadi bagian di tanah rantaunya dari pada terikat dengan kampung halamannya. Tentunya juga orang Jawa Deli yang sudah jadi bagian masyarakat  Sumatera Timur, karena terkait Kololianisme dulu.

Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Silverio Raden Lilik Aji Sampurno mengungkapkan, meskipun mudik sudah ada sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam, tetapi istilah mudik sendiri baru tren pada tahun 1970-an.

Mudik merupakan sebuah tradisi yang dilakukan oleh perantau di berbagai daerah untuk kembali ke kampung halamannya. Mereka kembali ke kampung halamannya untuk berkumpul bersama dengan keluarga.

"Mudik menurut orang Jawa itu kan dari kata "Mulih Disik" yang bisa diartikan pulang dulu. Hanya sebentar untuk melihat keluarga setelah mereka menggelandang (merantau)," ujar Silverio seperti dikutip dari Kompas.com.

Sejak Gubernur Ali Sadikin membenahi Jakarta dari Big Village hingga menjadi Kota Metropolitan, maka Jakarta menjadi tempat banyak uang beredar, industri, pusat bisnis dan perdagangan, hingga hiburan banyak terdapat di sini. 

Sekalipun sudah banyak cerita yang menyebutkan sekejam-kejamnya Ibu Tiri, lebih kejam Ibu Kota, tetap saja para perantau berdatangan ke Jakarta, karena kesempatan kerja tetap lebih banyak, termasuk sektor informal sekalipun. Kalau di desa?, tanah pertanian saja makin berkurang.

Pertanyannya kedua, mengapa dulu Pemerintah Indonesia dulu tidak membuat berbagai sentra seperti Jakarta  di banyak daerah, sehingga kalau mudik pun tidak serepot sekarang dengan mobilitas sosial besar-besaran dengan infrastruktur yang terus menerus dibangun. 

Sekalipun pembangunan terpusat di Jawa  karena populasinya terbesar di pulau ini bisa dimengerti. Tetapi pertanyaannya, mengapa Surabaya tidak bisa dibuat seperi Jakarta? Mengapa Malang tidak dibuat punya spesialisasi industri atau komoditas ekonomi tertentu atau mengembangkan agrobisnis yang hasilnya dinikmati langsung tanpa izin-izin dari Jakarta?  

Mengapa Semarang atau Solo dibuat juga perputaran uangnya besar, hingga tidak perlu banyak orang dari Provinsi DIY dan Jateng yang kerja di Jakarta?  Sehingga jarak mudik tidak terlalu jauh?  

Untuk Jawa Barat Mengapa Bandung , Pangandaran, Cirebon, Serang, Lebak tidak dibuat industri atau sentra ekonomi yang menyediakan lapangan sebesar Jakarta?  

Lebih jauh lagi, mengapa tidak bisa tercipta kota seperti Jakarta di Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan, Sulawesi? 

Kesadaran itu baru muncul pada era Joko Widodo (sebetulnya Susilo Bambang Yudhoyono sudah menjalankannya) seperti pembangunan infrastruktur?  Kalau menyangkut perizinan hingga harus berkantor di Jakarta, bukankah sejumlah Departemen dan lembaga pemerintah juga bisa disebar di daerah?

Saya tidak paham soal pembangunan ekonomi atau ekonomi politik dan ada apa di balik kebijakan itu.  Memang ini mungkin salah satu kesalahan strategi pembangunan masa Orde Baru, yang gagal menumbuhkan sebaran-sebaran itu.  Kalau pun ada orang daerah tempat industri itu dalam berapa kasus tidak menikmatinya.

Misalnya  mengapa industri di Lhok Seumawe gagal mengangkat kesejaterahaan warga sekitarnya? Mengapa orang daerah sebelum dilakukan industri dibangun tidak dipersiapkan untuk itu?  Hingga harus pendatang yang mendominasi dan ketika musim mudik pulang cukup jauh?

Kalau saja sebaran itu merata mudik pun tidak akan serumit seperti sekarang dan kalau ada masalah wabah seperti saat ini, tentunya penanganannya bisa lebih mudah.

Mohon jawab pihak yang terkait memberi tanggapan kalau saya salah asumsi. Ini pandangan saya, anggap saja awam.

Irvan Sjafari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun