Sebetulnya saya mulai malas untuk menonton film horor Indonesia yang mulai jalan ditempat. Ketika Djoko Anwar sukses dengan "Pengabdi Setan" dan "Suzanna: Bernafas dalam Kubur", maka sejumlah sineas Indonesia  juga membuat film neo klasik, sama persis ketika film horor luar booming seperti "Conjuring" dan "Insidious" atau era sebelumnya seperti Ringu (The Ring) dengan hantu perempuan berambut panjang maka sineas juga mengekor, tidak sama persis, tetapi sebangun.
Hanya beberapa di antara sineas menciptakan dunia horornya sendiri,  di antaranya Danur Universe, karena diangkat dari novel karya Risa Saraswati, tentunya juga Djoko Anwar.  Sebetulnya juga Mo Brothers  lewat "Rumah Dara", sudah mampu menciptakan dunianya sendiri, yang berpotensi untuk dibuat sekuel dan spin off-nya. Kemudian Kimo Stamboel dan Timo Tjahjanto, mengambil jalannya sendiri-sendiri.
Kimo Stamboel merintis jagat dongengnya lewat "DreadOut", yang belum diketahui dilanjutkan atau tidak. Namun memang potensial untuk dilanjutkan, benang merah dan karakter ceritanya sudah terbangun, paling tidak pondasinya.
Sementara Timo Tjahjanto juga membangun dunianya lewat "Sebelum Iblis Menjemput"(SIM), yang kini sekuelnya "Sebelum Iblis Menjemput Ayat 2"(SIM ayat 2) tayang di layar lebar. Â Dalam sebuah wawancaranya dengan media, Timo mengaku ingin membuat film di dunia yang keras.Â
Kalau yang saya tangkap pun horor, maka unsur kekerasan dan slasher-nya  kental. Hal hasil adegan brutal dengan darah yang bertebaran begitu menonjol baik SIM dan SIM ayat 2.  Kalau dalam film laganya "The Night Come for Us", Timo seperti tak memberi napas penonton dengan menyajikan banyak kekerasan. Dari awal sampai akhir, film ini menyajikan  adegan baku-hantam jarak dekat, baik dengan tangan kosong maupun dengan senjata.
Nah, dalam "SIM" dan "SIM ayat 2", penonton disuguhi adegan teror dari iblis yang tidak pernah berhenti menyatroni dan menyerang para karakternya, benar-benar tidak ada kata damai. Iblisya begitu gigih mengejar buruannya, merasuki tubuh manusia menjadi inangnya, mengubahnya menjadi setan. Â Dalam sekuel kedua ini, kepala terbelah, mulut yang disobek, tubuh yang disayat, hingga yang terbakar kerap berseliweran. Tentunya juga berisiknya, teriakan para karakternya.
Secara sinematografi, Timo berhasil meyakinkan saya bahwa ia konsisten dengan visinya, yang sebetulnya juga berakar dari film yang dibuatnya bersama Kimo Stamboel. Â Dia kreatif dalam hal ini. Itu point utama saya dan catatan pertama saya.
Catatan kedua, dari membangun dunia manusia dan iblisnya, dengan benang merahnya dari SIM1 dan SIM 2 dengan baik. Kalau dalam "Sebelum Iblis Menjemput" pertama, Lesmana adalah seorang ayah yang penjadi pengikut iblis, yang memberi petaka pada keluarganya, maka pada sekuel kedua pemuja bernama Ayub, Â pemilik panti asuhan yang melakukan "abuse" terhadap anak asuhnya dan sekaligus meninggal petaka.
Ceritanya tentang Alfie (Chelsea Islan) dan adiknya Nara ((Hadijah Shahab) lepas dari teror iblis. Saat ini mereka mencoba melanjutkan kehidupan mereka secara normal. Namun karena sejumlah mantan anak panti asuhan Bahtera, masing-masing Budi (Baskara Mahendra), Gadis (Widika Sidrome), Jenar (Shareefa Daanish), Martha (Karina Salim), Leo (Arya Vasco), dan Kristi (Lutusha) menculik keduanya, untuk dimintai tolong mengusir iblis yang menteror mereka, maka Alfie dan Nara pun kembali reuni dengan iblis yang dulu menterornya.Â
Dari segi horor, tidak ada hal yang baru sebetulnya, hantu yang merangkak dengan kepala terbalik, orang yang menempel di langit-langit, Â korban yang ditarik kakinya, bisa ditemui dalam berbagai film horor umumnya. Hanya mengagetkan, tidak membuat hal menakutkan bagi saya. Bahkan ada tanda tanya, mengapa ada tokoh yang dirasuki tidak mati-mati karena dipukul, bahkan digergaji, tetapi tertabrak mobil mati?
Untung ada adegan favorit saya, ketika sosok Lesmana (Ray Sahetaphy) dan ibunya Alfie (Karina Suwandi) jadi sosok seperti anequin duduk di sofa menonton televisi hitam putih dan ada Nara di layarnya, Alfie jadi begitu ketakutan.
Selain itu saya agak sebal, mengapa sih kebanyakan film horor, settingnya harus di rumah besar tua, kusam, kumuh dan terbengkalai untuk jadi arena pertarungan iblis melawan manusia? Kalau pun di rumah besar yang rapi dan mewah, seperti Danur tidak ada penjaganya? Â Mengapa nggak di hotel berbintang yang ada satpamnya misalnya? Â
Lalu para tokohnya seperti Alfie dan Nara ini nggak ada saudara lainnya, bahkan sahabatnya? Seindividualisnya, Â masyarakat Indonesia masih kentak guyub ini dan kerap "kepo" terhadap urusan orang lain. Â Seolah-olah dongeng yang dibangun Timo ini bukan berada di Indonesia, tetapi di Barat. Â Dalang iblisnya bernama Molok (moloch?) Â ini juga berakar dari mitologi semit, ibrani, mesopotamia, funisia. Â Mungkin Timo ingin membumikan ke Indonesia.
Untungnya seperti yang saya tulis di atas plot yang dibangun Timo ini ciamik dan konsisten. Baiklah ini hanya film. Â
Shareefa Daanish
Alasan utama saya menonton film ini juga kehadiran Shareefa Daanish, salah seorang aktris favorit saya. Aktingnya memerankan karakter Dara dalam "Rumah Dara" dan Asih dalam "Danur: I Can See The Ghost" dan "Asih", menjadi ikon yang unik  dan juga sebetulnya jadi dalang horor dalam "Ular Tangga",  memberikan kesan pas untuk jadi tokoh antagonis, terutama hantu. Padahal aslinya dia adalah penakut.
Dalam film ini dia justru menjadi orang yang begitu ketakutan, ketika Alfie membacakan mantera, dan sosok iblis itu berwujud Ayub itu keluar dan ekspresi mimiknya sama meyakinkannya, ketika dia justru melakukan teror. Â Saya menduga karena sudah lama bekerja sama dengan Timo, maka lancar.
Dalam sebuah adegan, ketika Jenar dicekik dan digantung cukup mencekam, juga suaranya tak kalah berisiknya ketika berteriak bersama tokoh lainnya. Sayang, karakter yang diperankannya menjadi korban pertama teror iblis. Â Namun cukup lah sebagai obat kerinduan.
Selain itu Daanish bisa membuktikan dia bisa menjadi karakter apa pun dan di berapa film dia juga main di film drama dan komedi, serta sinetron di televisi yang kocak.
Tinggal ditunggu, ucapan Daanish menanti filmnya sebagai ibu rumah tangga, seperti peran dia di dunia nyata saat ini, ibu satu anak.
Untuk Kompasianer 7,5/10
Irvan Sjafari
Foto: IMDB dan Analisadaily
Sumber pendukung:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H