Seharusnya yang menjadi pembina lapangan organisasi ekstrakurikuler seperti Pramuka, PMR apalagi Pencinta Alam bukan dari guru sekolah, tetapi profesional, yang bisa direkrut dari alumni yang mendalami bidang tersebut atau dari Kwarcab, Kwarda, atau kalau ikut PMR dari PMI, hingga organisasi pencinta alam seperti Wanadri atau Mapala atau sejenisnya.
Pembina Pramuka/PMR/Pencinta Alam dari guru hanya statusnya pembina administratif yang mengontrol agar kegiatan sesuai trek edukasi, tidak ada kegiatan membully, tidak melakukan kekerasan yang tidak pas, hingga koordinasi dengan sekolah.
Pembina dari guru mendampingi pembina profesional dalam kegiatan di sekolah untuk teori dan di lapangan juga harus ikut, tetapi pembina profesional wajib ikut sebagai tanggungjawab.
Kasus musibah susur sungai yang menimpa anak-anak Pramuka SMPN 1 Turi Sleman, Yogyakarta, memberi kesan, pembinanya bukan orang lapangan, yang tidak menyadari bahwa di musim hujan tidak baik untuk melakukan kegiatan tersebut. Apalagi siswa yang ikut masih di bawah umur, mentalnya tidak kuat dan tidak dibekali peralatan yang memadai.
Pembina profesional yang akan memberi pertimbangan apakah suatu kegiatan berbahaya atau tidak bagi anak didik yang sesuai usianya.
Tentunya ada sekolah yang kegiatan ekstra kurikulernya ditangani pembina yang memiliki kompetensi di bidangnya. Kalau perlu pembina profesional mendapatkan honorarium, karena kegiatan Pramuka sudah diwajibkan.
Organisasi ekstra kurikuler seperti Pramuka memang pas untuk menanamkan nasionalisme. Dalam sejarahnya kepanduan punya peranan besar sejak masa pergerakan hingga menjadi Pramuka pada 1961.
Sebetulnya ekskul seperti PMR dan Pencinta Alam juga punya visi demikian. Sekalipun saya meragukan anak-anak milenial sebetulnya masuk kegiatan visioner tersebut dari hati atau tidak? Jangan-jangan karena terpaksa?
Anak-anak milenial sejak dua dekade lalu-belum ada penelitian pasti-tetapi terbukti sejumlah organisasi Pramuka dan PMR di sekolah-sekolah Jakarta bubar sepanjang pengamatan saya pada 1990-an, lebih suka kegiatan seperti band, cheerleader, pop art, hingga olahraga basket, bela diri, kalau perlu seperti capoeira yang baru.
Konstruksi yang ada dalam benak bahwa Pramuka tidak fun, tidak bebas merdeka, intervensi guru sekolah yang akhirnya sama saja dengan pelajaran sekolah menjadi faktornya. Sekarang ada karena "kewajiban".
Kegiatan Pramuka yang dalam benak anak-anak cenderung seragam, baris-berbaris, semarphore dan sebagainya. Apakah karena sekolah dipaksakan Pramuka jadi ekskul wajib sementara sekolah tidak siap?