Memasuki April 1965, semangat dwikora menentang apa yang disebut Sukano sebagai neo kolonialisme Malaysia terus meningkat.  Semangat mengganyang hal-hal berbau Barat  dalam kebudayaan (seperti Amerika Serikat, Inggris) semakin meningkat.  Film-film yang tayang di bioskop Bandung tidak lagi dari Amerika Serikat tetapi banyak dari negara new emerging forces (nefos).
Umumnya yang dituding yang mengikuti arus budaya Barat itu adalah kaum muda. Koes Bersaudara beberapa kali disorot masih membawa musik gaya Beatles-nya, begitu remaja putri dengan rambut sasak. Â
Crossboy yang sempat bisa ditangkal dengan keras oleh aparat keamanan di Bandung dan Jakarta paruh kedua 1950-an, tiba-tiba muncul lagi di Kota Medan. Â Crossboy itu dilaporkan melakukan perkosaan terhadap seorang remaja putri dan berani mengeroyok aparat keamanan.
Namun yang terjadi di Bandung lebih mengkhawatirkan lagi. Selain masih adanya crossboy, muncul cross yang berbeda. Â Pada 7 April 1965 Â Komandan Penerangan Angkatan Kepolisian Kota Bandung Kompol I EG Lumy menggelar konferensi pers bahwa remaja putri berada dalam bahaya menjadi pemuas nafsu seksual.Â
Pelakunya adalah orang-orang dewasa, bahkan berusia sebaya ayah para remaja putri itu. Mereka dari kalangan jutawan dan menggunakan mobil. Media menyebutnya sebagai "Crosspapa". Â Yang diincar adalah remaja yang duduk di bangku sekolah menengah, yang dianggapnya menarik, cantik, sesuai hasrat seksualnya.
Kalau ingin mendapatkan gadis pelajar yang disukainya, mereka memarkir mobilnya dekat sekolahnya.  Jika ada gadis yang berjalan kaki  atau sedang menunggu jemputan, maka mereka menawarkan jasanya.  Para gadis itu kurang menyadari bahkan tidak menduga sama sekali masuk dalam perangkap.  Pikiran Rakjat 11 April 1965 kemudian mengungkapkan:
"Orang-orang terkutuk itu membawanya seperti menuju rumah sang gadis. Â Tapi di tengah jalan biasa ditawarkan jasa baik mengajak minum atau makan di restoran atau di tempat lain. Â Dalam keadaan lengah maka dimasukan obat perangsang ke dalam minuman dan makanan yang akan dimakan wanita tersebut. Â Dalam berapa saat saja gadis itu akan kurang sadar. Cepat-cepat mangsanya dimasukan ke dalam mobil untuk dibawa ke tempat tertentu.Â
Memang obat itu sangat aneh reaksinya. Apabila orang makannya tiga tetes saja, maka kana menimbulkan hasrat yang kuat sekali. Makanya para gadis atau wanita yang dijebaknya tidak ada atau tidak pernah mengadakan reaksi apa-apa terhadap orang-orang terkutuk itu. Â Para korban menyerah tanpa syarat. Baru, apabila telah terjadi baru korban akan menginsyafinya akan jebakan itu."
Kepolisian Jawa Barat mengungkapkan obat-obat itu berasal dari luar negeri, dimasukan ke wilayah Indonesia lewat penyelundupan atau orang-orang yang sengaja masuk ke Indonesia selaku wisatawan.Â
Obat-obatan itu dijual di pasar gelap dan pembelinya  golongan jutawan yang menghamburkan uangnya untuk melampiaskan nafsu seksualnya.
Modus operandi lainnya para pemburu remaja putri menggunakan umpan pemuda ganteng, yang dibayar untuk menjebak remaja putri. Lokasi perburuan juga bisa dilakukan di bioskop dan tempat-tempat ramai. Bisa dihitung berapa biaya yang harus dikeluarkan para jutawan ini untuk melepas nafsu kebinatangannya.
Sayangnya informasi dari kepolisian tidak mengungkapkan seberapa banyak korbannya. Namun fenomena ini baru pertama kali terjadi di Bandung.  Kemungkinan aparat hukum pada waktu  belum berpengalaman menghadapi kasus seperti ini, akibat perubahan sosial. Â
Apakah pelaku bisa disebut melakukan perkosaan atau tidak? Tentu akan sulit membuktikannya. Â Akibatnya Lumy hanya bisa mengimbau agar para orangtua menjaga anak gadisnya.Â
"Aksi kriminal" para jutawan ini kontradiksi dengan keadaan ekonomi kebanyakan warga kota yang sulit dengan tingginya harga beras, kelangkaan minyak tanah, pakaian dan kebutuhan lainnya. Sementara pemerintah pusat masih fokus pada politik luar negeri.
Sementara kehidupan perempuan kalangan atas juga mengalami perubahan. Kolomnis Tresna Juwana dalam tulisannya "Make Up" dalam Pikiran Rakjat 27 Maret 1965, menggambarkan para ibu-ibu kalangan atas menggunakan bedak, lipstik, kuteks, wewangian seperti Hazeline Snow (masa itu sudah ada) hingga ke salon untuk membuat hidungnya mancung.
Melalui tokoh-tokoh Ipin, Itjih, Mang Brata dalam dialog bersahutan menyebut fenomena "make up" sebagai kemunduran emansipasi., pemalsuan karena perempuan bisa mengembangkan kecantikannya tanpa make up dan sebetulnya agar digairahi laki-laki.
Peneliti Amerika Ann Kodas dalam bukunya Female Adolescent Sexuality in The United States 1850-1965 menjadi referensi bahwa ancaman bagi para gadis juga terjadi di Amerika. Â
Ann antara lain mengutip peringatan  penulis  Evelyn Mills Duvall dalam bukunya Why Wait Till Married, 1865  menyebut para gadis-gadis Amerika untuk tidak menerima tumpangan dari laki-laki dewasa maupun pemuda.
Mereka  tidak menduga bahwa mereka bisa menjadi sasaran perkosaan dalam perjalanan dari sekolah ke rumah mereka. Duvall mengutuk budaya pemuda modern secara umum sebagai undangan untuk memperkosa. Dalam budaya yang permisif seperti ini, seorang gadis mudah dimangsa pria yang kuat.
Menurut Ann Kordas potensi para gadis jadi mangsa predator seksual sudah populer di era Perang Dunia ke II dan era sesudah itu. Pada 1950-an dan 1960-an, gadis secara luas digambarkan dalam budaya populer negeri Akang Sam itu sebagai agresif secara seksual, mungkin sampai membahayakan stabilitas tatanan sosial dan kontrol pria dewasa.
 Konstruksi ini ditanamkan dalam novel detektif dan spionase hingga acara televisi. Ann menyorot penulis Amerika seperti Clifford Adams  dalam tulisannya "Can You Control Your Daughter?" dalam Ladies's Home Journal, yang  meminta  orangtua diminta untuk mengontrol anak gadisnya  agar tidak menjadi liar  (Kordas, 2019, halaman 280-282).
Menyimak buku ini tampaknya sudah sejak puluhan tahun perempuan selalu disalahkan menjadi obyek seksual, bahkan di negara yang tingkat pendidikannya lebih tinggi dibanding negara habis merdeka.
Ruang Ekspresi Perempuan Makin Lebar
Pertanyaan mengapa terjadi di Bandung? Kontradiksi dengan booming sekolah dan perguruan tinggi di kota ini memberikan kesempatan para perempuan mengenyam pendidikan. Â
Puluhan salon kecantikan hingga pertokoan untuk hangout tak jauh dari sekolah dan kampus menjadikan semacam cluster anak muda kecil  Bandung Utara.  Pusat hiburan dan wisata kota  ada di situ, pusat komersial ada di situ, tetapi juga pusat pendidikan.
Ruang berekspresi perempuan juga terbuka. Sabtu pagi 19 Maret 1965 warga Bandung tercengang melihat aksi mahasiswi ITB yang tergabung dalam Resimen Mahasiswa memperagakan kemampuannya menghadapi huru-hara, tidak kalah dengan prianya. Â
Yang paling mencolok pada paruh pertama 1965 ialah pertunjukan di Sporthall (Saparua) pada 27 dan Gedung Dwiwarna pada 28 Maret 1965. Â Di antara muncul adalah artis luar negeri dari Jepang yang jadi idola masa itu Janie Aida.
Selain itu tampil penyanyi dalam negeri Lilis Suryani, Lisda Johan, Ernie Johan, Janti bersaudara, hingga band baru yang semua personel perempuan dari Surabaya bernama Dara Puspita.Â
Pada pertunjukan lain  di Gelora 25 dan 26 April Lilis Surjani jadir kembali bersama Henny Purwonegoro. Hampir semuanya penyanyi perempuan berusia belasan tahun hingga 20 tahunan.
Apa yang digambarkan Ann Kodras tentang perempuan menjadi sensual di mata laki-laki dalam budaya populer, tampaknya mulai merambah di perkotaan Indonesia, dalam pengamatan saya Bandung, Jakarta dan Surabaya. Â Itu baru permulaan.
Irvan Sjafari
Sumber:
Pikiran Rakjat, 23 Maret 1965, 8 April 1965, 11 April 1965
Kordas, Ann Female Adolescent Sexuality in The United States 1850-1965, Maryland, 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H