Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bandung 1965, Predator Seks "Crosspapa"

11 Januari 2020   21:32 Diperbarui: 12 Januari 2020   07:07 1939
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sayangnya informasi dari kepolisian tidak mengungkapkan seberapa banyak korbannya. Namun fenomena ini baru pertama kali terjadi di Bandung.  Kemungkinan aparat hukum pada waktu  belum berpengalaman menghadapi kasus seperti ini, akibat perubahan sosial.  

Apakah pelaku bisa disebut melakukan perkosaan atau tidak? Tentu akan sulit membuktikannya.  Akibatnya Lumy hanya bisa mengimbau agar para orangtua menjaga anak gadisnya. 

"Aksi kriminal" para jutawan ini kontradiksi dengan keadaan ekonomi kebanyakan warga kota yang sulit dengan tingginya harga beras, kelangkaan minyak tanah, pakaian dan kebutuhan lainnya. Sementara pemerintah pusat masih fokus pada politik luar negeri.

Sementara kehidupan perempuan kalangan atas juga mengalami perubahan. Kolomnis Tresna Juwana dalam tulisannya "Make Up" dalam Pikiran Rakjat 27 Maret 1965, menggambarkan para ibu-ibu kalangan atas menggunakan bedak, lipstik, kuteks, wewangian seperti Hazeline Snow (masa itu sudah ada) hingga ke salon untuk membuat hidungnya mancung.

Melalui tokoh-tokoh Ipin, Itjih, Mang Brata dalam dialog bersahutan menyebut fenomena "make up" sebagai kemunduran emansipasi., pemalsuan karena perempuan bisa mengembangkan kecantikannya tanpa make up dan sebetulnya agar digairahi laki-laki.

Peneliti Amerika Ann Kodas dalam bukunya Female Adolescent Sexuality in The United States 1850-1965 menjadi referensi bahwa ancaman bagi para gadis juga terjadi di Amerika.  

Ann antara lain mengutip peringatan  penulis  Evelyn Mills Duvall dalam bukunya Why Wait Till Married, 1865   menyebut para gadis-gadis Amerika untuk tidak menerima tumpangan dari laki-laki dewasa maupun pemuda.

Mereka   tidak menduga bahwa mereka bisa menjadi sasaran perkosaan dalam perjalanan dari sekolah ke rumah mereka. Duvall mengutuk budaya pemuda modern secara umum sebagai undangan untuk memperkosa. Dalam budaya yang permisif seperti ini, seorang gadis mudah dimangsa pria yang kuat.

Menurut Ann Kordas potensi para gadis jadi mangsa predator seksual sudah populer di era Perang Dunia ke II dan era sesudah itu. Pada 1950-an dan 1960-an, gadis secara luas digambarkan dalam budaya populer negeri Akang Sam itu sebagai agresif secara seksual, mungkin sampai membahayakan stabilitas tatanan sosial dan kontrol pria dewasa.

 Konstruksi ini ditanamkan dalam novel detektif dan spionase hingga acara televisi. Ann menyorot penulis Amerika seperti Clifford Adams  dalam tulisannya "Can You Control Your Daughter?" dalam Ladies's Home Journal, yang  meminta  orangtua diminta untuk mengontrol anak gadisnya  agar tidak menjadi liar  (Kordas, 2019, halaman 280-282).

Menyimak buku ini tampaknya sudah sejak puluhan tahun perempuan selalu disalahkan menjadi obyek seksual, bahkan di negara yang tingkat pendidikannya lebih tinggi dibanding negara habis merdeka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun