Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"Habibie & Ainun 3", Kisah Romantis Ainun Muda

19 Desember 2019   20:55 Diperbarui: 25 Desember 2019   02:29 4631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jeffry Nichols dan Maudy Ayunda dalam Habibie & Ainun 3-Foto: Berita Agar

"Berada dalam frekuensi yang sama", merupakan kalimat kunci yang kerap diucapkan Habibie dalam film "Habibie & Ainun 3". Film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo ini menjadi penutup manis trilogi kisah pasangan Mantan Presiden RI BJ Habibie dan Hasri Ainun Besari. 

Sekuel pertama berkisah tentang perjalanan hidup BJ Habibie dan Ainun mengarungi bahtera rumah tangga sejak pertemuan pertama hingga meninggalnya Ainun, dengan setting waktu 1960-an hingga  2000-an.  

Sekuel kedua Rudy Habibie bercerita soal kisah teknokrat semasa kuliah di Jerman lengkap dengan kisah cintanya dengan Ilona, seorang perempuan Polandia.

Nah, pada trilogi ketiga ini fokus pada Ainun sejak masa kecil hingga kuliah di Fakultas Kedokteran UI, lengkap dengan kisah cintanya sendiri dengan seorang mahasiswa Fakultas Hukum UI bernama Ahmad.

"Eyang Putri juga pernah punya pacar lain?" usik seorang cucu Habibie. Habibie pun menjawab dengan santai hal itu sebagai hal yang biasa saja dan manusiawi.

Film ini dibuka di rumah BJ Habibie (diperankan BJ Habibie asli ketika masih hidup), ketika keluarga besar sedang berkumpul.  Dari meja makan hingga ruang keluarga, kisah kehidupan Ainun muda (Maudy Ayunda) diungkapkan melalui kilas balik.

Dari segi sejarah, setting yang dimulai dari era 1955 di Kota Bandung, ditandai dengan gegap gempita Pemilu Pertama, pamflet Partai Masyumi, PNI, PSII di tembok gang, serta baliho Konferensi Asia Afrika. Tentunya juga Sekolah Menengah Atas Kristen (SMAK) Dago tempat Habibie dan Ainun pernah belajar.

Begitu juga suasana kota Bandung yang masih banyak orang Belandanya (mereka baru meninggalkan Indonesia setelah persoalan Irian Barat menjadi isu nasionalisasi). Adegan Habibie nyaris ditabrak mobil sedan yang dikendarai orang Belanda mewakili hal itu.

Sayang, sekolah ini harus berakhir karena tegerus sengketa internal, padahal termasuk mempunyai sejarah bukan karena terkait dengan Habibie dan Ainun, tetapi SMAK ini memberikan kontribusi bagi perkembangan seni dan budaya dan juga pendidikan warga Bandung. Pertunjukan musik klasik, musik modern, hingga balet kerap dipertunjukan lyceum, nama aula SMAK ini.

Seandainya saja gedung Lyceum tidak dibongkar, maka syuting film ini seharusnya dilangsungkan di tempat aslinya. Dalam film ini pesta perpisahan SMAK Dago dilangsungkan di aula.

Habibie dalam dialognya dengan Ainun dalam pesta itu menjadikannya perumpamaan: "Jangan meremehkan hal yang kecil, gedung aula ini dibangun dari sebutir pasir".

Pesta perpisahan dengan dansa menjadi tren kehidupan anak muda kalangan terpelajar, mulai siswa SMA hingga mahasiswa dengan iringan musik bernuansa rock n roll. Saya benar dibawa ke masa itu lengkap dengan kostumnya.

Cerita tentang anak SMA masa itu semakin lengkap dengan adegan pertandingan kasti, di mana Ainun menjadi penyelamat timnya. Pada masa itu pertandingan olahraga memakai rok adalah hal yang biasa dan kasti adalah olahraga populer masa itu.

Ibu saya pernah sekolah di SMP Santa Ursula dan SAA Bandung membenarkan hal itu. Sebagai catatan orang berada masa itu lebih suka anaknay di sekolah swasta (Katolik/Kristen) karena masa itu sekolah negeri kualitasnya belum baik.

Tentu saja ada adegan Habibie (Reza Rahadian yang disulap dengan teknik CGI menjadi muda) menyebut Ainun sebagai gula Jawa, hitam dan jelek. Absurdnya, dia terpukau oleh permainan kasti Ainun.

Akhirnya pada pesta perpisahan, Habibie membuat pesawat terbang kertas dan melayangkannya hingga menyentuh Ainun. Gambaran cita-citanya. Manis.

Cerita bergulir mereka berpisah. Habibie kuliah di Jerman dan Ainun meneruskan sekolah di FKUI. Di bangku kuliah, Ainun mempunyai teman Arlis (Aghniny Haque) yang dalam kisah nyata adalah dr Arlis Sularto Reksoprodjo, spesialis penyakit dalam, Sularto (Kevin Ardilova). Mereka mengalami perploncoan seperti lazimnya mahasiswa masa itu.

Ada adegan yang menarik, ketika seorang mahasiswa senior menyuruh Sularto untuk keluar dari bangkunya karena dia ingin duduk di tempat itu. Ainun melawannya dengan duduk di lantai melawan tindakan sewenang-wenang itu, diikuti oleh kawan-kawannya tingkat satu.

Akhirnya dua mahasiswa senior itu malah diusir oleh dosennya orang Belanda dan terungkap mereka tidak naik naik tingkat. Waktu itu belum menggunakan sistem SKS, sekali gagal di sebuah mata kuliah harus mengulang keseluruhan alias tidak naik tingkat.

Ainun kemudian berkenalan dengan Ahmad (Jeffery Nichol) setelah menjalani uji tarung dengan Sularto yang ahli judo. Ahmad diceritakan jago jijutsu. Catatan kedua olahraga bela diri ini paling populer masa itu. Iklan di Pikiran Rakjat terbit 1950-an ada yang mengiklankan kursus Jijtsu.   

Selanjutnya kisah Ainun dan Ahmad sebangun Rudy Habibie dengan Ilona menjadi salah satu inti cerita ini. Bedanya liku-liku mahasiswa kedokteran, yang staf pengajarnya luar biasa killer-nya. Begitu juga dengan banyak staf pengajar orang Belanda juga jadi berita di Pikiran Rakjat pada 1950-an juga pengembalian dosen asing itu (agar Indonesia mandiri, nasionalisme dan sebagainya)

Yang menarik bagi saya ialah Hanung detail menggambarkan masa itu (karena kerap membuat film sejarah), film populer "Tiga Dara", komedi putar dalam pasar malam (Gambir?), Ainun naik trem (informasi sejarah trem melewati Salemba-Jatinegara hingga tembus harmoni), jip wilis peninggalan Perang Dunia ke II yang dikendarai oleh Ahmad ketika kencan dengan Ainun seperti membawa saya ke era 1950-an. 

Saya mencatat "Habibie & Ainun 3" dapat menggambarkan suasana kampus 1950-an, ketika orang Indonesia semakin banyak mendapatkan akses pendidikan tinggi dan bukan hanya kaum priyayi atau menak.

Saya menduga sikap senioritas yang digambarkan dalam berapa adegan ialah sikap anak priyayi yang gelisah bahwa mereka sudah tersaingi oleh kalangan orang biasa.

Dari kalangan orang biasa ini ada yang mendapatkan beasiswa ke luar negeri seperti sudah digambarkan dalam film "Rudy Habibie".  Pelan-pelan "neo priyayi" atau "neo menak" generasi baru akan muncul dan membawa perubahan pada era berikutnya. Jangan lupa era itu adalah Buku, Pesta dan Cinta seperti disinggung dalam lagu "Genderang UI" masa itu.

Jeffry Nichols dan Maudy Ayunda dalam Habibie & Ainun 3-Foto: Berita Agar
Jeffry Nichols dan Maudy Ayunda dalam Habibie & Ainun 3-Foto: Berita Agar
Karakter dan Jejak Sejarah Ainun
Dari segi karakter Ahmad menarik. Mahasiswa Fakultas Hukum yang cerdas, putra Husodo salah seorang dosen Ainun, tak segan membela Ainun, hingga pandangan yang menganggap perempuan kuliah di kedokteran adalah sebuah keniscayaan. Sementara pandangan dosen dan mahasiswa laki-laki cenderung meremehkan, karena perempuan sentimentil. 

Mulanya keduanya sejalan. Ahmad kerap mengecam cara berpikir orang Indonesia yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman, seperti soal emansipasi. Karakternya advonturir, cenderung nyantai berbeda dengan Ainun yang serius dan memikirkan masa depan.

Bagi saya Jeffry Nichol mampu membawakan karakter seorang mahasiswa yang banyak dipengaruhi "western" ini. Saya suka pernyataannya: Buat apa membeli motor atau mobil, kalau bisa meminjam.

Saya suka dia mendukung emansipasi dan anti feodal. Sayangnya pandangan Ahmad kerap tidak injak bumi. Itu sisi yang tidak saya suka. Lagi pula, pada era 1950-an, semangat nasionalisme sebagai negara yang baru merdeka, walau tertatih-tatih, tetapi kecintaan terhadap Indonesia masih besar.

Maudy Ayunda menghadapi tantangan berat. Ok, dia berhasil menghidupkan spirit Ainun dengan pemikirannya dan kecintaannya terhadap kemanusiaan. Namun penampilan lebih mirip gadis masa kini. Kesalahan artistik kali ya?  

Bebannya makin bertambah ketika dia harus mengucapkan pernyataan-pernyataan yang saya khawatir adalah pesan era sekarang tentang kebangsaan dan bukan pernyataan kebangsaan masa itu. Rasanya text book. Apa iya, Ainun menyatakan kalimat-kalimat itu pada waktu kuliah di FKUI? Bisa jadi, karena saya juga tidak menemukan fakta itu. Mungkin saja penulis skenario ada risetnya.

Tetapi upaya Maudy Ayunda sudah maksimal dan mungkin rekonstruksi Hanung dengan riset yang waktunya terbatas. Hanya berdasarkan cerita Arlis, kawan-kawannya masih hidup dan BJ Habibie sendiri.

Artikel tentang Ainun (ditulis Hainun)-Repro Irvan Sjafari.
Artikel tentang Ainun (ditulis Hainun)-Repro Irvan Sjafari.
Secara kebetulan saya mempunyai artikel yang ditulis M Notodidagdo di sebuah majalah perempuan di Jakarta terbitan 1957 bertajuk "Hainun: Ratu Mahasiswa Kedokteran". Dalam artikel itu disebutkan Ainun masih jalan dua puluh tahun dan sudah tingkat III. Pas dalam film ini Ainun lulus SMAK Dago pada 1955. 

Dalam artikel itu disebutkan Ainun (dalam artikel Hainun) digambarkan lembut, mempunyai ambisi untuk maju dan tidak menoleh dengan apa yang disebut cinta. Dia disebut ratu mahasiswa kedokteran dan dalam film disebutkan pembentukan Ainun Fans Club di Fakultas Hukum dan juga menjadi minoritas di FKUI, rasanya pas.

Hanya saja tidak disebutkan pacarnya. Kemungkinan setelah 1957 karena HUT Ainun ke 21 dirayakan dalam sebuah adegan (itu artinya 1958). Dalam film diceritakan Ainun datang ke kelas kuliah jam enam pagi, masuk jam tujuh pagi. 

Artikel juga menyebutkan Ainun berangkat dari rumah family-nya di Jalan Mendut (dekat Salemba) jam 7 pagi dan selesai kuliah jam satu siang, pulang untuk makan dan berangkat lagi untuk pratikum dari jam 3 hingga jam 6 sore. Ainun punya hobi olahraga renang dan kalau ada uang suka menonton.

Ainun disebutkan anak Raden Besari. Kepala Bagian Hidrolika di Sekolah Teknik Tinggi Bandung. Aniun lahir di Semarang dalam sebuah adegan film Ainun kecil pada 1944, ikut ibunya yang menjadi bidan menolong seorang ibu yang melahirkan di sebuah desa.

Sayang artikel itu tidak mengungkap lebih dalam karakter Ainun, kecuali ramah, suka tersenyum kalau bertemu orang, hingga suka membaca. Ainun digambarkan berwajah imut mirip siswi SMP.  

Yang menarik ialah peran Arsewendi Bening Swara yang memerankan Prof Husodo , sebagai gambaran dosen masa itu yang didikan Belanda. Dokter yang masih memegang idealisme. Dokter ini tidak jadi pulang dari rumah sakit ketika Ainun dan Ahmad membawa pasien seorang  anak yang kecelakaan di pasar malam. Dia juga menghibur Ainun ketika tak berhasil menyelamatkan anak itu. "Kita sebagai manusia berupaya  menyelamatkan hidup manusia. Bukan hanya dokter."

Sementara  Lukman Sardi (pemeran Raden Besari) dan Marcella Zalianty sebagai istrinya tidak terlalu tergali dalam, tetapi cukup baik, seperti halnya pemeran teman-teman Ainun. Yang mencuri perhatian justru yang menjadi cucu-cucu Habibie masa sekarang begitu spontan. 

Adegan meninggalnya BJ Habibie juga menjadi bagian film ini dan melengkapi Habibie dan Ainun sebagai penutup manis kisah pasangan ini yang kini berada di "dimensi berbeda". Applaus untuk film ini tiga dari empat bintang.

Irvan Sjafari 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun