Sejak Januari hingga awal Maret 1965 Â pemerintah kotapraja Bandung melakukan perbaikan jalan hingga membersihkan sejumlah ruas jalan protokol. Â Selain dalam memperingati ulang tahun ke 10 Konferensi Asia Afrika, Â Bandung menjadi tuan rumah Konferensi Islam Afrika Asia (KIAA). Â Bahkan Presiden Sukarno dalam amanatnya di depan para insinyur Indonesia di istana negara pada 10 Februari mengungkapkan, bahwa jalan raya yang menghubungkan Jakarta-Bogor-Bandung diperbaiki dan disediakan dana Rp12 miliar (1)
Terinspirasi oleh keberhasilan menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika 18-24 April 1955, dukungan pun mengalir hingga kalangan mahasiswa. Â Aktivis Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) Bandung dalam tulisannya meminta Kotapraja Bandung menggerakan warga kota memberikan jalan di depan rumahnya sendiri hingga selokan.
Nama Konferensi Islam Afrika Asia ini juga menjadi tanda tanya dari nama awal Konferensi Islam Asia-Afrika. Â Sejarawan Universitas Padjadjaran Ahmad Mansyur Suryanegara menduga sebagai strategi untuk mendapatkan dukungan dari negara-negara Afrika, sekaligus sebagai persiapan ulang tahun ke 10 KAA yang akan digelar di Alajazair (2)
Digelarnya KIAA ini pasca keluarnya Indonesia dari PBB dan memuncaknya konfrontasi dengan Malaysia  merupakan anomali sendiri, mengingatkan Malaysia termasuk negara yang penduduk muslimnya cukup banyak. Malaysia sendiri justru tidak diundang.
Uniknya Republik Rakyat China hadir dalam KIAA yang digelar pada 6 hingga 14 Maret 1965 di Gedung Merdeka Bandung ini, Â sekalipun negara itu juga mempunyai penduduk muslim dari Suku Hui. Namun juga hadir dalam KIAA delegasi Palestina dan Negara Kesatuan Kalimantan Utara yang dipimpinan Kolonel Ahmad Ismiran. Dua negara yang oleh PBB belum diakui.
Bisa jadi strategi Sukarno untuk menggalang dukungan dalam politik New Merging Forces (Nefos)-nya sekaligus terus menularkan semangat anti neo kolonialisme lebih luas lagi. Surkano mencari dukungan dari negara-negara berpenduduk muslim dari kedua negara itu.Â
Jennifer Lindsay dalam bukunya mengungkapkan penyelenggaraan KIAA ini  sebagai "iritasi" Islam di Indonesia untuk mengimbangi dominasi komunisme dalam kebijakan luar negeri  dalam hubungan dengan negara Asia dan Afrika. Pada masa Demokrasi terpimpin Sukarno menjalan kebijakan Nasakom (Nasionalis Agama dan Komunis).  Keberadaan KIAA juga komitmen Sukarno dari sisi Islamnya terhadap Nasakom (3)
Itu sebabnya beberapa isu yang tadinya akan dibicarakan dalam KIAA diputuskan tidak akan dibahas. Di antaranya soal khilafiyah yang dikhawatirkan akan menimbulkan pertentangan di antara para delegasi, bahkan mungkin juga di kalangan delegasi Indonesia sendiri. Hal itu dinyatakan Wakil Sekretaris Jendral Koordinasi KIAA H Djafar Zainuddin di Masjid Krekot Jakarta (4).
Sebanyak 107 delegasi dari 33 negara  dan 8 peninjau mengikuti KIAA.  Dari tuan rumah Indonesia hadir KH Idham Chalid dan H. Achmad  Sjaichu (NU),  Arudji Kartawinata dan Harsono Tjokroaminoto (PSII), KH Siradjudin Abbas (Perti) K. H. A Badawi  dan Prof K. H Farid Ma'ruf (Muhammadyah) dan perwakilan lintas organisasi Islam Indonesia lainnya.
Dalam pidato pembukaannya di Gedung Merdeka pada 6 Maret 1965, Sukarno mengatakan hanya dengan kekuatan dan persatuan yang tangguh, hanya dengan rakyat Asia Afrika yang besatu kukuh, maka agama Islam akan berkumandang ke seluruh dunia.Â
Suakrno mengumandangkan ajakannya kepada umat Islam di negara Asia dan Afrika bekerja sama menyusun kekuatan yang kompak serta militan untuk mewujudkan cita-cita bersama di dalam menghancurkan kolonialisme dan imprealisme.Sukarno mengharapan kepada negara-negara yang mengirim wakilnya dalam KIAA agar memakai dasar-sadar yang tercantum dalam Pancasila terutama sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa (5).
KH Idham Chalid dan H Achmad Sjaichu terpilih sebagai Ketua dan Sekretaris Sidang dalam rapat paripurna, Minggu 7 Maret 1965. Â Sementara Dr Habbalah (Republik Persatuan Arab), Prof Hamid Achmad Khan (Pakistan), Al Hadji Jacob (Nigeria) Â dan Sjech Abdul Aziz (Arab Saudi) menjadi wakil ketua.
Beberapa poin yang dibicarakan dan dihasilkan dalam sidang KIAA antara lain Presiden Sukarno diberikan gelar pahlawan Islam dan kemerdekaan. Dukungan pemberian gelar tersebut dberikan wakil Aljazair  Ben Nabil Holil  dan wakil Srilanka H Baddurudin Mahmud.  Mereka menyebut Sukarno menganut Islam Revolusioner (6).
Masalah yang menjadi perdebatan sengit adalah menentang neo kolonialsme khsusnya menyangkut pembentukan Malaysia. Tetapi akhirnya diterima setelah peserta sidang juga menyatakan solidaritas terhadap perjuangan Arab  Palestina menghadapi Israel.  Kedua isu itu akhirnya disepakati sama pentingnya.  Selain itu dibicarakan juga soal Khasmir yang disepakati diserahkan pada rakyat Khasmir sendiri (7).
Bagi warga kota Bandung sendiri keberadaan KIAA menjadi atraksi hiburan.  Pada pembukaan Sabtu, 6 Maret 1965  digelar pawai besar yang diikuti 300 kelompok, mulai dari pelajar  Sekolah Dasar sampai perguruan tinggi, ormas pemuda, Pramuka, Hansip, hingga angkatan bersenjata.  Panjangnya pawai dilaporkan sepanjang 15 kilometer berangkat dari Lodaya, melalui Oto Iskandar Di Nata  dan berakhir di Tegallega.  Â
Pawai dimeriahkan oleh 50 drum band dari berbagai kota, termasuk drum band Muhammadyah dengan peserta 320 orang. Â Begitu komunitas motor, skuter, harly juga memeriahkan pembukaan. Â Yang menarik terdapat spanduk dari Front Katolik yang dibentangkan pelajar sekolah, mahasiswa hingga jururawat Katolik yang menyatakan: KIAA tidak hanya didukung umat Islam tetapi juga umat Katolik (8).
Selain acara konferensi, juga digelar lomba Tilawatil Quran yang diikuti negara-negara peserta KIAA. Sementara para peserta melangsung salat Jumat di Masjid, Alun-alun Bandung.
KIAA ditutup oleh Sukarno dalam rapat akbar di Gelora Bung Karno Jakarta yang dihadiri 100 ribu massa dan peserta delegasi pada 13 Maret 1965. Â Dalam pidatonya Sukarno mengatakan, "Kini sudah tiba waktunya, kita sebagai umat Islam bangkit kembali dan maju terus membebaskan diri dari penindasan dan penghisapan kaum neokolim dengan smemangat pantang mundur untuk menjadikan Islam pelopor bagi umat manusia (9).
KIAA Â sempat melahirkan sebuah organisasi islam bernama Organisasi Islam Asia Afrika atau OIAA. Organisasi ini berdiri dengan tujuan untuk menjalin ukhuwah silaturahim antar negara Islam Asia-Afrika. Achmad Syaikhu dipercaya menjadi Presiden Dewan Pusat OIAA. Sementara Kafrawi Ridwan menjabat sebagai Sekretaris Jenderal OIAA (10).
Sayangnya, KIAA seperti halnya Konferensi Asia Afrika tidak pernah diadakan untuk kedua kalinya. Sejarah mencatat seharusnya Konferensi Asia Afrika ke II diadakan di Alajzair Juni 1965.  Namun ada  19 Juni 1965 Presiden Aljazair Ahmad Ben Bella digulingkan dalam kudeta yang dilancarkan oleh Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel Houari Boumedienne.
Mulanya KAA yang dijadwalkan pada 25 Juni tetap akan berlangsung.  Namun sebuah ledakan bom  di Aljazair diikuti dengan memburuknya hubungan RRC dan Uni Soviet membuat sejumlah pemimpin Asia, termasuk Sukarno menunda penyelanggaraan KAA ke II. Sayangnya, ditunda untuk selamanya. Â
Akhirnya KAA dan KIAA menjadi romantis historis di mana Kota Bandung berhasil menjadi tuan rumah  dalam peristiwa bersejarah dan menjadikannya sebagai kota konferensi paling terkemuka setidaknya  pada awal masa Republik Indonesia.
Irvan Sjafari
***
Catatan Kaki
Pikiran Rakyat, 11 Februari 1965
Ahmad Manysur Suryanegara, Â Api Sejarah 2, Bandung: Surya Dinasti, 2015, halaman 159
Jennifer Lindsay, Heirs to World Culture: Being Indonesia 1950-1965, Leiden: KITLV Pers, halaman 290
Pikiran Rakjat, 24 Februari 1965
Pikiran Rakjat, 8 Maret 1965
Pikiran Rakjat, 10 Maret 1965
Pikiran Rakjat, 13 Maret 1965
Pikiran Rakjat, 8 Maret 1965
Pikiran Rakjat, 15 Maret 1965