Pergantian tahun 1964 ke 1965 Konfrontasi dengan Malaysia praktis mendominasi narasi dan wacana di media massa. Dalam sebuah pernyataan pada 31 Desember Presiden Sukarno menyatakan Indonesia segera laksanakan tekadnya keluar dari Perserikatan Bangsa-bangsa jika Malaysia menjadi anggota (tidak tetap) Â Dewan Keamanan PBB.
"Kita bukan bangsa tempe, kita bukan bangsa kintel atau bangsa karung basah yang boleh dihina dan diinjak-injak," kata-kata Bung Karno seperti biasanya menggugah.
Keesokan harinya Malaysia resmi diterima sebagai anggota Dewan Keamanan PBB. Â Pada 7 Januari 1965 Indonesia resmi keluar dari PBB. Habis pula hubungan dengan lembaga FAO, WHO, Unicef, Unesco. Â Demikian berita utama Pikiran Rakjat edisi 8 Januari 1965.Â
Pernyataan Presiden pada awal amanatnya dalam rapat umum anti pangkalan militer asing di Istora Senayan, jelas tidak dapat ditawar lagi.
"Manakala komando saya yang baru lalu jika Malaysia dijadikan anggota Dewan Keamanan PBB, maka komadokan Indonesia akan keluar dari PBB. Maka sekarang oleh karena ternyata Malaysia dijadikan anggota DK PBB, saya nyatakan Indonesia keluar dari PBB."
Sukarno mengatakan, kita bisa beroperasi tanpa lembaga-lembaga khusus PBB. Ini baik untuk bangsa kita, untuk bisa berdiri di atas kaki kita sendiri.
"Saya sudah serukan sebelumnya: Persetan dengan bantuanmu!" begitu sesumbar Sukarno, sembari mengingatkan agar rakyat, kementerian, dan militer Indonesia siap menghadapi segala konsekuensinya. Sebab, baginya, "hanya dengan mengatasi kesulitan kita bisa menjadi bangsa yang besar (1).
Paling tidak pada minggu-minggu  pertama setelah pernyataan Pimpinan Besar Revolusi itu tidak ada reaksi yang gempita dari warga kota Bandung atas langkah yang diambil pemerintah Indonesia.  Warga Bandung lebih mengkhawatirkan harga bahan pokok dan sandang yang terus merangkak naik.
Gubernur Jawa Barat Mashudi memberi pernyataan tahun 1965 bagi Jawa Barat sebagai tahun kebulatan tekad mengamalkan Tahun Vivere Pericoloso (Tavip), pidato Bung Karno menyambut hari kemerdekaan 17 Agustus 1964 yang berarti "hidup secara berbahaya". Namun hingga akhir 1964 kehidupan berbahaya itu belum terasa dan memasuki 1965 mulai dirasakan.
"Kita melawan baik dari luar negeri, maupun dari dalam negeri berupa melenyapkan kebodohan dan kemiskinan," ujar Mashudi  dalam pembukaan penghijauan di wilayah Jatiluhur. Sebuah pernyataan secara tersirat masalah internal Jawa Barat menyangkut sosial dan ekonomi lebih pelik dari politik.
Dukungan terhadap konfrontasi pun lebih banyak bersifat "home front". Sejak Desember 1964 diadakan pelatihan-pelatihan seperti terhadap sukarelawati (suswati), itu pun pada istri-istri pejabat dan tentara.