Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bandung 1964, Mahasiswa: Seni, Masalah Kejiwaan, Konflik CGMI-DM Publitistik Unpad

29 Mei 2019   04:24 Diperbarui: 11 Juni 2019   14:34 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gelora  Saparua, Bandung malam hari pada 10 April 1964 dipenuhi penonton untuk menyaksikan acara yang disebut "Malam Gitar ITB", karena memang diselenggarakan oleh mahasiwa kampus Ganesha itu.  Kegiatan pertunjukan amal tersebut tidak saja ditujukan pada keluarga mahasiswa ITB tetapi juga untuk umum menghadirkan  bintang lawak Iskak dan Bagio, hingga Band Aneka, band dengan  sejumlah personilnya merupakan mahasiswa ITB, juga menampilkan bakat musik yang ada di kalangan mahasiswa.

Untuk pertama kali di Bandung , dalam sebuah pertunjukan musik, penampilkan 52 orang gitaris dari kalangan mahasiswa berbagai jurusan. Pimpinannya adalah Klien, memadukan para gitaris berbagai jenis mulai dari yang murah dan mahal. Mereka disusundalam empat kelompok suara I terdiri 12 gitaris, Suara II  hanya satu gitar, Suara III  sebanyak 6 gitar, Suara IV sebanyak 6 gitar dan sisanya gitar pengiring. Meskipun penutur pengamat musik masa itu Eddy HS hanya tiga lagu yang terdengar accord gitarnya, yaitu Mangle, Kembang Tanjung dan Adios (1)

Dua lagu itu merupakan lagu gubahan Mang Koko, Seniman Lagu Sunda masa itu dan satu lagi lagu Spanyol. Pilihan lagu itu menarik menggambarkan hibrida budaya populer di kalangan orang terdidik, sekalipun menyerap budaya populer dari Barat, tetapi ada yang berupaya mempertahankan identitas kultural.

Kegiatan kesenian menjadi salah satu  aktivitas yang mencolok dilakukan para mahasiswa berbagai perguruan tinggi pada 1960-an. Kegiatan Malam Gitar ITB  menyusul kegiatan sebangun yang bertajuk "Seribu Iseng" yang dilakukan IKIP Bandung beberapa waktu sebelumnya.

Selama semester pertama 1964 beberapa perguruan tinggi besar menggelar kegiatan kesenian, Universitas Parayangan menggelar pertunjukan kesenian di daerah dalam rangka dies natalis kampus itu, di antaranya  Sendratari "Lutung Kasarung" di Sukabumi tanggal 20 dan 22 Mei (2). Universitas Padjadjaran juga menggelar "Bali Charity Night" di Aula Unpad  pada Sabtu,  6 Juni 1964, antara lain mempertunjukan  Upacara Membanten, Tari-tarian Pendet, Baris, Calon Arang, Jangger, Joget bumbung, Tembullilingan (3).

Ini kegiatan kedua di Universitas Padjadjaran. Pada pertengahan April 1964 digelar Pekan Kesenian Mahasiswa. Pada pembukaannya  di aula Unpad pada Sabtu 18 April 1964 Wali Kota Bandung Prijatna Kusumah mengatakan kesenian harus kembali kepada kepribadian kita, bukan berarti kembali kepada alam kesenian primtif. Rupanya pemerintah menyorot minat mahasiswa seni cenderung pada seni yang mengadopsi Barat.  

Meskipun dalam kesempatan itu Kusnadi Harjdaumantri Ketua Umum Badan Kerja Sama Kesenian Mhahasiswa mengatakan menyiapkan konferensi BKSKMI (Badan Ksenian Mahasiswa Indonesua) yang  akan membicarakan garis-garis yang tegas menjadikan pasukan kesenian mahasiswa untuk dikirim ke Kalimantan Utara atau di mana saja diperlukan  dalam rangka mengganyang Malaysia. Selain itu ada menyelenggaraan perlombaan karikatur mahasiswa menggambarkan pengganyangan proyek Neo Kolonialisme.  Juga perlombaan penulisan cerita pendek (4).

Soe Hok Gie dalam catatan hariannya  yang kemudian dibukukan menjadikan kehidupan mahasiswa menjadi satu bab tersendiri yang diberi tajuk  Buku, Pesta dan Cinta, juga disinggung lirik lagu Genderang UI era itu, bahwa tiga kata itu identik dengan mahasiswa. Hal ini juga dibenarkan Firman Lubis (Lubis, 2008)  yang menyebutkan pesta dansa biasanya dilakukan pada pesta inagurasi setelah masa perpoloncoan.

Dalam pemberitaan surat kabar pada masa itu terkait mahasiswa di Jakarta dan Bandung tiga kata itu kerap saya temukan dan semakin menyolok sejak akhir 1950-an hingga menjelang pertengahan 1960-an.  Pesta di sini bukan saja kegiatan seni dan hiburan  tetapi dansa yang dilakukan di rumah-rumah. Begitu juga di kota Bandung yang notabene populasi mahasiswa terbesar waktu itu .

Sebetulnya acara dansa, di antaranya twist menjadi sorotan pemerintah waktu itu  sebagai hal yang "gila-gilaa".  Tokoh Front Nasional Jawa Barat D Rahman Sainan  pada pertengahan April 1964 meminta Hotel Preanger menghentikan aktivitas tersebut. Permintaan itu dilakukan didahului demonstrasi sekitar 500 pemuda yang menempelkan plakat anti twist di tembok Hotel Preanger pada 13 April 1964. Demontrasi itu dilakukan setelah para tamu melakukan aktivitas dansa twist pada 28 Maret 1964.

"Pihak Direksi hotel sejak lama mengikuti anjuran dan larangan tersebut, namun dari pihak tamu sendiri yang belum ada kesadaran untuk menaati peraturan itu," ujar Kapten R Mohamad Oman Wiriaatmadja, Wakil Direksi Hotel Preanger (5).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun