Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Film "Ambu": Kasih Ibu, Kearifan lokal dan Konflik Generasi

2 Mei 2019   23:27 Diperbarui: 3 Mei 2019   10:47 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Adegan dalam Film Ambu-Foto: Skrytree Picturesm Instagram,

Nona (16 tahun) benar-benar gadis Jakarta yang tenggelam kehidupan hedonis seperti bersenang-senang di pub, yang sebetulnya pelarian dari masalah keluarganya.  Pulang mabuk dan terkapar di beranda di rumahnya, sementara ibunya Fatma harus banting tulang mencari nafkah lewat bisnis kateringnya. Ayah dan ibunya bercerai, Sang Ayah tidak bekerja lagi dan kerap memeras ibunya.   

Keesokan harinya Nona didamprat ibunya Fatma (Laudya Cynthia Bella)  dengan pertanyaan biasa ditanyakan seorang ibu : ke mana semalam? Nona menjawab dengan santai: libur. Fatma jadi sengit. Libur? Kau diskors. Sama saja, jawab Nona (Luthesa) tanpa merasa bersalah. Kok tidak minta izin? Mama tidak ada di rumah. Pertengkaran berakhir dengan kedatangan Nico (Baim Wong) yang melakukan kekerasan untuk mendapatkan uang dan Nona menutup kupingnya untuk mendengarkan musik.

Opening scene film Ambu yang sudah cukup menceritakan seperti apa hubungan ibu dan anak. Sang anak dari generasi milenial yang bisa melarikan masalahnya ke gadget.  Cerita terus bergulir, usaha katering Fatma tutup tanpa alasan jelas, mobil dijual, rumah dijual dan tiba-tiba Nona diminta ikut Fatma, menemui ibunya atau dari nenek dari Nona yang disebut Ambu, yang selama ini tidak diceritakan. Tidak tanggung-tanggung, tempat tinggal Ambu di kawasan Baduy, yang sama sekali tidak dikenal Nona.

Nona ikut ibunya dengan berat hati naik kereta api dari Kebayoran Lama dan dilanjutkan angkot ke terminal Rangkasbitung, lalu naik becak ke Kampung Baduy (luar). Cerita semakin menarik karena saya mengamati dari ekspresi muka Nona yang masih kesal, di tengah suara suling dengan musik lokal, serta rumah-rumah adat Baduy yang amboi eksotis dan indahnya. Tetapi bagi Nona yang biasa dengan kultur Jakarta bagaikan musibah.

Sambutan Ambu Misnah (Widyawati) yang begitu dingin dan ketus, di satu sisi ada penolakan dan amarah, tetapi di sisi lain sebetulnya merindukan anak yang enam belas tahun  tidak dilihatnya. Lewat adegan perundingan dengan  para jaro (sesepuh adat) terungkap Fatma sudah dianggap orang luar, karena menikah dengan orang luar,. Nico adalah mahasiswa Jakarta yang pernah tinggal di Baduy memikat hati Fatma muda.

Nah, jika Fatma ingin tinggal kembali di Baduy harus ada syarat hukuman 40 hari dan upacara. Sementara hanya dianggap tamu. Bagi Nona sikap Ambu yang kaku membuatnya makin kesal

"Sumpah nenek jutek banget!" cetusnya. Khas Jakarta.

Adegan dalam Film Ambu-Foto: Skrytree Picturesm Instagram,
Adegan dalam Film Ambu-Foto: Skrytree Picturesm Instagram,
Fatma dengan mudah beradaptasi apalagi ada kawan kecilnya Apsha (Enditha) kembali memasak dengan tungku, menenun seperti layaknya perempuan Baduy, namun tidak demikian dengan Nona. Hari pertama saja sudah kesal, karena tidak ada listrik, tidak ada sinyal dan satu-satunya yang membuatnya sedikit terhibur ialah kehadiran Jaya (Andri Mashadi), pemuda setempat yang mempunyai toko dan membantu menjual kain tenun dari kampungnya.

Konflik makin melebar bukan saja antara Ambu dengan Fatma, tetapi juga antara Fatma dan Nona, bahkan juga Nona dengan neneknya.  Puncaknya ialah Nona memberontak ketika ibunya memutuskan tinggal selamanya di daerah itu. Belakangan Nona, maupun Ambu mengetahui sebab Fatma ingin kembali tinggal di kampung halamannya.

Skenario Titien Wattimena begitu menawan, bukan saja soal konflik antara ibu dan anak, tetapi juga antar generasi. Ambu Misnah mewakili generasi yang memegang teguh adat, Fatma generasi yang hidup di dua kaki, modern tetapi juga sulit melupakan asal-usulnya dan Nona wakil dari generasi modern, yang kerap tidak ada hormat-hormatnya terhadap kearifan lokal, memuja budaya Barat, bahkan juga terlihat arogan, merasa orang Jakarta paling bisa memecahkan persoalan.

Luthesa bermain menarik sebagai wakil orang Jakarta yang seperti itu, begitu gagap menyalahkan lampu semprong, seenaknya saja berduaan dengan pemuda yang baru dikenalnya-hal yang biasa di Jakarta, tetapi pamali bagi orang dengan adat tertentu. Sikap dia bertengkar dengan Ambu begitu enteng seperti orang Jakarta menyatakan tidak setujunya, jadi bukan saja konflik segitiga antara ibu, anak dan nenek, tetapi juga antar generasi bahkan menurut saya antar dua budaya, yaitu budaya urban modern yang arogan dengan budaya lokal yang masih mempertahankan kearifan terhadap lingkungan dan alam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun