Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Dilan 1991", Buat Baper Tetap Membumi

28 Februari 2019   17:36 Diperbarui: 28 Februari 2019   17:37 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kalau aku jadi Presiden yang mencintai rakyatnya,  maaf aku tidak bisa karena aku mencintai Milea". Demikian kata Dilan (Iqbaal Ramadan) kepada  Milea (Vanesha Prescila) dalam sebuah puisinya.

Ucapan-ucapan gombal dari  Dilan memang unik namun membumi, hingga menjadi salah satu kekuatan film yang diangkat dari novel karya Pidi Baiq ini dengan judul yang sama. Ucapan-ucapan gombal itu tak berarti, jika para bintang  yang memainkan karakter-karakter ini tidak punya chemistry.

Bagaimana cara Iqbal melontarkan  ucapan itu  begitu alami dengan wajah tak berdosa dan  disambut mimik dan gesture tubuh Vanesha menanggapinya dengan ceria, muka yang merah hingga tertawa bahagia begitu  memikat seolah-olah  saya hadir di dekat mereka.     

Dilan 1991 berhasil  dari segi ini menjadi sekuel sempurna dari Dilan 1990.   Ceritanya dimulai sejak proklamasi jadian  pasangan remaja ini pada 22 Desember 1990.  Tentunya  dibuka dengan cerita   Milea masa kini   yang jadi penuturnya.

Opening scene saja  mengumbar banyak ucapan gombal cinta yang membuat  hati Milea berbunga-bunga.   Mulai dari narasi  yang dicetuskan Milea:  Dilan  yang sederhana.  Dilan yang mendekor hidupku,  lalu masuk ke adegan Dilan membonceng Milea naik motor di tengah hujan lebat. Cita-citamu apa Milea? Jadi Pilot, Kamu? Tanya Milea. Menikahi kamu? Milea tertawa. Mau?  

Ada juga sebuah adegan yang unik dan bukan dialog kebanyakan dalam film remaja Indonesia. Ketika dalam sebuah pertemuan: kamu serius seperti Neil Amstrong? Milea melontarkan kata-katanya. Dilan dengan santai menjawab: "Percuma jadi Neil Amstrong. Jauh-jauh ke bulan dan tidak jadian dengan kamu".  So sweet.

Begitu juga cara Milea agar Kang Adi (Refal Hady) guru lesnya agar tidak mengajaknya jalan dengan mendatangkan Dilan dang eng motornya ke rumah juga menarik.    

Dilan 1991 berkembang ke arah konflik yang lebih tajam dan sebetulnya realitas kehidupan remaja  Bandung masa itu.  Keterlibatan Dilan dengan geng motornya menjurus ke batas yang sulit ditolelir oleh Milea . 

Mulai dari dia dikeroyok oleh empat orang tak dikenal di Warung Bi Eem, hingga perkelahian di Taman Centrum (Jalan Sumbawa di pusat kota), yang membuat Dilan ditahan dan dikeluarkan dari sekolah.  Perkelahian itu erat kaitannya dengan Anhar yang dihajarnya karena menempeleng Milea dalam film Dilan 1990.

Di sisi lain  Yugo, sepupu Milea dari jauh datang dari Belgia dan ingin menetap di Bandung. Mulanya Milea respek, bertemu saudara yang sudah lama tidak bertemu. Namun Yugo ternyata jatuh hati pada Milea.  Padahal Milea mencintai Dilan.

Bagaimana akhirnya kisah Dilan dan Milea memang membuat baper (istilah anak sekarang menyentuh hingga terbawa perasaan).  Bahkan penonton yang bukan dari generasi milenial seperti saya. Mungkin karena ceritanya setting di zaman saya muda, hingga nostalgia atau memang menuturkan kisah romantis  yang tidak lebay.  

Review

Hanya ada beberapa film cinta remaja seperti itu di masa lalu  seperti film Gita Cinta dari SMA  dan  Ada Apa dengan Cinta?  Yang masing-masing menjadikan bintangnya menjadi ikon.  Kalau dulu 1970-an ada Widyawati dan Sophan Sophiaan, kemudian Rano Karno dan Yessi Gusman, diikuti Nicholas Saputra dan Dian Sastro dan kini Iqbaal Ramadhan dan Vanesha Prescilla. Kekuatan mereka sama sebetulnya: tidak mengada-ngada.  Tidak adaptasi dari film romantis Hollywood.

Bedanya?  Setting Dilan 1991  maupun Dilan  1990 bukan era milenial melainkan 1990-an, di Kota Bandung.  Belum ada ponsel, belum ada internet, mengungkapkan cinta melalui surat-suratan, berkomunikasi dengan telepon analog. 

Yang penting adalah konten bukan teknologinya. Konten yang unik ini memikat milenial. Jadilah dua film Dilan ini disukai dua generasi sekaligus, generasi saya dan generasi milenial dan mempersatukan mereka di gedung bioskop.

Yang paling penting bagi saya ketika Bandung masih menyenangkan. Dilan boleh bilang: Bandung menyenangkan ketika ada Milea.  Bagi saya Dilan 1990 dan Dilan 1991 mengingatkan Bandung menyenangkan karena masih ada ruang publik,  mal hanya ada Bandung Indah Plaza (BIP) dan seharusnya Bandung  hanya layak mempunyai berapa mal  dan bukan dipaksa menjadi pelayan orang Jakarta.

BIP digambarkan dalam film ini  begitu juga  tempat kuliner kaki lima  malam hari yang begitu romantis  suasananya ketika Dilan dan Milea kencan.  Bandung 1990-an

Saya paham betapa sulitnya sutradara dan juru  kamera menjadikan Gedung Sate seperti 1990-an. Secara fisik iya. Tapi sempat terlihat ada tenda-tenda di halaman, seperti ada acara waktu proses syuting. Tentu saja alun-alun dihindarkan jadi tempat syuting karena suasananya tidak  akan sama.

Jangan lupa transportasi Jakarta-Bandung, masing kereta api. Travel baru ada 2010-an. Dalam Dilan 1991 begitu apik dengan menghadirkan Stasiun Gambir. Juga uang Rp500 dualembar yang diperlihatkan Milea kepada Dilan  mengindikasikan sutradara begitu jeli  ke hal detail. Pada waktu itu uang  Rp500 dan Rp1000 masih berharga dan cukup untuk makan bakso.      

Keberadaan geng motor merupakan  fenomena khas Bandung yang kemudian menular ke kota lain.  Saya melihatnya mungkin berkaitan dengan keberadaan klub motor di era 1960-an atau 1970-an, mungkin saja semacam crossboy di era 1950-an  di berbagai kota di Indonesia.  

Tetapi geng motor habitatnya kuat di Bandung karena struktur jalan raya memungkinkan akses ke Lembang dan sekitarnya jadi  cepat.  Belum lagi hawanya yang sejuk  membuat Bandung menjadi tempat habitat bagi  komunitas musik, budaya dan umumnya anak muda.

Dalam sebuah adegan ibu Milea diceritakan hendak berkunjung  ke WR Supratman berkunjung ke Rumah Musik Harry Roesli. Poin berikutnya membuat film ini membumi.  Tempat nongkrong seperti Dago Tea House peninggalan zaman Belanda menambah nilai nostalgia dan Allhamdullilah tempat itu masih ada.   

Kisah cinta Dilan dan Milea melibatkan para orangtua masing-masing dengan porsi yang pas, tidak menihilkannya seperti kebanyakan film remaja Indonesia dan masih memegang adat ketimuran. Tidak ada adegan ciuman yang berlebihan dan vulgar seperti di Barat model Catatan si Boy era 1980-an. Yang ada ciuman diwakili oleh tangan yang membentuk bibir. Amboi: artistik sekali.   

Film ini juga  tidak mengumbar kemewahan dan jelas apa pekerjaan orangtua masing-masing, militer misalnya.  Gaya pacarannya tidak mewah, seperti remaja kebanyakan.  Saya suka sekali dengan rumah-rumah dengan arsitektur peninggalan Belanda yang masih dipelihara  di Bandung.

Suasana sekolah juga wajar. Mungkin kritik yang pernah dilontarkan  adalah penghormatan pada posisi guru. Pada  Dilan 1990 diperlihatkan Dilan melawan guru dan cukup menegangkan. Tapi Dilan sudah dihukum.  Dia juga akhirnya manut pada gurunya. Terlebih pada Dilan  1991, Dilan tertunduk di ruang guru.  Tampilnya Ridwan Kamil sebagai cameo, sebagai kepala sekolah  juga menyegarkan.  Dia juga mengkritik agar guru juga jangan banyak bercanda berlebihan  di depan anak sekolah. 

Saya kira posisi guru masih  proposional dan dihormati. Padi Baiq,  Sang Penulis  Novel  dan juga membantu sutradara Fajar  Bustomi  tentu memperhatikan hal itu.  Apalagi ceritanya juga sebagian berangkat dari kisah nyata.   

Beberapa bintang  baru  seperti  Maudy Koesnaedi   sebagai salah seorang tante Milea, serta Jeremy Kurnia  sebagai Yugo menyemarakan film ini.  Ada  kehadiran Sissy Priscilia kakak  Vanesha sebagai Milea dewasa juga menarik walau cameo.       

Dilan 1991  akan disambung dengan film Milea yang bercerita  dari sudut Dilan. Saya harap lebih   memperkuat kedua film  dan menggambarkan  dunia remaja era 1990-an menurut Padi Baiq era itu. Dua  film yang membuat saya ingin  pindah ke Bandung.

Saya menonton  film ini  di sebuah bioskop  di wilayah Depok di mana empat layarnya diborong  oleh Dilan 1991. Bahkan pertunjukan sudah dimulai pada jam 11.00. Selamat datang Dilan 1991.      

Irvan  Sjafari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun