Kisah cinta Dilan dan Milea melibatkan para orangtua masing-masing dengan porsi yang pas, tidak menihilkannya seperti kebanyakan film remaja Indonesia dan masih memegang adat ketimuran. Tidak ada adegan ciuman yang berlebihan dan vulgar seperti di Barat model Catatan si Boy era 1980-an. Yang ada ciuman diwakili oleh tangan yang membentuk bibir. Amboi: artistik sekali. Â Â
Film ini juga  tidak mengumbar kemewahan dan jelas apa pekerjaan orangtua masing-masing, militer misalnya.  Gaya pacarannya tidak mewah, seperti remaja kebanyakan.  Saya suka sekali dengan rumah-rumah dengan arsitektur peninggalan Belanda yang masih dipelihara  di Bandung.
Suasana sekolah juga wajar. Mungkin kritik yang pernah dilontarkan  adalah penghormatan pada posisi guru. Pada  Dilan 1990 diperlihatkan Dilan melawan guru dan cukup menegangkan. Tapi Dilan sudah dihukum.  Dia juga akhirnya manut pada gurunya. Terlebih pada Dilan  1991, Dilan tertunduk di ruang guru.  Tampilnya Ridwan Kamil sebagai cameo, sebagai kepala sekolah  juga menyegarkan.  Dia juga mengkritik agar guru juga jangan banyak bercanda berlebihan  di depan anak sekolah.Â
Saya kira posisi guru masih  proposional dan dihormati. Padi Baiq,  Sang Penulis  Novel  dan juga membantu sutradara Fajar  Bustomi  tentu memperhatikan hal itu.  Apalagi ceritanya juga sebagian berangkat dari kisah nyata.  Â
Beberapa bintang  baru  seperti  Maudy Koesnaedi  sebagai salah seorang tante Milea, serta Jeremy Kurnia  sebagai Yugo menyemarakan film ini.  Ada  kehadiran Sissy Priscilia kakak  Vanesha sebagai Milea dewasa juga menarik walau cameo.    Â
Dilan 1991 akan disambung dengan film Milea yang bercerita  dari sudut Dilan. Saya harap lebih  memperkuat kedua film  dan menggambarkan  dunia remaja era 1990-an menurut Padi Baiq era itu. Dua  film yang membuat saya ingin  pindah ke Bandung.
Saya menonton  film ini  di sebuah bioskop  di wilayah Depok di mana empat layarnya diborong  oleh Dilan 1991. Bahkan pertunjukan sudah dimulai pada jam 11.00. Selamat datang Dilan 1991.   Â
Irvan  Sjafari