Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Dilan 1991", Buat Baper Tetap Membumi

28 Februari 2019   17:36 Diperbarui: 28 Februari 2019   17:37 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Adegan Dilan 1991-foto: Tabloid Nyata.

Review

Hanya ada beberapa film cinta remaja seperti itu di masa lalu  seperti film Gita Cinta dari SMA  dan  Ada Apa dengan Cinta?  Yang masing-masing menjadikan bintangnya menjadi ikon.  Kalau dulu 1970-an ada Widyawati dan Sophan Sophiaan, kemudian Rano Karno dan Yessi Gusman, diikuti Nicholas Saputra dan Dian Sastro dan kini Iqbaal Ramadhan dan Vanesha Prescilla. Kekuatan mereka sama sebetulnya: tidak mengada-ngada.  Tidak adaptasi dari film romantis Hollywood.

Bedanya?  Setting Dilan 1991  maupun Dilan  1990 bukan era milenial melainkan 1990-an, di Kota Bandung.  Belum ada ponsel, belum ada internet, mengungkapkan cinta melalui surat-suratan, berkomunikasi dengan telepon analog. 

Yang penting adalah konten bukan teknologinya. Konten yang unik ini memikat milenial. Jadilah dua film Dilan ini disukai dua generasi sekaligus, generasi saya dan generasi milenial dan mempersatukan mereka di gedung bioskop.

Yang paling penting bagi saya ketika Bandung masih menyenangkan. Dilan boleh bilang: Bandung menyenangkan ketika ada Milea.  Bagi saya Dilan 1990 dan Dilan 1991 mengingatkan Bandung menyenangkan karena masih ada ruang publik,  mal hanya ada Bandung Indah Plaza (BIP) dan seharusnya Bandung  hanya layak mempunyai berapa mal  dan bukan dipaksa menjadi pelayan orang Jakarta.

BIP digambarkan dalam film ini  begitu juga  tempat kuliner kaki lima  malam hari yang begitu romantis  suasananya ketika Dilan dan Milea kencan.  Bandung 1990-an

Saya paham betapa sulitnya sutradara dan juru  kamera menjadikan Gedung Sate seperti 1990-an. Secara fisik iya. Tapi sempat terlihat ada tenda-tenda di halaman, seperti ada acara waktu proses syuting. Tentu saja alun-alun dihindarkan jadi tempat syuting karena suasananya tidak  akan sama.

Jangan lupa transportasi Jakarta-Bandung, masing kereta api. Travel baru ada 2010-an. Dalam Dilan 1991 begitu apik dengan menghadirkan Stasiun Gambir. Juga uang Rp500 dualembar yang diperlihatkan Milea kepada Dilan  mengindikasikan sutradara begitu jeli  ke hal detail. Pada waktu itu uang  Rp500 dan Rp1000 masih berharga dan cukup untuk makan bakso.      

Keberadaan geng motor merupakan  fenomena khas Bandung yang kemudian menular ke kota lain.  Saya melihatnya mungkin berkaitan dengan keberadaan klub motor di era 1960-an atau 1970-an, mungkin saja semacam crossboy di era 1950-an  di berbagai kota di Indonesia.  

Tetapi geng motor habitatnya kuat di Bandung karena struktur jalan raya memungkinkan akses ke Lembang dan sekitarnya jadi  cepat.  Belum lagi hawanya yang sejuk  membuat Bandung menjadi tempat habitat bagi  komunitas musik, budaya dan umumnya anak muda.

Dalam sebuah adegan ibu Milea diceritakan hendak berkunjung  ke WR Supratman berkunjung ke Rumah Musik Harry Roesli. Poin berikutnya membuat film ini membumi.  Tempat nongkrong seperti Dago Tea House peninggalan zaman Belanda menambah nilai nostalgia dan Allhamdullilah tempat itu masih ada.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun