Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Ma Petite Histoire" (10) Catatan Perjalanan di Tanjung Lesung 2-3 April 2006

25 Desember 2018   22:23 Diperbarui: 25 Desember 2018   22:42 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis bersama seorang staf Tanjung Lesung-Foto;Aldrian Fahwi.

Selain Jawa Barat, Provinsi Banten adalah wilayah berikutnya yang punya ikatan emosional dengan saya (sekalipun kedua orangtua saya dari Sumatera Barat, tetapi saya sendiri tidak pernah ke sana).

Entah mengapa yang menyukai Kabupaten Serang dan Pandeglang, wilayah Kesultanan Banten masa silam, yang begitu punya pesona historis dan juga alam. Padahal saya hanya berapa kali mengunjungi kawasan Pantai Banten, hingga kota tuanya.

Bencana Tsunami di Perairan Selat Sunda mengusik hati saya, karena justru wilayah yang terdampak adalah daerah yang pernah saya singgah dan favorit saya, di antaranya Tanjung Lesung. Korban menjadi cukup besar (up date terakhir yang saya baca korban meninggal sudah di atas 400 orang) terjadi pada petaka Sabtu Malam 22 Desember itu karena pas peak season liburan dan pada malam itu orang ramai di pantai 

Pikiran Rakyat edisi 24 Desember menulis headline "Bencana Tanpa Aba-aba" memang tepat, karena ombak datang begitu mendadak. Misalnya ratusan karyawan PLN dan keluarganya sedang gathering sambil menyaksikan penampilan band Seventeen sulit untuk menghindar, tahu-tahu air menerjang dari belakang panggung. Sangat berduka untuk bencana tsunami yang menimpa Banten dan Lampung ini.

Kawasan Banten punya potensi wisata besar dan di antaranya di pantai, yang sebetulnya bisa dikembangkan ke Selatan. Saya punya beberapa catatan perjalanan ke Banten, di antaranya di Tanjung Lesung pada 2-3 April 2006 ketika menjadi jurnalis di sebuah majalah komunitas di Kelapa Gading.

Berikut petikan diary saya (tentu ada bagian yang saya edit dan sensor). Saya mengadakan reportase di sana bersama fotografer Aldrian Fahwi. Sebagian sudah dimuat di majalah Info Kelapa Gading, namun ada yang tidak. Kami berangkat pagi dari Jakarta dan tiba di Tanjung Lesung siang. 

Minggu 2 April 2006
"Good Peace! Nice Atmosphere! Well service and I Love to go back here again" demikian ditulis artis Vena Melinda di papan front office Tanjung Lesung Resort.

Belajar dari Carita, Tanjung Lesung dikelola secara integrasi sebagai sebuah kawasan wisata. Menurut cerita Samin Tedja (Marketing Manager Octagon), Carita tidak tertata dengan baik alias ceplak-ceplok.

Persoalannya setiap orang punya uang bisa bikin resort dan meniru tetangganya-satu puny kolam renng dan yang lain ingin-hampir nggak ada ruang yang berbeda. Pengunjung bebas seenaknya buang sampah.

Sementara Tanjung Lesung dikelola dengan survei lebih dulu, satu kepala, ada pantai yang ombaknya lebih besar untuk resort hotel, ada yang cocok buat main jet ski dan ada yang lebih tenang untuk olahraga layar akibat perbedaan struktur ombak karena pngaruh teluk.

Akibatnya kapal nelayan bisa berlindungdi Sailing Club Beach tempat banyak bule memarkir perahu layarnya karena ombak dari selatan pecahdi tanjung. Hal ini yang tidak dilakukan di Carita.

"Di Pantai Sailing Club tidak ada kolam renang, tetapi kalau butuh mereka bisa ke bagian resort, " ujar Samin.

Tempat untuk bagian "bule" ditata dengan konsep back to nature-tempat penginapannya tidak ada TV, kulkas, AC dan jalanmasuknya melawati hamparan padi. Penduduk (untuk sementara) dibiarkan mengelola padinya.

Pengelola Tanjung Lesung juga menawarkan paket wisata ke Krakatau , Ujung Kulon, hingga Baduy-yang semua bisa dilakukan oleh wisatawan keluarga tetapi wisatawan adventure.

"Namun yang keseluruhannya yang kita jual alam," ujar Samin.

Kekuatan Tanjung Lesung ini juga didukung rekruitmen para pencinta alam ke dalam sebuah tim. Benny Roza misalnya, sering ke Ujung Kulon dan Anak Krakatau direkrut sebagai pemandu di beah lub. Katamsi yang punya rumah di (wilayah) Baduy untuk pemandu (turis) di Baduy. 

Liputan menarik bersama Rian-yang puas bisa dapat foto-foto bagus-thanks untuk Rohman mau mengantar ke lokasi yang jauhnya hampir 4 jam perjalanan. Isterinya Rohman orang Banten yang pernah kerja di salah satu rumah makan di Carita.

Dia (Samin Tedja) memang pantas bekerjadibidang ini suka memakai land roer dan ikut offroad. Tentu Tanjung Lesung sudah dikuasainya hingga detail. Dia juga akrab dengan anak-anak yang tinggal di perkampungan sekitar Tanjung Lesung. Dia juga pernah menyelam hingga tahu struktur kedalaman pantai di sana.

Samin juga punya relasi luas dengan kalangan adventure seperti Bongkeng (Wanadri), Mapala UI dan media massa. Dia mengaku sanggup berenang 50 kali bolak-balik kolam renang tanpa henti di usia 40 tahunan ini.

Banyak orang esentrik yang dia ceritakan misalnya, ada yang naik jet ski dari Jakarta ke Tanjung Lesung atau ke Bali. Atau orang yang jet ski-nya rusak di tengah laut, terpaksa merelakan jet ski yang berharga Rp80 jutaan untuk naik jet ski temannya-karena untuk ditarik risiko sama-sama fatal. Bukan seperit menarik mobil mogok di jalan.

Samin seharusnya pulang pukul dua sore, tetapi karena harus menemani saya dan Rian, dia pulang pukul lima sore. Dia mengajak kepala sekuritinya bersama dengan land rovernya. Menarik, dia bilang para adventure itu: easy going.

Figur menarik lainnya Abdul Fatah, Asisten Manager Club Villa. Dia orang yangcocok bekerjadi pariwisata menurut saya walau dia punya prinsip yang tidak bisa ditawar.

Misalnya, ketika dia pernah bekerja dengan seorang pengusaha di sebuah resort wisata di suatu wilayah di Indonesia. Dia keluar (resign) begitu mengetahui pengusaha itu mencari sampingan yang seharusnya tidak ada hubungan dengan wisata, seperti judi. Katanya kalau makan dari bisnis judi akibatnya tidak baik bagi keluarganya.

Pandangan Abdul Fatah tentang pariwisata di Banten menarik. Banten (di antaranya Tanjung Lesung) bisa jadi Bali kedua, keindahan alam dan kesadaran orang lokal dengan budayanya. Orang Bali dengan Hindunya, mengapa Banten tidak dengan Islamnya.

Senin, 3 April 2006
Tanjung Lesung

Subuh belum tiba

Sudah bertaruh ke laut

Kudengar gondang lesung

Kulihat camar sambar selar di laut

Sembunyi badan antara Bagan dan Sero dalam perahu nelayan

Lalu matahari mengejan, di antara langit biru dan kelabu

Hujan dan panas berebut menyapa

Pancaroba telah tiba

Mana musim barat, mana utara

Hey! Ada cerita Raden jadi lutung

Main lesung di Hari Jumat

Hey ! Ada cerita Nyi Pohaci

Demi padi serah bumi

Ayo main bubu pesta lobster

Taruh terumbu karang di lubuk laut

Dengar rampak bedug sambil petik cokelat

Gondang lesung sejak subuh

Pulang laut dalam hati

Nelayan Banten Selatan
Tadinya saya enggan ke laut. Tetapi Rian ingin mengambil gambar sunrise. Abdul Fatah dan Haryanto (staf hotel) mengantar naik kapal nelayan Srijaya sampai ke Pasar lelang ikan di Citereup. Di sana lain bagaiana ikan diambil dari Bagan dan Sero (bangunan untuk menangkap ikan di laut).

Menurut Haryanto pergi dengan nelayan atraksi menarik bagi wisatawan Jakarta. Mereka bisa lihat matahari terbit, burung camar menyambar ikan di laut dengan dilemparkan dari kapal nelayan hingga singgah di Bagan dan Sero.

Bagan adalah bangunan dari kayu yang memasang jalan, dengan lampu petromaks menyala malam. Lalu tinggal diangkat paginya. Bagan biasa ditancapkan dan ada yang terapung. Sementara Sero mirip bagan, tetapi dia berupa perangkap yangsaya lihat tertangkap ikan selar, cumi, udang, serta sejumlah ikan kecil lainnya.

Ada juga perangkat Bubu untuk tangkap lobster. Ada juga Bagan untuk teri. Penghasilan nelayan sebetulnya bisa sampai Rp17 juta, sekitar sepuluh persen untuk bos yang punya kapal.

Hujan masih kerap turun di musim pancaroba. Masih banyak nelayan enggan kelaut. Ada Bagan yang saya lihat ditarik ke dermaga Citereup, Penghasilan nelayan bisa anjlok drastis. Itu kata pengurus HNSI yang ada di sana. Nelayan tidak mau diatur. Giliran senang suka seenaknyajual ikan di laut, bukan di pelelangan. Namun pahit disalahkan pengurus.

Ada juga yang melakukan pengeboman untuk ambil ikan. Namun mereka nggak sadar untungnya hanya untuk beberapa waktu. Ruginya jauh ke depan. Terumbu karang mati. Kalau bom nggak dipakai nelayan makmur, kata pengurus itu seorang Bapak umur 40 tahunan.

Atraksi di kapal nelayan yang bisa memuat 15 orang ini menurut Haryanto bagian dari Program Yayasan Pemberdayaan Banten Selatan yang dia gagas. Selain naik kapal nelayan, petani kakao (cokelat) bisa jadi obyek wisata. Penduduk diajak menanam kako di lahan 300 hekatare dan wisatawan bisa menikmatinya dengan paket outbound.

Harynto juga cerita soal bagaimana memasarkan barang kerajinan masyarakat Banten Selatan, misalnya asbak dari kayu kelapa. Dia juga berupaya agar pemuda lokal belajar pada orang-orang Yogyakarta yang lebih dulu diberdayakan.

Salah satu spot Tanjung Lesung 3 April 2006-Foto: Aldrian Fahwi.
Salah satu spot Tanjung Lesung 3 April 2006-Foto: Aldrian Fahwi.
Setelah makan siang, kami (saya dan Rian) dijemput Rohman pukul14.00. terima kasih atas keramahan Tanjung Lesung, Mampir dulu di Carita, makan ikan bakar. Cuaca cerah (untung karena jam 15.00 hingga 16.00 yang paling tidak saya suka dalam perjalanan karena darah rendah,bisa migren). Tiba di Jakarta malam.

Irvan Sjafari, Aldrian Fahwi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun