Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Musik Diskotek Menjadi Kenangan

3 Oktober 2018   16:34 Diperbarui: 3 Oktober 2018   20:12 2809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diskotek Tanamur tempo dulu-Foto:Merahputih.com.

Sepanjang ingatan, saya hanya beberapa kali menginjak lantai diskotek. Di antaranya karena berhubungan dengan teman-teman di SMA dan kampus dulu, yang lain dengan pekerjaan sebagai jurnalis. Di luar karena kawan dan tugas, saya tidak menjadikan pergi ke diskotek atau clubbing untuk menghalau stres. Saya lebih suka mendengarkan musik live di kafe, itu pun kalau penyanyinya favorit saya.

Meskipun demikian diskotek adalah suatu fenomena gaya hidup dalam perjalanan sejarah kota-kota besar di Indonesia, terutama Jakarta, Bandung dan Surabaya era 1970-an, 1980-an hingga 1990-an. 

Kangen juga dengan era itu membuat saya menghadiri Takshow bertajuk "Dentuman Musik Disko: Antara Hiburan, Budaya dan Ekonomi" yang digelar adik-adik kelas saya di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, yang notabene sebetulnya datang dari generasi milenial yang sebetulnya berada di era musik digital dan K-Pop.

Hasilnya para pembicara, mulai dari staf pengajaran Jurusan Ilmu Sejarah FIB UI Bodan Kanumuyoso, Ere Sandra Moeis Produser Kompas TV hingga jurnalis Historia Hendaru Tri Hanggono seperti hanya berdiskusi dengan tidak lebih dari sekitar lima belas persen audiens yang hadir. Kalau tidak segenerasi dengan saya dan para pembicara, peminat sejarah hiburan dan budaya. 

Hendaru menuturkan dengan gaya popular di dalam makalahnya, dengan menceritakan fenomena berdirinya Tanamur pada masa kejayaannya dengan mengutip pandangan almarhum Firman Lubis yang mengunjungi Tanamur pada 1971, serta pandangan Teguh Esha penulis "Ali Topan Anak Jalanan" yang isinya Tanamur tempat orang menikmati musik dan berjoget ajojing. Kuping pengunjung yang tidak terbiasa sampai pengang dibuatnya.

Musik disko lahir dari musik pop yang mendorong orang untuk berdansa. Hendaru menyitir rumusan Firdaus Burhan tentang musik disko sebagai musik yang tidak memerlukan orchestra besar, dirigen dan komponis ulung.

Dia hanya memerlukan seorang saja tukang sadap, yang mencopot sini, mencopot sana jerih payah komponis lain, lagu-lagu rakyat yang fungsinya seringkali sakral. Copotan ini dikawinpaksakan pada berapa jalur sound synthesizers.

Ritme dalam musik disko tidak pernah lambat,nak terus, cepat, panik dan terburu-buru. Musik disko secara sederhana sebagai musik yang mengajak orang terus menggerakan badannya dari kepala, tangan sampai kaki tanpa aturan baku dengan bebunyian yang bisa dicomot dari musik sana dan sini. Pengunjung mendengarkan musik yang diputar oleh disc jockey atau DJ.

Orde Baru dan Oil Boom

Hendaru kemudian menghubungkan antara kemunculan diskotek, tempat hiburan malam, termasuk night club dengan era Orde Baru dengan pertumbuhan ekonominya, hingga Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin yang mengeluarkan pokok-pokok pembinaan kepariwisataan pada 1969.

"Ali Sadikin melihat orang kaya di Jakarta menghabiskan uangnya untuk berwisata ke luar negeri. Kebanyakan mereka menikmati hiburan malam di Bangkok, Hongkong, Tokyo. Jakarta awalnya belum mempunyai tempat semacam itu," ungkap alumni Jurusan Sejarah FIB UI ini.

Ali mengajak para pemodal untuk membuka tempat hiburan malam. Berdirilah LCC di sekitar Lapangan Merdeka, Latin Quarter di harmoni dan Tropicana di Senayan. Malam di Jakarta tak pernah sepi dan hening lagi. Jumlah klub malam bertambah antara 1970-1973. Celah ini yang dimanfaatkan para pendiri diskotek, termasuk Tanamur.

Pembicara lain Bondan mengungkapkan bahwa musik disko sebetulnya sudah ada sebelum era Orde Baru, namun karena musik itu di era Bung Karno disbeut kontra revolusi maka tidak hidup. Pada era Orde Baru musik disko baru tumbuh.

"Musik disko dan diskotek adalah subkultur dengan basis ekonomi kelas menengah, berkaitan dengan Oil Boom pada masa itu," papar Bondan, yang seperti saya pernah mengunjungi diskotek dalam hitungan jari.

Diskotek Tempat Sosialisasi

Era Sandra Moeis pembicara ketiga mengatakan, dulu pada masa jayanya anak diskusi diberi label sebagai anak hedon.

"Saya kenal disko sejak SMP. Geng saya juga anak disko. Dulu pada 1998 ketika terjadi reformasi anak disko terbagi dua, yang ikut demo umumnya mereka yang suka nongkrong di Bengkel," kenang Ere.

 Dalam perspektif sejarah, kata Ere yang juga alumni sejarah FIB UI sejak dahulu ada yang disebut musik dansa dilakukan kalangan ningrat pada era 1940-an dan 1950-an. Begitu juga pada 1950-an hingga 1960-an musik "rock'n roll" juga musik kalangan atas hingga era musik disko pada era 1970-an dan 1980-an. "Keberadaan musik ini ada nilai melawan establishment," imbuh Ere.

Saya lebih sependapat dengan Ere. Yang saya temukan dalam penelusuran sejarah saya yang juga dimuat dalam blog Kompasiana tentang sejarah Kota Bandung menunjukan hal yang sama. Hanya saja pelaku dansa, rock'n roll pada 1950-an hingga awal 1960-an adalah kalangan mahasiswa. Umumnya berdansa hingga emnari rock n'roll adalah ajang pergaulan dan pertemanan. Umumnya berangkat satu kawanan, geng atau sejenisnya.   

Dansa dan rock n'roll mendapat resistensi dari para generasi tua sebagai sesuatu yang tidak sesuai kepribadian timur. Protes dari sesama generasi muda umumnya karena perbedaan ideologis. Dalam soal anti rock n'roll kalangan Islam, nasionalis dan kiri yang biasanya dalam politik berseteru, bisa satu suara.

Hanya saja tiga pembicara tidak menyinggung bahwa film berpengaruh mendorong musik barat merasuk ke kalangan generasi muda perkotaan.

Pada 150-an film Bill Halley, Elvis Presley mempromosi musik rock'n roll dan tidak mengherankan kalau film itu laris. Bedanya kalau 1950-an dansa dan rock'n roll digelar di ballroom hotel dan kemudian ke rumah-rumah.

Sementara film John Travolta pada era sesudahnya mempromosikan musik disko. Seingat saya John Travolta kerap disebut teman-teman saya waktu duduk di bangku SMP awal 1980-an.

Era musik disko berakhir akhir 1990-an, bukan saja berkaitan dengan era reformasi, tetapi juga perubahan zaman di era digital ini hingga demam K-Pop. Para pembicara juga menyebut musik disko hanya fenomena sebuah zaman. Tidak akan bangkit lagi.

Ada hal yang menarik dicetuskan Bondan, seperti yangs ecara tak langsung disinggung Ere berkunjung ke diskotek sebetulnya ajang untuk sosialisasi. Datang ke diskotek bukan hanya untuk ajojing tetapi juga keakraban karena waktu itu belum ada gadget. Sekarang anak milenial lebih melihat gadget untuk bersosialisasi.

Bodan juga menyinggung K-Pop sebagai strategi industri kreatif Korea by design bukan begitu saja disebarkan.

Sementara Indonesia hanya menjadi konsumen budaya dari luar.

"Kita tidak punya strategi budaya," pungkasnya. 

Irvan Sjafari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun