Artikel ini juga memberikan informasi bahwa papaya baru muncul di Pasar Minggu pada 1932. Â Artikel ini menyitir cerita Tan Kim San, ahli praktik di kebun percobaan itu menjelaskan bagaimana papaya bisa sampai di Indonesia. Ada yang menyebut papaya dibawa orang Belanda dari sebuah pulau di Lautan Pasifik, tetapi juga ada yang mengatakan dari Garut.
Menurut beberapa referensi, seperti karya S. Budhisantoso dan kawan-kawan, berjudul "Alat Penjaja Tradisional Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, terbitan Dekdikbud, 1986 menyebutkan sebelum 1920 lokasi pasar awal bukanlah di tempat yang sekarang, yaitu bersebelahan dengan terminal dan di pertigaan, melainkan di Kampung Lio, Pinggir Ciliwung.
Kegiatan pasar memang berlangsung hari Minggu, bukan saja menjual kebutuhan sehari-hari, tetapi ada permainan judi kopyok dan pangkalan ronggeng. Kegiatan pasar berlangsung sejak pukul 7 hingga 10 pagi. Sangat singkat.
Baru pada 1920 pasar dipindahkan ke dekat Stasiun Kereta Api dan berseberangan dengan terminal sekarang. Walaupun kegiatan pasar masih seperti waktu Pasar Lio, tetapi kegiatan perdagangan beras yang dikelola orang Tionghoa berlangsung setiap hari. Pada 1921 Jalan Pasar Minggu yang tadinya dari tanah diperkeras denagn batu.
Baru pada 1930 Pemerintah Hindia Belanda membangun pasar dengan lantai ubin, bertiang besi beratap seng  di lokasi yang sekarang.  Sejak  itu walaupun hari MInggu lebih ramai, kegiatan pasar sudah berlangsung setiap hari. Â
Pada 1952 penduduk Jakarta menurut Mutohar Sudiro dalam artikelnya berjudul "Keadaan Kota Djakarta dan Kemungkinan Jang Dihadapi" dalam Mimbar Indonesia, 21 November 1952 mengungkapkan  Jakarta berpenduduk sekitar 2,5 jiwa juta pada 1952.  Padahal pada 1950 penduduknya 1,5 juta jiwa dan 1940 berjumlah 681 ribu jiwa jadi ada lompatan.  Kepadatan ini menimbulkan masalah kekurangan perumahan, terutama di daerah kota.Â
Pada 1948 kekuarangan rumah mencapai 80 ribu. Â Pemecahannya adalah pembukaan kota baru Kebayoran yang waktu masih disebut sebagai kota satelit. Â Pasarminggu tidak disebut dalam artikel itu. Kemungkinan masih dianggap kawasan pinggiran tidak menarik para pendatang. Â Â Â
Kenangan Eksotis
Ketika saya masih kanak-kanak tinggal di wilayah Kebayoran kemudian pindah ke Tebet pada 1970-an awal. Â Kalau ingin piknik di akhir pekan, pilihan ayah mengajak keluarganya kalau tidak ke Bina Ria, Taman Mini, ke Kebun Binatang Ragunan. Â
Masih tergiang di kepala saya kalau naik mobil melintasi jalan yang masih banyak pohon dan agak "eksotik", kesannya seperti ke pedalaman. Â Kalau naik angkutan umum,kalau tidak bis atau oplet rasanya seperti tamasya ke dunia yang bukan Jakarta.Â
Ayah selalu menghindari  pasar dan lebih suka memotong lewat Pejaten,  mungkin wkatu itu sudah macet. Tetapi sekali-sekali lewat juga dan banyak tukang buah pikulan di pinggir jalan.  Yang paling saya suka adalah jambu biji dan rambutan.Â