Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Si Doel Tidak (Pernah) Ketinggalan Zaman

6 Agustus 2018   08:39 Diperbarui: 6 Agustus 2018   08:57 727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya harus mengakui serial televisi populer "Si Doel Anak Sekolahan" masih punya daya tarik besar bagi penonton.  Waktu dua puluh tahun tidak membuat apa yang ditawarkan serial ini usang, rerun-nya saja masih memikat-jelas lebih baik dari kebanyakan tayangan televisi Indonesia saat ini-bagi pemirsanya.

Rano Karno mungkin melakukan "test case" dengan membuat "Si Doel The Movie" untuk layar bioskop untuk mengetahui apakah  Si Doel yang jadi pop art ini masih pas di era generasi milenial ini? Setidaknya "captive market"-nya masih ada?  Kenyataannya sejak hari pertama saja tiket di sebuah bioskop di kawasan Depok sold out.

Saya sendiri baru bisa menonton pada Minggu, 5 Agustus 2018. Si Doel ditayangkan di dua layar yang dua-duanya sold out. Para penonton kebanyakan keluarga lengkap dari nenek hingga cucu bertebaran hingga ruang tunggu mirip pasar. Mereka tidak segan duduk di lantai. Praktis Si Doel melewati film Indonesia lain yang tayang bersamaan dan menggeser "Mission Imposible: Fall Out".

Oke, ceritanya sebetulnya hanya mengangkat formula dari layar kaca ke layar lebar tidak lebih. Opening scene-nya lagu soundtrack televisinya: dengan kalimat pembuka Anak Betawi Ketinggalan Zaman, Katenya.  Kemudian adegan dibuka dengan kesibukan  Doel (Rano Karno) dan Mandra mengepak koper dan barang. 

Tentunya Doel dibantu oleh Zaenab (Maudy Koesnaedi). Sementara Mak Nyak (Aminah Cendrakasih) terbaring tak berdaya lumpuh di tempat tidurnya memberikan restu kepada Doel. Kepada Doel Mak Nyak berpesan untuk tidak bertemu Sarah (Cornelia Agatha) dan Mandra tidak "malu-maluin" Doel di negeri orang.   

Doel dan Mandra berangkat ke Belanda memenuhi undangan Hans (Adam Jagwani) yang meminta Doel membawa sejumlah barang khas Betawi untuk dipamerkan di Festival Tong Tong, semacam pasar malam di Den Hag yang menyajikan pertunjukan budaya dan kuliner Indonesia khususnya dan diadakan tahunan.

Seperti biasa tingkah kocak Mandra yang heboh  membuat penonton tergelak menjadi kekuatan film ini. Celetukannya: "Naik pesawat terbang tut..tut..Si Atun tidak ikut,  Dah..dah.. Jakarta panas" hingga selfie di dalam taksi daring (online), serta kehebohan dalam pesawat dan wajah Doel yang pasrah.

Doel dan Mandra bertemu Hans dan menginap di rumahnya. Seperti yang bisa diduga Doel bertemu Sarah yang tinggal bersama anaknya yang juga bernama Abdullah (Muhammad Fahreza Anugerah) yang sudah berangkat remaja. Tentu saja ada rasa haru, kegalauan dalam hati Dul, Sarah dan juga Zaenab di Indonesia, umumnya perasaan perempuan, kalau Dul bertemu Sarah.

Rano kembali ke resep awalnya Dul dengan dua perempuan di hatinya Sarah dan Zaenab. Resep itu tidak ketinggalan zaman.  Para pemainnya tetap orisinal dan dibiarkan sesuai usianya justru menjadi kekuatan yang wajar. Selain Doel, Zaenab, Sarah,  ada Atun, Ahong (Salman Alfarizi). Pemeran  yang sudah almarhum ya, di dalam film (dan juga serial) diceritakan meninggal.  

Ditambah tokoh baru, yaitu Abdullah muda dan anak Atun dan karyo bernama Kartubi (Ahmad Zulhoir Mardia)  menawarkan adalah regenerasi secara wajar dan tetap relevan untuk generasi milenial. Itu artinya  setelah empat belas tahun "Si Doel Anak Sekolahan" lahir kembali.

Soundtracknya dari Armada dan Wizzy juga menjadikan film menjadi kekinian. Walaupun mereka mendaur ulang lagu lama, tetapi dengan aransemen terasa segar. Soundtrack itu dinyanyikan penonton ABG di bioskop sudah menjadi indikasinya.  

Kalau dari segi menjadikannya tetap pop art, saya kira berhasil.  Saya menaksir film ini mampu meraup di atas dua juta penonton.  Tetapi kalau dari segi cerita tidak banyak yang baru ditawarkan. Saya hanya seperti menonton tayangan televisi di layar bioskop.  Sinematografi tidak terlalu istimewa. Saya juga setuju dengan sebagai peresensi, film ini diselamatkan oleh akting Mandra yang luar biasa.

Tetapi bagaimana pun juga film ini tetap layak tonton. Ibarat buku film ini  menjadi bab pengantar untuk sebuah tayangan yang tidak pernah ketinggalan zaman. 

Sejak awal Si Doel berakar pada situasi sosial masyarakat Betawi di Jakarta dengan kegelisahannya menghadapi perubahan zaman dan bagaimana mereka harus bertahan dan juga potret kaum urban lainnya.

Menyaksikan "Si Doel Anak Sekolahan" ibarat menonton Jakarta era 1990-an, seperti kata almarhum Benyamin yang suaranya di awal film: Loe gue sekolahin agar tidak jadi sopir oplet dan oplet yang jadi barang antik itu sebuah simbol juga.   

Itulah keunggulan lainnya. Selamat kembali buat Si Doel.

Irvan Sjafari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun