Suatu hari dalam 1860, di atas sebuah kereta api melaju di negara bagian Amerika Serikat Kalifornia, pda sebuah gerbong penuh dengan sorak sorai manusia dari berbagai ras. Â Mereka menikmati tontonan tarung bebas antara Jamar (Ario Bayu) dengan seorang bule berbadan besar, tentunya dengan taruhan.
Pertarungan berdarah itu dimenangkan oleh Jamar, sayangnya sejumlah oknum koboi kulit putih yang memegang si bule  menuduh pertarungan itu curang.  Hasilnya terjadi baku tembak, Jamar, adiknya Suwo (Yoshi Sudarso), serta pamannya Arana (Tio  Pakusadewo) mampu menumbangkan lawan-lawannya.
Prolog "Buffalo Boys" yang menarik dengan dialog Bahasa Inggris cukup menarik dan setidaknya lewat adegan ini para sineas pendukung film ini mencoba menunjukkan bahwa mereka mampu membuat film setaraf film Hollywood.
Not Bad.Â
Adegan berpindah ke Jawa. Arana membuka jati diri kedua kakak beradik ini putra dari Sultan Hamzah yang dibunuh secara keji dan licik oleh seorang pejabat penjajah Belanda Van Trach (Reinout Bussemaker). Â Arana harus meninggalkan isterinya Seruni (Happy Salma) untuk melarikan kedua keponakannya yang masih bayi.Â
Arana merasa sudah waktunya membawa pulang kedua keponakannya untukmembuat pehitungan dengan Van Tracht dan antek-anteknya di daerah fiktif di Pulau Jawa. Â
Dalam perjalanan pulang mereka menolong seorang kakek Suroso (El Manik) Â dan cucunya yang masih gadis bernama Sri (Mikha Tambayong) dari sergapan seorang perampok tengik bernama Fakar (Alex Abbad). Â Tentu saja para perampok bertumbangan dan Fikar kehilangan sebiji matanya.
Paman dan dua keponakannya ini diizinkan bermalam di desa tempat tinggal kakek ini. Mereka berkenalan dengan kakak Sri, Kiona (Pevita Pearce) yang mahir menunggang kerbau dan menyukai kegiatan memanah.Â
Kakak beradik ini putri kepala desa setempat. Â Desa ini berada di bawah penindasan residen Van Tracht, tangan kanannya Drost (Daniel Adnan) kumpeni yang jago menembak dan seperti saya duga Fakar adalah termasuk antek kumpeni. Â Misi Arana dan kakak beradik ini kemudian bergeser dari sekadar balas dendam menjadi membebaskan desa itu dari rezim Van Tracht yang lalim.
Dari segi plot, "Buffalo Boys" sebangun dengan film koboi klasik Hollywood, Spaghetti Cowboy seperti Django (1966) di mana jagoannya menjadi pembebas sebuah kota dari cengkeraman para bandit dan kemudian kembali mengembara. Ramuan yang sebetulnya juga mirip dengan film samurai klasik Jepang 1950-an hingga 1970-an ala Zatoichi dengan lawannya para yakuza. Bedanya pistol diganti dengan samurai. Sebetulnya juga ramuan yang sama digunakan Ganes TH dalam "Si Buta dari Goa Hantu". Â Â
Mike Wiluan mampu membuatnya menjadi rasa Indonesia dengan kualitas yang tidak buruk untuk sebuah pionir. Dari segi sinematografi benar-benar menjual adegan laga, termasuk serdadu Belanda yang tumbang dari lantai dua bangunan, perkelahian dalam bar hingga baku tembak di jalan sudah tidak beda lagi.