Saya tidak terkejut ketika sutradara Hanung Bramantyo menunjuk Iqbaal Ramadhan sebagai pemeran Minke alias  RM Tirtoadisuryo dalam film "Bumi Manusia" yang akan digarapnya.  Perannya sebagai Dilan dalam "Dilan 1990" harus diakui mampu memikat penonton dari generasi milenial berbondong-bondong untuk datang ke bioskop dan hanya keajaiban yang bisa mejungkirkan  film itu dari puncak Box Office Indonesia 2018.
Hanung beralasan di antaranya, usia Minke itu antara 17 hingga 20 tahun pas dengan remaja kelahiran 28  Desember 1999 ini. Terlepas apakah mantan personel Coboy Junior ini mampu menghidupkan sosok Minke seperti Dilan masih tanda tanya dan jadi kontroversial, tetapi  setidaknya inteprestasi segmen penggemar  Pramoedya Ananta Toer dengan generasi milenial akan berbeda.
Hal ini akan serupa ketika Riri Reza menunjuk Nicholas Saputra sebagai pemeran Soe Hok Gie dalam "Gie" pada 2005, intepretasi antara mereka yang nonton karena sosok Nicholas Saputra atau karena kisah hidup Soe Hok Gie akan berbeda. Â Kenyataannya Nicholas bisa lepas dari sosok Rangga dalam Ada Apa dengan Cinta?, bahkan menyabet piala Citra. Lalu mengapa Iqbaal tidak diberikan kesempatan?
Saya juga memberikan aplaus pada Hanung Bramantyo menunjuk pendatang baru Mawar Eva de Jong sebagai pemeran tokoh Annelies dalam film tersebut.  Saya punya ekspetasi besar, setelah menyaksikan peran dara kelahiran  26 September 2001 ini dalam sinetron horor romantis "Dia Yang Tak Terlihat".  Dalam sinetron 15 episode ini Mawar  memainkan dua karakter,  Kania hantu cantik yang tewas karena ditabrak seorang pengusaha kaya, sekaligus memerankan saudara kembarnya Audy. Â
Saya kecewa dengan sinetron itu sekalipun idenya inovasi, tetapi penggarapannya banyak lubangnya. Â Boleh dibilang Mawar de Jongh yang menyelamatkan sinetron ini dari hancur total. Â Saya suka tatapan mata Kania yang dingin, menyimpan dendam, tetapi ketika jadi Audy dia berubah jadi perempuan karir cerdas dan mempunyai kepekaan sosial.
Kehadiran Mawar de Jongh akan lebih memberi rasa milenial untuk "Bumi Manusia", sekalipun penonton generasi ini tidak pernah membaca bahkan mengetahui siapa Pramudya. Â Kalau dari segi ini apa yang dilakukan Hanung Bramantyo sudah tepat. Â Film bertema berat dengan bintang yang dipaksakan diperankan oleh bintang yang pas dengan selera para "penonton kritikus", akan membuat penonton "Bumi Manusia" Â akan senasib dengan film "Biarkan Kata-kata" tentang kehidupan Wiji Thukul. Â
Sekalipun  seberapa signifikan kehadiran Iqbaal dan Mawar mendongkrak jumlah penonton masih menjadi tanda tanya?  Tetapi prediksi saya angka konservatif  adalah 500 ribu penonton akan tercapai.Â
Pemeran lain Shah Ine Febriyanti  pemeran Nyai Ontosoroh  tidak meragukan. Artis kelahiran 18 Februari 1976 sarat dengan pengalaman di dunia teater tentu pas memainkan karakter ini, apalagi dalam pengakuannya  kepada awak media, Ine memang punya hasrat memerankan tokoh ini di panggung teater.
Saya kira dengan menunjuk Ine, Hanung  berkompromi antara kepentingan pasar dan seni dalam "Bumi Manusia".Â
Kalau dari segi sinematografi, menghadirkan suasana Indonesia awal abad 20 ini, saya kira Hanung mampu. Â Tentunya dalam hal dialog, busana, bangunan, harus jeli, jangan sampai tidak sesuai zaman. Pada akhirnya saya menyambut baik pembuatan "Bumi Manusia" sebagai film yang diangkat dari novel bersejarah.
Irvan Sjafari