Walau pun enak untuk tempat menyendiri, bukan berarti perpustakaan tidak punya fungsi lain, fungsi ketiga yaitu sosialisasi. Waktu di Salemba, saya hafal kalau ke lantai tiga kebanyakan orang-orang yang terpaksa ke perpustakaan, kalau tidak tugas sekolah, ya tugas kuliah. Tetapi kalau sudah ke lantai 4, 5, 7 dan 8 itu peneliti serius. Biasanya pengunjung di lantai 4, 7, dan 8 enak diajak diskusi.Â
Kalau pengunjung lantai tiga,kebanyakan tidak baca bro, tetapi fotokopi. Kalau saya lebih suka mencatat, karena kalau fotokopi suka menunda bacanya dan bikin kamar penuh. Bagi saya fotokopi bikin orang jadi pemalas. Saya hanya fotokopi kalau waktunya terbatas dan referensi itu perlu.Â
Ketahuan tidak pernah atau jarang ke perpustakaan, ketika mencari buku saja tidak tahu caranya. Kerap saya bantu cari kata kuncinya dan kalau ada biasanya ditemukan.
Tentu saya jadi banyak kenalan di perpustakaan. Apalagi di lantai 4, 7 dan 8, biasanya sesama jurusan sejarah atau peneliti.
Sayangnya Perpustakaan Nasional di Merdeka Selatan belum berjalan sempurna. Memang ada tempat diskusi, tetapi kalau semua lantai lengkap saya kira sudah jadi "mal literasi" yang menakjubkan. Pertanyaannya apakah berani buka sampai larut malam? Kalau saya nonton berapa film luar negeri ada perpustakaan buka sampai tengah malam (mungkin 24 jam).
"Kita kekurangan tenaga buka sampai malam. Selain itu ada yang menggunakannya untuk pacaran di tangga," keluh seorang petugas. Tangga di sini untuk naik turun lantai kalau tidak menggunakan lift.
Itu juga jadi pertanyaan kedua saya berapa banyak jenis manusia spesies "homo literalicus libralicus" (istilah saya ngasal bagi orang yang suka ke perpustakaan), tidak usah di Indonesia, tetapi di Jakarta ini sehingga bisa dibuka sampai jam 21.00 misalnya?
Kalau di Bandung bertebaran perpustakaan alternatif menandakan spesies jenis ini banyak, kota yang menurut prediksi saya suatu ketika akan mengalahkan Jakarta.
Misalnya di sana ada perpustakaan Batu Api di kawasan Jatinangor, yang tidak sempat saya kunjungi. Semangat literasi di kalangan orang Bandung terbilang tinggi, sayang perpustakaan daerahnya tidak strategis dan koleksinya tidak komplit.
Bandung lebih potensial untuk mengembangkan budaya literasi,karena budaya musik kuat, kuliner kuat, wisata kuat, semua bisa dijadikan satu. Langkah Kang Emil sebagai wali kota membuat perpustakaan kecil di taman, saya kira bagus untuk menumbuhkan kultur literasi. Sangat potensial sambil baca buku, musisi indie seperti Teman Sebangku menyanyi di taman.Â
Mudah-mudahan keberadaan Perpustakaan Nasional tidak salah habitat. Saya berharap Pernas meluas fungsinya tidak saja edukasi, tetapi juga tempat rekreasi dan sosialisasi. Selamat ulang tahun ke 38 Perpustakaan Nasional. I Love You.