Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kerusuhan Rasial 10 Mei 1963, Analisa Awal

10 Mei 2018   20:52 Diperbarui: 10 Mei 2018   21:29 3585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambaran kerusuhan - Foto; irvan Sjafari Repro Pikiran Rakjat.

Berawal dari  Kampus

Jumat pagi, 10 Mei 1963  terjadi bentrokan fisik antara mahasiswa pribumi dan mahasiswa Tionghoa di kampus Institut Teknologi Bandung.   Kampus yang dipandang sebagai ikon pendidikan di kota kembang itu juga sekaligus dalam sejarah pendidikan Indonesia menjadi tempat pemicu sebuah kerusuhan yang besar.

Pikiran Rakjat edisi Sabtu, 11 Mei 1963 menceritakan bahwa  sekitar pukul 8 pagi rombongan mahasiswa dan pelajar dan didukung masyarakat bergerak dari  Kampus  ITB. 

Massa ini mulai memasuki dan merusak toko-toko dan rumah, termasuk kendaraan bermotor milik orang Tionghoa  yang berada di jalan-jalan yang dilewatinya, seperti Jalan Dago, Jalan Merdeka, Jalan Asia Afrika dan Jalan Braga.  

Setelah menimbulkan kerusakan di jalan-jalan rombongan ini membagi diri menjadi tiga kelompok. Rombongan pertama dan kedua pergi ke Jalan Banceui dan Jalan Dalem Kaum.  

Di dua tempat ini sebanyak 13 mobil dibakar.  Kemudian rombongan yang melalui Jalan Alketeri, Jalan Banceui dan Jalan Suniaraja melanjutkan perjalanan ke Gubernuran sambil merusak toko-toko serta membakar beberapa buah mobil.

Rombongan lain ke Jalan Raya Barat bergerak ke Jalan Klenteng, Jalan Kebon Jati, Stasiun dan Pasirkaliki, Ksatriaan,  terus ke Jalan Padjadjaran, Jalan Purnawarman,  Jalan Riau dan Jalan Trunodojojo, Jalan Tirtayasa, Gempol, Dipati Ukur dan Universitas Padjadjaran.

Sementara rombongan dari Dalem Kaum bergerak ke Balonggede, Jalan Oto Iskandar Di Nata, Kalipa, Apo dan terus ke Tegallega.  Kelompok ini berhenti jam 14.00, tetapi pada pukul 15.00 muncul lagi di Jalan Suniaraja melakukan pelemparan dan perusakan pada toko-toko di Jalan Banceui dan Jalan Naripan.

Gerakan massa juga terjadi di Karang Setra dan Jalan Setiabudhi. Di dua tempat itu terjadi pembakaran terhadap mobil-mobil yang dianggap milik orang Tionghoa.

Di Jalan Dago jatuh dua orang korban, ketika petugas melepaskan tembakan peringatan hingga mengenai kawat listrik hingga putus dan mengenai massa. Akibatnya dua orang dari massa tewas terkena sengatan listrik.

Pada pukul 15.00 keadaan mulai tenang ketika Batalion Kujang II dikerahkan melakukan pengamanan.  Tentara didukung Brigade Mobil dan satuan perintis. Gubernur Jawa Barat Mashuri mengumumkan perlakuan jam malam, mulai pukul 21:00-06.00 pagi keesokan harinya 11 Mei 1963. Gubernur meminta orang Tionghoa tetap tenang dan meminta maaf kepada mereka yang menjadi korban.  

Hampir seluruh toko tutup dan seluruh bioskop tidak mengadakan pertunjukkan. Tempat praktek dokter dan apotik banyak yang tutup.  Hanya dua apotik yang buka, yaitu di Jalan Raya Timur dan Jalan Cibeunying.  

Imbas kerusuhan , sejak sore pengangkutan menjadi sulit, karena bemo, oplet dan becak kebanyakan milik orang Tionghoa. Para pengemudi dan penumpang mobil mendadak memakai peci dengan harapan tidak dirusak demonstran.  Toko-toko sejak hari itu banyak memakai plakat milik "Indonesia" dan memasang bendera Merah Putih.

Pikiran Rakjat Bandung pada edisi 13 Mei 1963  ini memuat pernyataan Wakil Perdana Menteri dan Menteri Penerangan Roeslan Abdul Gani  menyeruhkan kepada seluruh mahasiswa Indonesia baik yang ada di pusat maupun di daerah  agar iktu menjaga kerusuhan Jumat 10 Mei 1963 tidak terulang lagi. 

Dia menghargai pernyataan Majelis Mahasiswa Komisariat Jawa Barat untuk ikut menjaga ketertiban dan berpegang pada Panca Dharma Bakti Mahasiswa Indonesia.

Kepala Asisten Kodam Siliwangi Kolonel Ishak Djuarsa mengeluarkan pernyataan jika tata tertib sipil terganggu, maka TNI tidak akan tinggal diam, sekalipun UUKB sudah dicabut. 

Setiap anggota TNI adalah pejuang  harus membawakan kewibawaan pribadinya untuk membawa masyarakat ke arah keamanan dan pergaulan kepada semua lapisan golongan.  TNI juga harus terlibat mengatasi kepincangan ekonomi sosial yang masih ada agar dapat dibangun masyarakat sosialis Indonesa.

Gubernur Jawa Barat Kolonel Mashuri meminta pabrik-pabrik, toko-toko, perusahaan penagkutan  segera kembali dibukadan beroperasi mulai Senin 13 Mei 1963. Aparatur pemerintahan berupaya mengembalikan ketenangan dan ketertiban.  Mashuri juga meminta keamanan mengawasi pelaksanaan seruan ini.  

Kerugian

Pikiran Rakyat, Senin 13 Mei 1963 juga melaporkan bahwa sekitar 500 toko dan rumah mengalami kerusakan. Selain 65  buah mobil, 54 sepeda motor, 5 mesin jahit dan sejumlah barang elektronik, seperti radio, televisi, lemari es dibakar atau rusak.  Sampai Minggu 12 Mei masih ada reruntuhan kendaraan yang belum terangkut dari tempat kejadian.

Di antara mobil-mobil yang terbakar terdapat tiga buah Mercedes, sebuah Impala dan tujuh buah Fiat, pada masa itu tergolong mobil mewah.  Di antara sepeda motor yang menjadi rongsokan tergolong mahal seperti Suzuki, Honda, Vespa dan BMW.

Putusnya kawat listrik akibat kerusuhan menewaskan seorang mahasiswa bernama Andy Simatupang dan seorang pelajar SMP PGRI bernama Anda Supriatna yang masih berusia 14 tahun.  Kedua jenazah telah dikebumikan.

Kerusuhan Menjalar ke Sumedang, Bogor dan Sukabumi

Kerusuhan juga terjadi di Sumedang pada 11 Mei 1963, bahkan tidak diduga sama sekali. Sejumlah orang yang diduga mahasiswa dan pelajar menyerang  dan merusak 20 toko milik orang Tionghoa dan WNI. Mereka datang dari luar kota dengan memakai kendaraan dan mampir di sebuah SLTA untuk mengajak para pelajar di Sumedang untuk ikut melakukan penyerangan.  Beberapa pelajar Sumedang kedapatan ikut terlibat dalam penyerangan.

Kerusuhan di Sumedang terjadi justru ketika Bupati Sumedang mengadakan rapat dengan Kepala Sekolah SLTP dan SLTA di Sumedang dengan wakil-wakil dari golongan Tionghoa untuk membahas kerusuhan di Bandung.  Mereka membicarakan pencegahan, namun  baru saja selesai rapat kerusuhan sudah meletus.

Sejumlah mahasiswa dan pelajar yang ditahan masih mengalami pemeriksaan hingga Senin 1963 tidak diketahui berapa persisnya.  Namun di antara yang tertangkap terdapat pelajar tanggung atau masih di bawah umur. 

Selain di Bandung, kerusuhan rasial ini meletus di Bogor pada 15 Mei 1963. Peristiwa ini bermula pada perkelahian antara pelajar pribumi dan pemuda Tionghoa juga dilatarbelakang kesenjangan sosial antara pribumi dan Tionghoa. Peristiwa itu bermula dari terbunuhnya seorang pelajar SMPN Bogor dari Sukaraja, Sukabumi bernama Ahmad Tajuddin yang meninggal akibat ditikam seorang pemuda Tionghoa.

Reaksi keras terjadi dipelopori para pelajar dengan melakukan perusakan terhadap harta benda milik orang Tionghoa di Bogor.

Kerusuhan menjalar ke Sukabumi ketika jenazah Amad Tajuddin di bawah ke rumah orangtuanya di Sukaraja.  Prosesi pemakaman diiringi oleh ratusan pelajar SMPN Bogor yang tak henti-hentinya memberitahu masyarakat bahwa Tajuddin dibunuh orang Tionghoa, melalui pengeras suara. 

Jenazah dibawa keliling Kota Sukabumi meneriakaan kata-kata rasialis. Pucaknya, pidato anggota DPRD-GR Kabupaten Sukabumi bernama Dedi Iskandar menyulut emosi massa.  Dedi menyinggung pembunuhan Tajuddin

Sabtu 18 Mei 1963 para pemuda dan pelajar dari Sukaraja mempelopori aksi perusakan rumah-rumah, toko-toko dan membakar kendataan milik orang Tionghoa di Sukabumi.  Aksi itu mereda menjelang senja ketika polisi dan tentara masuk dari lima penjuru kota, Sukaraja, Cisaat, Baros, Jalan Pelabuhan dan Jalan Salabintana.

Tetapi pada 19 Mei 1963 gerakan massa rakyat pribumi lebih besar walau kota sudah dijaga.  Cukup menajdi tanda tanya aparat keamanan membiarkan massa rakyat masuk asalkan jangan lewat di depan mereka.  Kerusakan hari kedua lebih besar, truk, bis, becak milik orang Tionghoa dibakar dan dimusnahkan.  

Kerusakan menjalar ke tempat abu persembahyangan penganut Kong Hu Chu yang dianggap sebagai pusaka orang Tionghoa yang selalu dipuja dan membuat mereka kaya.

Sekitar tengah hari Pasar Sukabumi dan toko-toko serta rumah-rumah milik orang Tionghoamusnah dibakar massa. Rasa kebencian semakin memuncak ketika ditemykan timbunan barang-barang keperluan hidup seperti teksti,  gula pasir,minyak tanah dan beras di rumah-rumah orang Tionghoa.  Barang-barang itu dibutuhkan  masyarakat dan waktu itu harganya sangat tinggi.

Presiden soekarno menyatakan gerakan rasialis itu merupakan gerkan kontarevolusi  dan emnuduh bahwa di belakang kerusuhan itu partai-partai politik yang sudah dilarang seperti Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia.  Akhir Juli 1963 Dedi Iskandar divonis enam bulan penjara.

Gambaran kerusuhan - Foto; irvan Sjafari Repro Pikiran Rakjat.
Gambaran kerusuhan - Foto; irvan Sjafari Repro Pikiran Rakjat.
Kesenjangan Sosial di Kalangan Kaum Terpelajar

Sejumlah literatur menyebutkan bahwa latar belakang kerusuhan 10 Mei 1963 akibat dikuasainya perekonomiaan oleh orang Tionghoa baik di kota-kota mapun di desa.  Pada pertengahan tahun 1960 hampir 75% toko-toko tingkat grosir dan agen di Jawa Barat dikuasai orang Tionghoa dan sampai 1963 hanya 15% yang  dikuasai pribumi (Lubis, 2003:316).

Kesenjangan kehidupan ekonomi antara orang pribumi dan orang Tionghoa  juga terjadi di sektor pendidikan.  Kesulitan keuangan selama masa Demokrasi Terpimpin dirasakan oleh sekolah-sekolah negeri.  Kekurangan guru, ruangan dan ala-alat mengajar dirasakan sekolah negeri yang mayoritasnya pribumi. 

Sementara anak-anak Tionghoa karena ekonomi lebih baik belajar di sekolah swasta yang prasarana relatif baik hingga menimbulkan kesenjangan mutu pendidikan. 

Kesenjangan sosial terlihat dari fasilitas yang dimiiliki untuk berangkat ke sekolah, anak-anak Tionghoa menggunakan  kendaraan sepeda motor maupun mobil. Sementara anak-anak pribumi umumnya berjalan kaki.  Menurut sumber dari mahasiswa ITB yang kuliah pada masa itu, perilaku mahasiswa keturunan di dalam kampus seperti "booking" tempat duduk di depan kelas.

Kecemburuan ini sepertinya tidak terbaca oleh Pemerintah Soekarno yang terkonsentrasi dengan masalah Pembebasan Irian Barat hingga anti imprealismenya.  Pada Mei 1963 kebetulan ada bencana meletusnya Gunung Agung. Sementara penentu kebijakan ekonomi stagnan dengan Deklarasi Ekonominya. 

Prolog peristiwa Bandung sebetulnya sudah dimulai pada peristiwa Kerusuhan Cirebon pada 28 Maret 1963.

Ceritanya pada 26 Agustus 1962 terjadi kecelakaan lalulintas antara seorang pelajar SMAN Cirebon bernama khriswanto mengendarai mobik bak terbuka menabrak sebuah sepeda motor yang dikendarai dua pemuda Tionghoa Tan Gie Tjang dan Lie Oey.  Dalam kecelakaan itu Gie Tjang tewas dan Oey Sie luka berat.  Tidak ada masalah awalnya.

Namun pada sidang Pengadilan di Cirebon pada 27 Maret 1963 pernyataan hakim The Yoan Goang, SH dianggap para pelajar menghina seorang guru sekolah pribumi menjadi saksi.  Hal ini mengundang kemarahan para pelajar dan sidang terpaksa ditangguhkan.

Namun sehabis sidang terjadi perkelahian massal antara sekelompok pemuda Tionghoa dengan pemuda pelajar pribumi.  Seperti bola salju membesar dengan kemarahan massa merusak rumah dan toko milik orang Tionghoa di Cirebon. Kerusuhan baru bisa dipadamkan setelah berlangsung dua hari oleh aparat keamanan.

Sebetulnya bukan hanya Jawa barat yang mengalami kerusuhan. Pada 6 Mei 1963 pecah kerusuhan di Tegal yang menyebabkan 177 buah sepeda motor dan mobil dibakar.  Kerusuhan menjalar ke Slawi, Banjaran dan Pagongan.  

Berbeda dengan di Jawa Barat kerusuhan di Tegal tidak dipelopori oleh pelajar tetapi benar-benar gerakan rakyat jelata, mulanya hanya ditujukan kepada para pedagang Tionghoa, tetapi kemudian juga ditujukan  kepada mereka yang semua dianggap orang kaya.  Lumbung padi dibakar hingga penyimpnan amunisi milik tentara juga diserbu.

Pola kerusuhan 6 Mei 1963 mendekati revolusi sosial Tiga Daerah pada awal kemerdekaan. Namun tidak sampai ke sana tentara bertindak keras dengan menembak massa yang tak terkendali. Sebanyak 4 orang tewas dan 25 luka-luka.

Rosihan Anwar (1980: 362) dalam bukunya juga mengungkapkan bahwa di Universitas Diponegoro Semarang pernah terjadi bentrokan antara mahasiswa penunggang sepeda dengan penunggang sepeda motor dan sepeda kumbang.  Pada suatu ketika sepeda motor milik orang Tionghoa itu dirusak.  Rosihan melihat bahwa rakyat yang sulitnya hidupnya gampang diajak untuk ikut serta dalam kerusuhan anti Tionghoa.

Keresahan di Kalangan Mahasiswa  Bandung

Kesenjangan antara mahasiswa pribumi dan mahasiswa keturunan Tionghoa di ITB  menimbulkan ketegangan yang sudah berlangsung lama.  Mahasiswa Tionghoa dipandang selalu berkelompok dan memisahkan diri, serta memamerkan keunggulan materi secara menyolok.

Seperti yang pernah saya ulas dalam beberapa tulisan sebelumnya, sejumlah perguruan tinggi berdiri di Bandung pada era 1950-an, mulai dari IKIP (1954), Universitas Padjadjaran (1957), Universitas Parahyangan (1957), diikuti Universitas Pasundan, Universitas Islam Bandung,  melengkapi Sekolah Tinggi Telkom (STT), Sekolah Tinggi Pariwisata. Semua perguruan tinggi negeri dan swasta yang didirikan pada era kini menjadi perguruan tinggi yang terkemuka.

Munculnya perguruan tinggi menimbulkan suatu golongan sosial baru gelombang kedua yang saya namakan "neo menak".  Jumlah mahasiswa pada waktu itu untuk ITB sekitar 4000 hingga 5000 setiap kali diumumkan dalam kegiatan Dies Natalis. Jumlah mahsiswa Universitas Padjadjaran sekitar itu. Belum lagi jumlah universitas lain juga ribuan.

Saya prediksi jumlah mahasiswa di Bandung pada 1960-an  antara 15 -20 ribu atau 2 persen dari populasi kota Bandung  pada waktu itu sekitar 800 ribu jiwa.  Sehingga  Kota Bandung menjadi kota pendidikan.  Para mahasiswa pribumi ini rata-rata berada dalam tingkat ekonomi menengah ke bawah melihat gaya hidup mahasiswa Tionghoa berbeda dengan para pribumi.

Ulf Sundahaussen menyebutkan sel-sel PSI bawah anti Soekarno mengadakan kontak erat dengan mahasiswa Bandung terutama Gemsos (Gerakan Mahasiswa Sosialis) dan beberapa tokoh mahasiswa Muslim,  Katanya dalam bukunya sebelum kerusuhan itu sejumlah perwira Siliwangi kerap mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh mahasiswa.

Memang Pangdam Siliwangi Ibrahim Adjie waktu kerusuhan sedang berada di luar kota, tetapi beberapa perwira Siliwangi seperti Kosasih sudah lama mempunyai kecenderungan anti pada ekspansif ekonomi Tionghoa (Sundahaussen, 1986:313). 

Dalam catatan saya praktik spekulasi kebutuhan bahan pokok, ijon,  diidentikan dilakukan orang-orang Tionghoa.  Sekalipun rasanya tidak adil kalau menuding semua orang Tionghoa yang bergerak di bidang perdagangan berlaku curang.  

Persoalannya, ekonomi warga kota sejak akhir 1950-an hingga awal 1960-an dalam kesulitan.   Warga Bandung beberapa kali dihadapkan dengan menghilangnya gula, beras, minyak tanah, serta bahan pokok lainnya.   

Selain faktor ekonomi dan keresehan di kalangan mahasiswa, sulit disangkal faktor politik juga beperan dalam kerusuhan itu.  Para perwira Siliwangi, kata Sundahaussen menyembunyikan tokoh-tokoh mahasiswa di rumah mereka untuk menghindari penangkapan polisi pada minggu-minggu berikutnya setelah kerusuhan. 

Apa yang diungkapkan Sundahaussen merupakan keniscayaan, sejumlah literatur sejarah menyebut, pada era 1960-an   Angkatan Darat adalah lawan dari  PKI.   Setelah kerusuhan 10 Mei 1963, PKI  dan organisasi mahasiswanya mengecam huru-hara itu.  Jadi Angkatan Darat mempunyai kepentingan untuk melindungi tokoh-tokoh mahasiswa.

Kerusuhan Mei 1963 menurut saya sebetulnya adalah kerusuhan rasial yang paling gawat dalam sejarah Republik Indonesia karena melibatkan golongan pelajar dan mahasiswa yang harusnya lebih toleran dan kepala dingin, mengedepankan dialog.   Kalangan terpelajar ini bahkan ikut dalam pengerusakan merupakan ciri khas kerusuhan ini, sementara rakyat jelata mengikuti. 

Pada waktu itu belum ada media sosial dan akses terhadap media cetak juga terbatas, tetapi skala luas cakupan wilayah kerusuhan  tergolong besar. Apalagi  hanya terjadi  dalam waktu sekitar dua minggu.

Irvan Sjafari

Sumber Primer:

Pikiran Rakjat, 11, 13 Mei 1963

Sumber Buku:

Anwar, H. Rosihan, Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961-1965, Jakarta: Sinar Harpan, 1980.

Ekadjatie, Edie S, Sejarah Kota Bandung 1945-1979, Jakarta: Dedikbud, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradidisonal Proyek Inventarisndan Dokumentasi Sejarah, 1985

Lubis, Nina Herlina,  Sejarah Tatar Sunda 2, Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjara, 2003

Sundahaussen, Ulf, Politik Militer Indonesia 1945-1967, Jakarta: LP3ES, 1986

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun