Suatu hari pada 22 Desember 1999, saya mencatat lokasinya di Jalan Setia Budi Barat/20. Seorang anak perempuan usia sekitar sembilan tahun, masih memakai seragam Sekolah Dasar memanjat pohon. Teman-teman menyemangatinya. Â Anak perempuan itu memberi makan anak-anak burung di sarangnya. Â Kemudian turun lagi.
Anak perempuan itu adalah Sherina. Â Hari itu adalah salah satu syuting terakhir film Petualangan Sherina, saya beruntung dapat melihat langsung bagaimana pengambilan gambar film yang diproduseri oleh Mira Lesmana dan disutradarai oleh Riri Riza. Waktu itu saya bekerja untuk sebuah majalah hiburan.
Pengambilan gambar adegan di Lembang sudah selesai. Padahal pengambilan gambar terakhir itu justru adegan awal film.
Menurut Mira pada waktu itu film ini bukan hanya sekadar film musikal yang mendompleng kepopuleran Sherina, tetapi juga mengajarkan hal-hal yang edukasi. "Mengajak anak untuk peduli tanpa harus mengatakan: Cintailah lingkungan hidup," ucap Mira waktu itu.
Tidak ada ekspetasi bahwa film itu bakal laris di pasaran. Â Tahun 1990-an adalah tahun muram bagi film Indonesia. Â Film karya anak negeri yang ada di layar lebar didominasi film esek-esek. Â Pemilik ruah produksi besar lebih suka di sinetron yang sudah menjadi industri.
                                           ***
Pada 23 Juni 2000, ketika Petualangan Sherina tayang di bioskop, saya menonton di Plaza Senayan. Lagi-lagi saya beruntung mendapatkan kursi, karena full box.  Masih tergiang di telinga saya suara anak-anak merengek pada ibunya, "Nonton Sherina, Mama!"
Petualangan Sherina menggusur Dinosaurus bahkan Mission Imposible 2. Â Saya menulis di diary waktu ternyata film Indonesia-asal tahu selanya- mendapatkan pasar di kelas menengah atas. Menurut Berita Buana hari itu dalam dua hari penayangannya, Petualangan Sherina meraup 72 ribu penonton.
Saya menelepon Mira, tetapi yang angkat suaminya, Mathias Mucus. Dia juga terkejut bahwa Dinosaurus ditundukkan oleh Sherina.
Ceritanya sederhana, Sherina harus mengikuti keluarganya pindah ke Bandung. Ayah Sherina, Darmawan (Mathias Mucus) adalah insinyur pertanian. Dia juga harus pindah sekolah. Di sekolah yang baru ia berhadapan dengan Saddam (Derby Romero), anak nakal yang suka menjahili teman-temannya termasuk dia.
Saddam ternyata anak Ardiwilaga (almarhum Didi Petet) kawan ayahnya Sherina, pemilik sebuah perkebunan besar di Lembang. Â Masalahnya lahan itu ditaksir oleh seorang konglomerat yang berambisi membuat proyek Pasundan Millenium Valley.Â
Sayangnya Ardiwilaga tidak mau menjual lahan yang turun-temurun dikelola keluarganya, Sang Kongolerat menghalalkan segala cara, termasuk menculik Saddam untuk mewujudkan keinginannya. Sherina yang digambarkan cerdik dan pemberani menggagalkan upaya itu.
Film musikal ini sebetulnya mengingatkan pada Home Alone, di mana ada kawanan penjahat komikal dan dikalahkan anak-anak. Â Hanya saja unsur edukasinya jauh lebih kuat. Keserakahan konglomerat mengingatan pada masalah rusaknya ekosistem di Kawasan Bandung Utara (KBU) yang jadi isu besar hingga sekarang.Â
Ada adegan ketika Sherina setelah berhasil "membebaskan" Saddam, tidak mau roknya dicuci oleh pembantu ibunya. Dia meminta Saddam mencuci rok seragamnya yang ternoda permen karet karena ulah Saddam.
Adegan itu mengajarkan anak untuk bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya. Adegan yang paling saya suka, ekspresi dan mimik Sherina ketika menyodorkan rok itu santai, tetapi serius dan Saddam terdiam dibuatnya.
Adegan lain Saddam merah mukanya ketika disebutnya keluarganya Yayang, Sherina berteriak spontan,"Yayang!". Gengsi Saddam langsung runtuh. Â Anak laki-laki pantang dicibir anak perempuan.
Petualangan di Bosscha , ketika Sherina dan Saddam dikejar kawanan penjahat, juga sarat unsur pendidikan mengajarkan anak-anak pengetahuan astronomi. Tentunya juga soal lingkungan hidup di adegan awal, menyayangi binatang.
                                           ***
Ceritanya tentang petualangan anak kota ke desa dan juga berhadapan dengan kawanan penjahat di Gunung Lawu. Â Begitu juga dengan film anak-anak yang paling anyar Iqro: Petualangan Meraih Bintangdan Naura dan Genk Juara-nya. Â Profil penjahat tidak jauh beda komikal.
Dari segi penonton tidak melewati Petualangan Sherina menembus satu juta penonton. Kesan saya hampir tidak ada inovasi baru dari tema cerita. Â Walaupun ada, seperti Jembatan Pensil tetapi terasa terlalu berat bagi anak-anak kota yang menjadi penonton utama bioskop.
Laskar Pelangi mungkin satu-satunya terobosan yang berhasil, kalau film itu dimaksudkan sebagai film anak-anak. Tetapi saya menafsirkannya sebagai film memori Andre Hirata, si penulis novel (yang diadaptasi jadi film) tentang masa kecilnya di Belitung. Â Bahwa orangtua mengajak anak-anak menonton iya. Saya dengar ucapan seorang Bapak, "Ingin tahu alam Belitung seperti apa?"
Produsernya sama: Mira Lesmana. Laskar Pelangi bukan saja sarat nilai tentang anak-anak miskin yang harus berjuang mendapatkan pendidikan. Tiba-tiba saja Ibu Muslimah guru di SD Muhamadyah yang menjadi latar film itu populer hingga ke tingkat nasional. Laskar Pelangi menjadi legenda, seperti Petualangan Sherina.
Petualangan Sherina tidak berhenti sampai di situ. Beberapa waktu yang lalu drama musikalnya dihidupkan kembali dengan pelaku yang lain. Drama musikal itu digelar di Taman Ismail Marzuki. Â Itu artinya cerita dan lagu-lagunya tidak lekang di makan zaman.
Lagu-lagunya "Dia Pikir", lirik dan nadanya masih tergiang di telinga saja, Dia pikir, dia yang paling hebat, merasa paling jago dan paling dahsyat. Lagunya enak dan koreografernya dalam filmnya juga ciamik.
Petualangan Sherina menjadi "pop art", "pop culture", Â termasuk apa yang melekat di dalam film itu seperti permen berwarna-warni Piwi, jam kuning merek Baby-G, hingga mengenalkan kembali tempat peneropongan bintang Bosscha. Â Begitu juga potongan rambut Saddam. Apa yang dilakukan Sherina dan Saddam dicontoh anak Indonesia pada masa itu. Â
Apa yang bisa diambil dari Petualangan Sherina? Sineas harus cerdik mengamati perubahan zaman, tren yang diinginkan anak-anak sekarang apa. Mereka suka jajan apa, gaya pakaian seperti apa. Pop art bukan hanya milik remaja, tetapi juga anak-anak, karena adanya televisi dan sekarang gawai. Dari pada anak-anak mencontoh yang tidak sesuai dengan usia mereka, Â sineas film dengan inovasinya bisa membentuk pop culture atau pop art yang positif dan sesuai dengan usia anak dan kepribadian Indonesia.
Yang tidak mudah membuat cerita dan menyelipkan nilai edukasi tanpa menggurui. Sampai saat ini tidak ada terobosan lain. Film anak Indonesia memang miskin inovasi.
Irvan Syafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H