Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bandung 1961, Vonis Sukanda Bratamanggala, Surutnya DI/TII

15 Maret 2018   15:05 Diperbarui: 15 Maret 2018   18:51 1907
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu peristiwa hukum (sebetulnya politik) yang menjadi sorotan media  di Bandung antara Januari hingga April 1961 ialah  pengadilan bekas Kolonel Sukanda Bratamanggala di muka Mahkamah Angkatan Darat dalam keadaan perang Jawa dan Madura.

Sukanda Bratamanggala adalah tokoh Perang Kemerdekaan di Front Bandung Utara.

Dalam sidang pada Senin 30 Januari 1961, Oditur Makamah Militer menuduh Sukanda adalah orang yang memberikan komando untuk melakuka penyerbuan terhadap Pusat Pendidikan Kavaleri pada 1960. Sukada dituding mengadakan permufakatan dalam melakukan kejahatan dalam hal pemberontakan, perampasan kemerdekaan Presiden RI dan penggulingan Pemerintah RI.

Sukanda juga dituduh menggabungkan diri dengan pemberontakan DI dan PRRI yang sedang mengangkat senjata terhadap Pemerintah RI.  Dengan mengadakan huru hara dan pemberontakan merugikan pemerintah dan menguntungkan PRRI dan DI.

Namun Sukanda menyangkal memberikan komando penyerbuan. Dia hanya menggerakan usaha untuk mencapai keselamatan nasional. Usaha yang ia lakukan tidak dengan jalan kekerasan. Dalam sidang Sukanda mengakui bahwa ia mengirim surat kepada Simbolon, Ventje Samual dan Sanusi Parta. 

Pengiriman surat itu merupakan langkah pendekatan untuk mengajak mereka kembali ke pangkuan RI dan bukan membantu mereka.  Menurut Sukanda sejak timbulnya bentrokan, yang menderita hanya rakyat..

Sidang dipimpin Ketua Makamah Letkol CK.H, R. Sukana didampingi dua hakim anggota Mayor Infantri Dodo Djuharman dan Kapten CHK Muchtar Harahap.  Sementara bertindak sebagai oditur adalah Mayor Drajat Prana Kusumah.

Hadir dalam sidang Staf Kodam VI Siliwangi Kolonel Dharsono, Kepala Direktorat Kehakiman Kolonel Sutojo, Kepala Pendam VI Mayor Djamil.

Sukanda mengungkapkan, usaha yang ia lakukan adalah suatu misi untuk mencapai perdamaian nasional. Dia tidak sanggup lagi melihat kemelaratan dan penderitaan di kalangan rakyat banyak.  Langkah yang ia lakukan untuk menepati janji kepada pimpinan Siliwangi untuk menyelesaikan keamanan Jawa Barat.

Pada 20 Februari 1961 Sukanda awalnya divonis seumur hidup. Sukanda membela diri bahwa perdamaian nasional tidak lama lagi menjadi realisasi. Pengadilan berlangsung alot. 

Keputusan akhir  baru diambil pada Kamis, 30  Maret 1961.  Makamah Militer Angkatan Darat menjatuhkan vonis 17 tahun penjara, potong masa tahanan. Dia juga harus membayar perkara. Disebutkan, faktor-faktor yang meringankan terdakwa:

  1. Terdakwa belum pernah dihukum
  2. Terdakwa memang memberikan keterangan berputar-putar dalam memberikan alasna, namun pada umumnya memberikan keterangan yang tidak menyulitkan pemeirksaan untuk mendapatkan kebenaran.
  3. Terdakwa sejak 1945 terus menerus mengabdi pada negara dan lingkungannya TNI. Sukanda mendapatkan 9 tanda jasa.
  4. Terdakwa menunjukkan sikap yang sopan.

Namun sidang menilai terdakwa pernah meloloskan diri dari tahanan. Hal ini memberatkan terdakwa. Terdakwa beberapa kali hadir membicarakan rencana-renacana Samuel Karundeng. Rencana itu antara lain menjalankan operasi militer seperti penyerbuan ke Jakarta, mengadakan penculikan terhadap tokoh-tokoh pemerintah, seperti Presiden RI.  Sukanda juga didakwa menggabungkan diri ke pihak musuh.

Menurunnya Kekuatan Pemberontak

Sebetulnya kekuatan pemberontak sudah jauh menurun. Pada awal Maret 1961 Letkol Laurens Saerang menyerah bersama 600 anak buahnya. Disusul dengan menyerahnya Letkol Somba bersama 25 ribu anak buahnya, membawa 8000 pucuk senjata April 1961. Menteri Keamanan Nasional KSAD AH Nasution segera  mengirim kawat ucapan selamat kepada Pangdam XIII Kolonel Sunandar.

Pada pertengahan April 1961, RRI mengumumkan kembalinya bekas Kolonel Kawilarang ke pangkuan Ibu Pertiwi.  Kawilarang merupakan tokoh yang dikenal di Jawa Barat, karena dia bekas Pangdam Siliwangi. 

Upacara kembalinya Kawilarang bersama 27 ribu anak buahnya (yang disebutnya sebagai anak-anak revolusioner), termasuk sekitar 1500 pasukan wanta Permesta   digelar pada Jumat 14 April 1961, 11 kilometer dari Kota Tomohon, yang dihadiri Wakil Menteri Keamanan Nasional/KASAD  Mayor Jenderal Ahmad Yani dan Pangdam Kodam XIII Kolonel Sunandar.

Dalam pernyan persnya Kawilarang mengatakan, dia akan membujuk tokoh Permesta tersisa Ventje Sumual untuk kembali.  Namun Kawilarang tidak mengungkapkan mengapa dia kembali ke pangkuan RI.  Hanya saja berita kembalinya Kawilarang menjadi sorotan Pikiran Rakjat edisi 15 April dan 18 April 1961.

Pada Mei 1961 bekas pimpinan DI/TII Aceh Besar Wahab Ibrahim menyatakan diri kembali ke pangkuan RI bersama 2000 anak buahnya dan persenjataannya. Pangdam Kodam I Iskandar Muda Kollonel Mohammad Jasin melihat harapan tebruka untuk menyelesaikan maslah di Aceh. Dia mengirim surat kepada Daud Bereueh yang disapanya sebagai Bapak.

Pada pertengahan Juni 1961 Panglima Operasi Gunung Bungkuk dari PRRI menyerah 1130 anak buahnya. Penyerahkan diterima Pangdam Sriwijaya Kolonel Harun Sobar. Pada pertengahan 1961 itu juga  Kolonel Ahmad Husein menyerahkan diri bersama 13.500 anak buahnya.  Reaksi masyarakat di Solok dan Padang begitu bergembira.

Pemberontakan Darul Islam Kartosuwiryo Makin Mundur

Sementara kekuatan Darul Islam di Jawa Barat juga makin berkurang. Dalam tiga bulan pertama Korem Cirebon mengumumkan, pihaknya menewaskan 32 anggota gerombolan Kartosuwiryo, merampas 21 pucuk senjatanya. Selain itu 14 orang ditawan dan 9 orang menyerah.  

Awal April 1961 tiga anggota gerombolan pengacau yang biasa bergerak di Gunung Syawal menyerahkan 5 orang anak-anak mereka kepada penduduk di Desa Pamokolan, Kecamatan Cihaurbeti, Kabupaten Ciamis.

Mereka gagal melakukan penggarongan karena dihalau pasukan TNI. Mereka meninggalan seorang perempuan dan 4 orang anak.  Pada esoknya seorang anak laki-laki lain  ditemukan di Kampung Pasajen, di Kemacatan yang sama. Pada leher anak-anak itu dikalungan sebuah surat yang meminta agar anak-anak diserahkan kepada kerabat. Surat ini berisi nama ayah dan ibu mereka.

Selama kuartal 1961 pasukan TNI di sini telah menemukan 14 anak anggota gerombolan. Penyerahan anak-anak menandakan , anggota gerombolan sudah tidak terlalu yakin akan mampu bertahan.  

Menyurutnya kekuatan gerombolan tampaknya, menyakinkan pihak Siliwangi. Awal April 1961 Pangdam Siliwangi Ibrahim Adjie  mengumumkan bahwa Jawa Barat akan menjadi Darurat Sipil paling lambat  pada akhir 1962.

 Pada 20 Mei 1961 Kodam Siliwangi merayakan ulang tahunnya yang ke 15. Ibrahim Adjie mengungkapkan, "Tujuan kita memerdekakan negara dari penjajahan bukan hendak merdeka, bukan sekadar menumpahkan darah dan menghabiskan penjajahan, yang penting melepaskan bangsa dari penindasan kemelaratan."

Nyaris bersamaan dengan itu Pasukan Batayon Garuda II kembali ke tanah air dari tugasnya di Kongo.  Mereka tiba di Bandung dengan menumpang kereta api pada 24 Mei 1961.  

Pasukan Kujang ini  mendapat sambutan meriah oleh penduduk Bandung. Mereka berkumpul di sepanjang jalan yang dilalui defile pasukan ini, seperti di Dayeuh Kolot, Braga, Jalan Asia Afrika. Lagu "Halo-halo Bandung" berkumandang dengan penuh semangat.

Irvan Sjafari

Sumber:

Pikiran Rakjat, 1 Februari 1961, 21 Februari 1961, 7 Maret 1961,  4 April 1961, 5 April 1961,  7 April 1961, 12 April 1961,  15 April 1961, 18 April 1961, 8 Mei 1961, 20 Mei 1961, 23 Mei 1961,  24 Mei 1961,

Anwar, Rosihan, Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961-1965, Jakarta: Sinar Harapan, 1980.

Purwasatria, Mohammad Ully, Peranan Sukanda Bratamanggala dan Sewaka di Bandung Utara dalam Mempertahankan Kemerdekaan 1945-1948 Skripsi Sarjana, Departemen Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial . Universitas Pendidikan Indonesia, 2015

Shundaussen, Ulf, Politik Militer Indonesia 1945-1967:  Menuju Dwi Fungsi ABRI, Jakarta: LP3ES, 1986.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun