Pada Sabtu (23/12), sinetron "Salah Asuhan" diputar perdana di sebuah stasiun televisi swasta. Cerita yang diadaptasi dari novel klasik karya Abdul Moeis ini seperti tak lekang dimakan zaman. Pada 1972 juga pernah diangkat ke layar lebar dengan bintang Dicky Zulkarnaen dan Rima Melati disesuaikan dengan kondisi masa itu.Â
Begitu juga dengan "Salah Asuhan" versi sinetron RCTI 2017-2018 (kalau berlanjut) disesuaikan dengan era Millenial. Â Bagi saya menarik, karena banyak perbedaan mendasar antara era 1920-an dengan era 2000-an.Â
Pertama, pada era 1920-an hubungan antar ras yaitu tokohnya Hanafi dengan budaya Minang atau Timur dengan Corry (Belanda) suatu hal sulit. Â
Perbedaan terlalu besar (jomplang) terutama dari gaya hidup. Â Membaca sejumlah karya Abdul Moeis mulai dari "Surapati", Â "Robert Anak Surapati" dan "Salah Asuhan" , jelas keberpihakan Moeis terhadap Indonesia secara halus.Â
Dalam "Surapati", walau sudah punya anak bernama Robert dari perempuan Belanda bernama Suzanne, Surapati memilih Raden Gusik menjadi pasangan hidupnya dan melawan VOC memang diadaptasi dari sejarah. Â Tetapi Moeis memilih menuliskannya lagi karena sikap dia.
Begitu juga dalam "Salah Asuhan", Â Moeis mengungkapkan bahwa sikap Hanafi memilih meninggalkan Rapiah dan berpaling pada Corry yang dikenalnya waktu sekolah di HBS di Batavia adalah salah. Hubungan mereka berakhir tragis dengan kematian keduanya.Â
Dia juga mengingkari balas jasa mamaknya yang membiayai dia ke HBS, menceraikan Rapiah anak mamaknya, padahal ia sudah punya anak bernama Syafei. Â Sekalipun pernikahannya dengan Rapiah karena balas jasa (dan adat).
Nah, dalam versi sinetron ini  produser, penulis skenario akan dihadapkan dengan keniscayaannya era masa kini pasangan antar ras sudah menjadi keniscayaan.Â
Berapa banyak pasangan laki-laki Indonesia dengan perempuan dari negara Eropa, Amerika, Australia, Jepang , tetap langgeng. Begitu juga sebaliknya berapa banyak perempuan Indonesia dengan pria berkebangsaan lainÂ
Bahkan banyak pasangan berbeda agama (sebetulnya saat ini di Indonesia satu-satunya masalah hubungan cinta berat yang menghambat, bukan saja antar ras tetapi juga sesama Indonesia). Â Â
Sekalipun ada masalah, yang buat gaduh adalah orang-orang sekitarnya, seperti keluarga, kerabat, handai taulan, dan mereka yang mengaku "teman-teman" dari pihak Indonesia. Â Sementara yang dari pihak yang Eropa atau Amerika kebanyakan tidak mau mengurusi hal-hal yang seperti itu.