"Seorang mahasiswa tidak punya black and white dan tidak bisa dansa ketinggalan zaman, Ayah" katanya.
Mendengar ini, isteriku sungguh-sungguh memberangsang dan marah. "Bukan untuk itu engkau kami suruh bersekolah ke Jakarta," katanya (halaman 101).
Dalam berapa tulisan saya tentang Bandung 1950-an, gaya hidup Barat ini mendapatkan reaksi namun sulit untuk dibendung lagi.Â
Euforia Pasca Kemerdekaan
Cerpen lain "Pembesar dari Kota X" memberikan gambaran lain soal perubahan 1950-an. Tokoh utamanya seorang pegawai kantor yang hanya bergaji sepuluh perak. Â Sebelum penyerahan kedaulatan 1949), sep (kepala kantor) Bangsa Belanda dan terus berlangsung selama berapa tahun, sampai muncul pejabat baru yang disebut dari Kota X.
Pejabat itu minta rumah dinas. Â Dia menolak tinggal di Kebayoran Baru yang pada waktu itu masih dianggap hutan dan terpencil. Â Pejabat itu mendapat rumah di Menteng. Setelah orang Belanda menempati rumah itu didesak keluar.
Tokoh utama adalah salah seorang dari pegawai kantor ikut membersihkan rumah itu. Â Namun pejabat itu baru mau datang setelah dia dan keluarga naik pesawat GIA. Dengan sejumlah keheranan, Â awalnya tokoh utama bangga kantor itu dipimpin oleh bangsa sendiri.
Usia atasannya itu 30 tahunan jauh dari usia yang dibayangkan tokoh utamanya 40 tahunan.  Pidato pertamanya meminta semua bawahannya kerja keras  dan ditutup dengan kata "merdeka", tegas dan semangat.  Sayangnya kepala kantor itu dengan dalih pekerjaan perlu tambah pegawai membawa orang-orangnya dari Kota X juga. Tentunya dengan gaji yang lebih besar dengan kecakapan masih dipertanyakan (halaman 68).
Cerpen itu juga ditulis pada 1954 menggambarkan euforia pasca kemerdekaan di mana penempatan orang-orang yang berjasa pada masa revolusi kerap tidak melihat kompetensi. Budaya  nepotisme sudah ada sejak 1950-an.
Dalam tulisan saya tentang sejarah Bandung 1950-an, penempatan orang-orang dari kota lain menimbulkan kecemburuan sosial karena dari latar belakang budaya yang sama bukan karena keahlian. Â Akhirnya menimbulkan gerakan kedaerahan.
Pesan dalam cerita rasanya masih relevan dengan masa sekarang. Â Â