Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

[Review] "Firegate", Bertemu Iblis di Piramida Gunung Padang

20 September 2017   20:42 Diperbarui: 21 September 2017   05:54 11827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gunung Padang artinya Negara Siang, ada pengetahuan yang tersimpan di Gunung Padang untuk akhir zaman? Atau pengetahuan itu yang menyebabkan akhir zaman? (sebuah dialog antara kuncen Gunung Padang dengan Tomo Gunadi dalam "Firegate")

Jujur saya setelah menyaksikan  "Danur",  maka film "Firegate: Gerbang Neraka" film horor Indonesia berikutnya yang saya ingin tonton, karena yakin berbeda dengan film horor Indonesia umumnya.  Hal hasil sesuai dengan ekspetasi saya tentunya juga dengan beberapa catatan.

Dari gagasan, film yang disutradarai oleh Rizal Mantovani terinspirasi dari popularitas Situs Gunung Padang di Cianjur dan Gunung Sadahurip di Garut yang mirip Piramida. Yang pertama saya pernah ke sana dan mengobrol dengan ahlinya Lutfi Yondri dari Badan  Arkeologi Bandung menjelaskan situs ini peninggalkan masyarakat yang sudah mengenal struktur sosial dan bercocok tanam dan lebih maju dari  manusia pra sejarah di Goa Pawon yang berusia 10 ribu tahun. Fungsinya sebagai tempat ritual dan karena ada ritual [1].   Arkeolog juga membantah adanya piramida pada Gunung Sadahurip sebagai bentukan alam [2]

"Firegate" menggabungkan keduanya ada situs purbakala berbentuk piramida di kawasan Cianjur yang diperkirakan lebih tua dari Piramida di Mesir dan sejarah Indonesia lebih tua dari Mesir, Cina, maupun Maya di Meksiko.  Saya setuju bahwa memang ada masih memungkinkan zaman sejarah Indonesia lebih tua dari Mulawarman dan Purnawarman (abad ke 4 atau ke 5).  

Melalui kuliah Profesor Theo Irawan (Ray Sahetapy), arkeolog (bukan main disebutkan dari Fakultas Ilmu Budaya UI, alamater saya), serta asistennya Arni Kumalasari (Jullies Estelle) bahwa Indonesia mengelami inferioritas dan tak percaya di bumi Indonesia ada peninggalan sejarah yang tua. 

Jelas film ini fiktif karena Presiden yang memerintakan penutupan Situs Piramida Gunung Padang untuk kepentingan ekskavasi (penelitian) bernama Sadam Wicaksono.  Kalau dilihat dari gambaran film ini jelas Gunung Padang karena saya tahu situasi sekitar seperti apa, tidak ada susunan batu balok dalam adegan film, kecuali di foto. 

Sineas memasukan unsur ilmiah dan saya bisa menerimanya sebagai "science fiction", genre kesukaan saya dan menggabungkannya dengan horor.  Genre ini sebetulnya juga ditawarkan Christ Carter dalam serial televisi "X-Files" dan "Millenium", mencampurkan dunia metafisika dengan dunia ilmiah.

Adegan dalam
Adegan dalam
Plot

Prolog film menarik alkisah 5000 Sebelum Masehi sebuah upacara dalam piramida berakhir bencana, karena ada kekuatan jahat (iblis). Agar ada nuansa Sunda upacara itu menggunakan kujang. Lalu cerita bergulir pada tiga tokoh.

Yang pertama Tomo Gunadi (Reza Rahadian) sebagai wartawan Tabloid Ghoib, yang kerap menggunakan jasa paranormal yang katanya bisa mengusir setan atau penunggu di suatu tempat, padahal bisnis dan uangnya dibagi dua.  Yang membuat saya agak heran, wartawan masih digambarkan sebagai sosok yang selalu menenteng kamera. Bukankah ada ponsel cerdas?

Tomo sebenarnya pernah bekerja sebagai wartawan hukum dan politik, bernama "Generasi" namun karena mengungkap kasus korupsi majalah tempatnya bekerja dibreidel. Sosok ini ada di dunia nyata, situasi politik yang "keblinger" menyebabkan jurnalis idealis bidang politik muak dan pindah ke bidang yang non politik, seperti wisata, hiburan bahkan infotainment. Toh sama saja, politik Indonesia juga kerap seperti infotainment, kaerna politisinya  mencari pencitraan dan sensasi.   

Dalam film ini Tomo digambarkan dicerai isterinya yang malu karena suaminya bekerja sebagai wartawan tabloid tidak bergengsi dan berakibat buruk bagi anaknya yang masih berusia tiga tahun.  Hanya rumahnya cukup mewah untuk ukuran jurnalis.  Bisa jadi karena Tomo mencari uang dengan cara merekayasa cerita tempat yang ada penunggunya. Dalam sebuah dialog Tomo membantah isterinya: idealisme? Kemana kamu ketika kita kelaparan? (ketika Tomo sedang menganggur).     

Tokoh Kedua Arni, arkeolog, Wakil dari Theo dalam Tim peneliti dan tidak percaya hal-hal yang klenik. Karakternya cerdas, mandiri, mempunyai keyakinan akan pengetahuan. Dalam film ini sepertinya Arni  tinggal sendiri di rumahnya. Ini yang agak mustahil dari kebiasaan orang Indonesia, setidaknya punya pembantu, kalau tidak tinggal dengan orangtuanya. 

Tokoh ketiga Guntur Samudra (Dwi Sasono), paranormal pengisi acara reality show, pandangannya kebalikan dari Arni.  Dalam film ini diceritakan bahwa reality show rekayasa, sekalipun dia percaya soal dunia supranatural.

Ketiganya mewakili apa yang diceritakan Profesor Theo dalam kuliahnya sebagai Gold (mencari kekayaan), Glory (kejayaan) dan Gospel (pengetahuan).Ketiganya punya kepentingan berbeda , Tomo hendak membuat artikel sensasional, Arni  berambisi  iktu mengungkap rahasia piramida dan Guntur ingin tahu rahasia  mahluk gaib dalam piramida terhadap Situs Piramida Gunung Padang  

Ketika terjadi kematian beruntun mulai dari Theo, seorang wartawan yang meremehkan kearifan lokal, hingga Wulan (Ratu Anandita), seorang arkeolog muda, ketiganya bekerja sama. Mereka menemukan petunjuk bahwa situs itu merupkan gerbang neraka. Ketiganya diteror oleh sesuatu yang disebut Badura dan ketiganya akhirnya kembali ke piramida untuk mencegah sesuatu keluar dari piramida itu berakibat kiamat.  Badura hanya sosok kerikil dari kekuatan jahat sebenarnya.

Plot ceritanya menarik, adegannya terjalin dengan apik, sebagian besar adegan setelah seperti adegan hingga akhir mencekam.  Ending yang ditawarkan sepertinya bisa ditebak bagi mereka yang menonton film hollywood sejenis. Yang tidak bisa ditebak ialah penampilan Sang Iblis yang diluar dugaan dan menjadi kekuatan film ini menurut saya. Untuk membuat takut tak harus berwujud mahluk jejadian, tetapi dialog dan ekspresi dari Sang Iblis.  

Sulit ditebak siapa yang selamat dan siapa yang tidak.      

Kritik

Reza Rahadian membuktikan diri mampu berakting di film horor. Dia menghidupkan Tomo yang mulai luntur kepercayaan pada Tuhan (sekalipun mirip film Barat), kehilangan idealisme.

Agama itu dijadikan alasan untuk ribut. Tuhan membiarkan ini semua.Aktual untuk kondisi sekarang.  Tetapi adegan paling menarik ketika Tomo berhadapan dengan Sang Iblis (Lukman Sardi) justru begitu menakutkan, filosofis  dan aktual untuk kondisi zaman sekarang. Dua aktor kawakan adu akting.

Jullie Estelle terlalu modis untuk arkeolog pekerja lapangan, tetapi mungkin saja ada arkeolog seperti itu akrena saya belum bertemu. Hanya saja Jullie bisa berakting ketakutan tanpa harus menjerit berlebihan ketika didatangi Badura di rumahnya, ketika keyakinan pada science runtuh.  Saya malah tertarik pada Ratu Anandita yang main sebentar jadi Wulan, arkeolog tampil agak kumal, wajahnya kusam, khas pekerja lapangan. Mantan presenter olahraga itu pas memainkan karakter ini.

Dwi Sasono lumayan jadi paranormal. Adegan dia diteror oleh mahluk gaib sungguhan dalam sebuah reality show ide yang brilian dari Rizal Mantovani.  Adegan yang seharusnya rekayasa. Sayang tokoh kuncen Gunung Padang menjadi tempelan saja, seharusnya dia bisa dieksplor untuk membumikan cerita agar tidak berasa hollywood. Padahal dialog kuncen dengan Tomo yang saya jadikan lead tulisan merupakan bagian menarik.

Ekspresi Theo, Wulan, serta wartawan Yusuf yang tewas agaknya masih terpengaruh "Ring"-nya Sadako, mukanya menunjukkan mimik menyeringai. Harusnya bisa dicari yang orisinil. Begitu juga dengan sejumlah adegan seperti terbukanya gerbang neraka, bagaimana situasi langit Jakarta masih terinspirasi Hollywood.  Begitu juga adegan dalam piramida.

Teknik sinematografi masih terasa kasar, walau sudah menggunakan CGI (Computer Generated Imagenery) bisa dimaklumi karena budget sineas kita tidak seperti Hollywood.    

Tetapi secara keseluruhan saya cukup puas menonton film ini, walaupun menunggu nyaris setahun. Selamat datang science fiction (horor, sekaligus fantasi) Indonesia.

Irvan Sjafari

sumber: 1 dan 2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun