Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Apakah Ritel Korban Berikutnya Dunia Digital?

17 September 2017   19:08 Diperbarui: 18 September 2017   13:25 3936
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (shutterstock)

Kemarin salah seorang kawan  saya di grup WhatsApp komunitas Truedee (penggemar penulis Dewi Lestari) memposting berita dari sebuah situs, intinya  Matahari sebuah grup ritel  akan menutup  gerai Pasaraya Manggarai dan Blok M pada akhir September ini. Sebelumnya grup ritel lainnya Ramayana juga dikabarkan menutup sejumlah gerainya.   

Tentu saja kabar ini mengejutkan dan mengusik rasa  ingin tahu saya.  Kemudian saya mengunduh sejumlah situs berita.  Menurut  seorang pengamat Pasar Modal, Hans Kwee, analis dari Investa Saran Mandiri,  pelaku industri ritel  saat ini mendapatkan tantangan selain dari  sesama  pemain industri ritel juga dari industri ritel online [1].

Dengan berbelanja online, konsumen lebih selektif membelanjakan uangnya, hemat dari segi waktu dan tidak mengeluarkan biaya ke pusat perbelanjaan, terutama konsumen ibu rumah tangga. Harganya juga bisa lebih ekonomis. 

Masih terlalu pagi untuk memastikan apakah bisnis ritel akan rontok menyusul media cetak karena munculnya media sosial, merosotnya penghasilan sopir taksi dan angkot karena keberadaan ojek dan taksi daring, seperti efek domino dunia digital.

Ataukah ada sebab lain seperti bisnis ritel memang lesu karena berkurangnya daya beli dengan kata lain behrubungan dengan pertumbuhan ekonomi?  Perubahan strategi manjamen bisnis retail?  masih harus ditunggu dan juga ditunggu bagaimana sikap pemerintah.  

Hanya saja kalau benar bisnis retail rontok maka  membawa efek yang lebih besar: PHK dan bertambahnya pengangguran. Ini yang saya khawatirkan.

Ketua Umum Hippindo (Himpunan Penyewa Pusat Belanjda Indonesia) Budihardjo Iduansjah menuding adanya ketidakadilan dalam hal persaingan antara toko online dan toko offline. Dia menyebutkan bahwa bisnis retail online bisa menjual lebih murah karena tidak perlu menyewa tempat di mal, tidak perlu membayar gaji karyawan, hingga pajak reklame  [2].

Ekonomi Digital

Pada sisi lain kebangkitan ekonomi digital membantu pelaku UKM yang mempunyai omzet antara Rp300 juta hingga Rp2,5 miliar per tahun, dengan karyawan hanya 1 hingga 5 orang. Menurut Chief Lembaga Riset Telematika Sharing Vision, Dimitri Mahayana selain soal  marketplace, UKM online bermitra dengan transportasi online dan aplikasi pembayaran digital [3}.

Itu sebabnya di sisi lain  keputusan Mahkamah Agung (MA) mencabut 14 poin dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak Dalam Trayek menguntungkan pelaku ekonomi UKM kerakyatan.

Menurut Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastadi  pemerintah sejak awal memang seharusnya tidak memandang persoalan transportasi daring hanya dari satu sudut pandang yakni transportasi saja.  Fithra menyebut  merchant-merchant UKM yang sebelumnya kesulitan menjangkau pasar kini menjadi terintegrasi [4].

Di sisi lain pelaku usaha UKM pakaian yang bisnisnya menggunakan sistem online tetap memerlukan tempat untuk display atau toko offline, namun tidak perlu tempat sebesar bisnis gerai besar. Misalnya sejumlah pelaku bisnis busana muslimah di Kota Bandung patungan mmebuka butik bersama yang disebut Magnetic Island di Jalan Veteran, Bandung [5]. 

Bisnis Retail besar juga menghadapi kendala lain dalam memilih tempat. Di kawasan Blok M, konsumen yang daya beli menurun bisa melirik lapak kaki lima yang juga jual pakaian, sementara untuk segmen menengah melirik butik-butik mereka branded.  Saya sendiri juga kerap berbelanja di pasar tradisional.

Keberadaan gerai ritel seperti Ramayana dan Matahari rasanya sayang kalau sampai rontok. Selain soal permasalahan tenaga kerja, bagi saya pribadi untuk momen tertentu ada asyiknya membeli satu atau dua pakaian pada momen menjelang lebaran  atau akhir tahun bersama keluarga di ritel busana. Hanya saja memang sekali-sekali bagi orang yang punya penghasilan pas-pasan.  Ada unsur leissure-nya.

Distro atau Factory Outlet

Namun memang soal tempat yang mendukung ritel seperti ini. Saya sendiri misalnya suka ke Pojok Busana karena ada di Cinere Mal yang dekat dengan tempat saya tinggal. Itu kalau mau belanja busana karena terdesak atau butuh atau momen seperti lebaran yang saya sebutkan di atas. Ruang yang digunakan mereka tidak terlalu besar dan pas untuk komunitasnya. Lagipula ada bioskop yang bukan premium di atas, Gramedia, swalayan serta food court.  Semuanya berdekatan.  

Kalau tidak ke  Aneka Busana Pondok Labu, ramai bukan main. Orang berbelanja pakaian sekaligus ke swalayan, saya seperti di Cinere Mal.  Di sana ada pedagang makanan kaki lima.  Saya yakin mereka yang berbelanja tinggal di sekitar sana atau sekali naik angkot.     

Sementara kalau ke Blok M saat ini lebih sekadar lewat kalau pulang dan pergi ke kantor bukan untuk hangout, begitu juga kalau lewat Pasarminggu sama pulang pergi ke kantor.  Yang terakhir ini tempatnya sudah sumpek, tetapi saya masih lihat ada banyak berbelanja di sana.  

Kalau ke Blok M hanya nonton bioskop yang filmnya tidak  diputar Cinere Mal atau sekali sekali makan di Ayam Berkah. Sama sekali tidak terpikir mau belanja busana di sana. Jadi rasanya Blok M bakal lokasi mejeng nyaris tinggal sejarah dan lebih diselamatkan oleh kuliner dan bioskop, bukan karena belanja busana. Itu menurut saya, entah kata orang lain.       

Kalau mau niat hangout sambil belanja-yang sekali atau dua kali setahun-saya lebih suka ke Bandung, sekalian jalan-jalan.  Soal distro, Factory Otlet  atau butik dengan harga ekonomis, jangan lupa pelaku bisnis di sana lebih jago soal variasi fesyen. Belum lagi ikatan emosional: Bandung is the best soal kreatif.  Saya sendiri sampai saat ini belum tertarik pada online untuk produk pakaian, tetapi suatu ketika akan mencoba. Tinggal tunggu waktu.

Kesemuanya ini mengarah ke kesimpulan kecil itu indah mengingatkan saya pada ekonom Jerman Schumacher. Ini bisa jadi berhubungan dengan soal keserakahan.  Pelaku UKM bisa bertahan karena mereka membatasi diri untuk tidak melebihi kemampuan atau tidak serakah.  Kini dunia digital menguntungkan mereka. Asal mereka bisa menjaga kepercayaan. Itu saja.

Irvan Sjafari

Sumber:

  1. kompas.com lihat juga ini.
  2. ekonomi kompas.com
  3. Pikiran Rakyat, 16 September 2017.
  4. tribunnewssmart bisnis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun