Pada segmen Jawa Tengah itu diceritakan lawan utama pasukan Siliwangi di bagian salah satu tokoh utamanya bernama Anwar berhadapan dengan Van Der Klot, yang diperankan dengan baik oleh Hamid Arief. Bintang ini memang pas memainkan karakter Belanda dalam trilogi Pitung, Hamid Arief pemeran Schout Hinne lawan utama Pitung.
Lewat dialog Klot, Lurah NICA dan penduduk desa terungkap bahwa kamu orang Indonesia boleh merdeka tetapi seratus tahun lagi (karena masih dianggap bodoh). Alasan Belanda sebetulnya masih ingin menjajah Indonesia karena keserakahan.Â
Ada bumbu humor diselipkan ketika seorang Indonesia melaporkan bahwa melihat pejuang dengan menyebut Van Der Klot sebagai Van Der Kolot. Tentu saja orang Klot marah: Vander Klot monyet. Dengan entengnya pelapor itu menyebut, "Ya, Van Der Kolot, Monyet."
Segmen Jawa Tengah ini berakhir dengan tewasnya kedua tokoh antagonis, Van Der Klot dan Lurah NICA itu. Secara sinematografi tentu saja ada hal yang luput misalnya kok bisa ada bir dengan merek tahun 1970-an masa itu? Kalau ada serdadu Belanda mati dengan botol minuman keras di sampingnya masih bisa diterima.
Pada segmen ini seperti dalam film perjuangan umumnya hingga sekarang. Stereotype orang bule suka minum miras kadang berlebihan, misalnya di tengah situasi yang begitu genting. Sekalipun kekejaman mereka pada orang Indonesia benar-benar seperti yang digambarkan dalam film itu. Apa yang dihadapi pasukan Siliwangi sama seperti pasukan lainnya. Misalnya menguburkan rekan mereka di tengah perjalanan jauh dari kampung halamannya membuat miris.
Film itu kemudian menjadi dua alur, yaitu di sebuah kota sebuah keluarga kaya tengah mengalami kegalauan. Istri dan dua anak perempuannya (seorang di antaranya dimainkan Grace Simon yang waktu itu pendatang baru) memihak Republik. Sang Istri, gusar karena suaminya membiarkan dua anak perempuannya diajak ke klab perwira Belanda dan dilecehkan. Akhirnya mereka melarikan diri dan bergabung ke Republik.
Sementara di medan perjuangan pasukan Siliwangi sedang gamang karena mereka menghadapi gerombolan yang juga sebangsa Indonesia tetapi tidak diketahui kawan atau lawan. Bisa jadi ada kesatuan geriliya tidak mau ikut hijrah dan menetap di Jawa Barat. Itu sebabnya mereka mau diajak berunding dan untuk itu mereka masuk perangkap.
Adegan yang paling tragis di segmen ini ialah ketika tentara Siliwangi disambut di sebuah desa dan dijamu makanan. Ternyata makanan itu beracun. Padahal tentara itu merasagembira karena baru bertemu makanan yang enak setelah berjuang.
Lewat berapa adegan alasan DI/TII karena mereka merasa ditinggalkan oleh Republik (akibat perjanjian Renville) dan mereka mengkafirkan tentara Siliwangi. Itu sesuai dengan beberapa referensi sejarah kelompok itu merasa Jawa Barat "dijual". Tragis apalagi mengingat pimpinan utama DI, Kartosuwiryo adalah sahabat Soekarno sejak kecil.
Film ini berakhir dengan gugurnya tokoh utama dalam film ini dalam baku tembak oleh bangsa sendiri. Sekalipun saya kurang puas dengan konklusi film ini yang tidak tuntas, tetapi bagi saya hingga sekarang "Mereka Kembali" adalah film yang isinya patut direnungkan.
Irvan Sjafari