Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Membaca Surat Kabar Hari Minggu Menjadi Penyejuk Hati

11 Juli 2017   11:17 Diperbarui: 11 Juli 2017   19:18 841
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompas Minggu, 9 Juli 2017 (foto: Irvan Sjafari).

Saya paling menikmati membaca surat kabar pada hari Minggu.  Bagi saya membaca koran cetak pada hari Minggu sensasinya beda kalau membaca berita surat kabar mau pun online pada week days.  Sejak kedigayaan media sosial dan media online mungkin surat kabar cetak mengalami senjakala.  

Sebetulnya tidak juga, tabloid cetak segmen tertentu tetap bertahan karena komunitas pembacanya terpelihara dan segmen itu tampaknya gadget freak untuk media online, seperti para ibu rumah tangga. Surat bakar cetak untuk daerah masih kuat karena internet juga belum merata dan berita di media online nasional tidak menyentuh "kepentingan" mereka.

Secara nasional sebetulnya ceruk yang belum dimaksimalkan ialah surat  kabar untuk hari Minggu. Saya tidak kerap membeli koran cetak pada week day, hanya sesuai keperluan.  Soalnya beritanya sudah habis dimakan media online dan televisi. Kecuali surat kabar itu punya rubrik khusus pada hari tertentu yang tidak bisa digantikan oleh media online dan televisi.

Tetapi untuk  hari Minggu setidaknya dua surat kabar pasti saya beli, yaitu Kompas Minggu dan Pikiran Rakyat Minggu. Satu surat kabar nasional dan satu lagi surat kabar daerah yang punya secara pribadi punya ikatan nasional.

Mengapa "bela-belain" membeli surat kabar cetak di hari Minggu, bahkan  dibeli keesokan ahrinya masih saya lakukan.  Apa kriteria saya sampai memilih kedua media cetak itu? 

Yang pertama dan alasan utama ialah hanya pada hari itu berita politik  dalam negeri yang kerap mengesalkan, bikin emosi dan bikin pesimis "tereleminasi". Setelah lima -bahkan sering enam hari-tidak ada istirahatnya elite politik bikin pertempuran, hari Minggu lah otak dan hati benar-benar beristirahat.

KompasMinggu edisi 9 Juli 2017 pada headline memang masih memuat  "KTT G-20 Kerja Sama Global Berantas Terorisme Disepakati", "Bom Panci Meledak di Kamar Kontrakan" dan "Tentara Filipina Tak Beri Ruang Gerak", mungkin karena tidak bisa dihindari karena isu hangat terbaru.  Tetapi perhatian saya pada berita di bawahnya "Geliat Dangdut: Kami Sadar Pembuat Dosa". 

Tulisan ini sifatnya  referensi dan bagi peminat sejarah dan budaya musik akan diklipping. Artikel ini dibaca sampai bertahun-tahun ke  depan juga masih hangat, serta lebih bebas dari beban politik kepentingan.  Dari artikel ini saya bisa tahu tentang musik dangdut yang masih eksis dan apabila dikaitkan dengan artikel sebangun pada 1970-an hingga 1990-an maka bisa ditarik benang merahnya.

Pikiran Rakyat edisi 9 Juli 2017 pada headlinenya  malah hanya membuat berita "Persib Ingin Melanjutkan Tren Positif" di luar berita gaya hidup. Langkah yang cerdik karena bobotoh pasti baca walau sudah dimakan media online. Dua lagi ialah "Jurus Tangkal "Melebar" Sesuai Libur Lebaran" dan "Olahraga Tepat Pendamping Diet".       

Kedua berita itu real terjadi pada segmen pembacanya karena makan enak selama liburan dan biasanya jarang olahraga menambah berat badan.  Narasumbernya benar-benar eksklusif dicari sendiri oleh jurnalis tidak browsing dan copy paste-- yang saya benci dari media online bila menulis berita seperti ini karena sama satu dengan yang lain.

Pikiran Rakyat edisi 9 Juli 2017 (kredit Foto: Irvan Sjafari).
Pikiran Rakyat edisi 9 Juli 2017 (kredit Foto: Irvan Sjafari).
Kekuatan lain ialah justru pada berita di bagian dalam. Kalau Kompas Minggu punya rubrik" Gaya Hidup" -- dulu Sosialita- maka Pikiran Rakyat punya "Geulis".  Dulu ketika "Sosialita" dan "Geulis" menampilkan sosok perempuan sukses-tidak hanya selebritis, tetapi juga pengusaha, profesional. Sejumlah artikel di kedua surat kabar itu saya tetap simpan walau sudah lima tahunan lalu. Apa alasannya? Karena itu memuat informasi perubahan sosial dan citra perempuan kontemporer. Saya bisa membuat tulisan di "Kompasiana" soal  pengusaha muslimah di Kota Bandung karena mengumpulkan "Geulis" (juga Kompas Minggu) selama bertahun-tahun, menyisir dan mendatanya.

Kebetulan KompasMinggu edisi 9 Juli 2017 memuat figur Dira Sugandi yang pasti saya klipping, karena dia penyanyi Bandung dan "Geulis" dalam  Pikiran Rakyat pada hari yang sama memuat sosok Yasmin Kartikasari aktivis Pustakalana, penggiat literasi terutama bagi anak-anak.  Bagi saya info ini penting karena memuat data tentang perempuan hebat di Bandung (dan Jawa Barat) untuk bisa buat tulisan lain.

Kedua surat kabar ini hampir pasti menulis soal musik dan film pada edisi Minggu di rubrik Hiburan. Kompas 9 Juli 2017 menulis soal "Spider Man: Si Galau Jadi Pahlawan Super", Pikiran Rakyat menulis "Jailangkung: Memecahkan Aneka Misteri".  Kompasmemuat "Jalan Panjang Sang Peniru Elvis", maka Pikiran Rakyat menulis "Kahitna Hanyutkan Perasaan"  namun yang paling menarik bagi saya yang keduanya "Suguhan Musik Eksotis yang Memukau" review acara rutin musik di Bandung "TP Jazz Weekend".

Sayangnya Kompas Minggu tidak menyediakan halaman khusus buat anak-anak, seperti Pikiran Rakyat yang punya  "Peer Kecil" yang menjadi nilai lebih.  Sekalipun di Kompas Minggu ada setengah halaman yang tampaknya untuk keluar.  Hanya saja Kompas Minggu punya "Panji Koming", "Timun", "Kompopilan" dan "Sukribo" yang pasti saya baca.

Artikel lain yang menjadi menu wajib ialah kuliner, fesyen (fashion), desain interior, perjalanan, komunitas.  Semua artikel di kedua surat kabar itu sifatnya referensi dan waktunya panjang. Yang menarik juga ada cerpen dan Teka Teki Silang.  Artikel-artikel pada hari Minggu memang wajib ekslusif kalau perlu jangan dimuat di versi onlinenya.    

Bahwa membaca semua artikel di kedua surat kabar edisi Minggu tidak akan habis sehari memang benar. Tetapi bisa dibaca berhari-hari kemudian terutama ketika harus mengurut dada sehabis membaca berita pertengkaran antara dua kubu pasca pilpres yang menjalar sampai media sosial, yang harusnya menjadi pengikat kekerabatan malah membuat kekerabatan berantakan.  

Bagi saya  sejak 2014 membaca surat kabar hari Minggu menjadi penyejuk hati.

Irvan Sjafari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun