Kampungan mengandung arti kiasan sebagai kebiasaan terkampung, terkebelakang, kolot atau ditujukan kepada orang yang dianggap tidak tahu sopan santun, tidak terdidik dan kurang ajar. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai orang berselera rendahan, belum modern [1].
Julukan kampungan pada seseorang kalau dimaksudkan di atas sudah saatnya harus didekontruksi. Enak saja, itu kan berarti menuding  orang kampung atau orang desa itu identik dengan tidak tahu sopan santun, tidak terdidik dan kurang ajar.
Saya kira harus didekontruksi kata Kampungan dan Ndeso itu dan harus diredefinsi ulang. Cari tahu siapa dulu yang menerapkannya. Perlu penelitian melacaknya. Â Â
Faktanya lebih banyak mana dibanding antara orang Jakarta sebagai wakil orang kota besar yang katanya modern, sudah cerdas, relatif terdidik dengan orang desa  perilaku tawuran, membuang sampah sembarangan, melecehkan perempuan, merokok sembarangan, meludah sembarangan, corat-coret dinding rumah hingga tempat publik, buang air kecil sembarangan, melanggar lalu lintas seenaknya dan masih banyak lagi.
Orang kampung atau Ndeso masih banyak yang punya kearifan lokal, menjaga lingkungan, menghormati perempuan, kalau dari segi etika dan perilaku standar kemanusiaan.  Kalau dari segi terkebelakang saya ragu apakah  memang orang kampung atau orang desa tidak kenal smartphone, internet,  televisi, tidak tahu mode. Itu orang kampung yang mana? Di tempat terpencil pun belum tentu tidak ada.  Karena jaringan seluler tidak merata saja, mereka tidak banyak yang pakai.
Omong-omong yang pernah saya lihat buang sampah ke kali itu orang bermobil  atau dari kompleks mewah di Jakarta. Bagaimana juga dengan mobil yang masuk jalur busway? Apakah mereka tidak terdidik? Bisa saja dijuluki mereka itu yang kampungan. Tetapi tanya sama orang kampung setuju nggak perilaku seperti itu identik dengan orang kampung. Â
Omong-omong apakah tidak mengikuti mode dalam berbusana, tidak mengikuti aturan gaya hidup  modern (baca tidak mau), tidak mau pakai WA atau malas bermedia sosial adalah hal yang aneh? Itu kan kata orang modern.  Apakah gaya hidup orang Kenekes di Banten, orang Amish di Pennsylvania, Amerika Serikat adalah hal yang aneh? Saya kira tidak. Mereka baik-baik saja.  Â
Dulu orang-orang Belanda yang tinggal di Batavia pada abad ke 19 menganggap dirinya beradap. Teks berita surat kabar Bintang Barat yang terbit masa itu yang kerap saya baca di Perpustakaan Nasional memberi stigma bahwa orang Slam (ditujukan orang kampung asli Betawi) sebagai terkebelakang, identik dengan pencuri, tidak tahu sopan santun (menurut standar etika orang Barat dan tidak melibatkan orang pribumi), Â tidak berpendidikan (Barat, padahal mereka belajar Ilmu Agama) dan orang Cina (kalau sekarang seharusnya Tionghoa), main judi dan juga ahlaknya di bawah standar orang Belanda. Â Â Â
Padahal orang Belanda berburu harimau, babi hutan, gajah untuk kesenangan. Â Perang Aceh pecah karena orang Belanda ingin memberadapkan mereka, padahal orang Aceh punya peradaban sendiri, punya sistem pendidikan dan moralitasnya sendiri. Â Mereka sebetulnya tidak menganggu peradaban Barat.
Niat jahat di balik misi peradaban yang membunuh ribuan manusia itu tetap saja ekonomi, seperti perdagangan laut hingga sumber alam. Â Koran Belanda mencap orang Aceh membunuh marsose atau pejabat Belanda sebagai orang jahat, tetapi mereka membunuh penduduk kampung secara keliru dan berfoto bersama sebagai hal yang biasa saja.
Pada masa penjajahan orang Belanda memberi julukan pada pribumi sebagai inlander karena terkebelakang dan disamakan dengan anjing untuk tidak masuk kolam renang. Lalu memaki dengan kata overdome kepada pribumi sebagai hal yang beradap dan wajar-wajar saja. Â Â Â