Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Masih Belum Terlambat untuk Memindahkan Ibu Kota

5 Juli 2017   21:57 Diperbarui: 6 Juli 2017   21:58 1136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: THINKSTOCKS/AlfinTofler

Saya termasuk yang setuju pemindahan ibu kota Republik Indonesia dari Jakarta ke kota lain, walau tidak akan semudah membalik telapak tangan.  Selama puluhan tahun Jakarta menjadi ibukota sekaligus sebagai pusat bisnis dan jumlah uang yang terbanyak  beredar mendatangkan berbagai masalah.

Konsentrasi di Jakarta menjadi arus mudik terbesar bukan main repotnya setiap lebaran, beban urbanisasi yang terus menerus meningkat, membuat Jakarta terlalu padat, menimbulkan efek berantai, seperti kemacetan, sampah, banjir dan lain sebagainya.

Dengan ibu kota yang dipindahkan akan membuat beban itu menjadi terbagi.  Setidaknya dengan pindahnya  kantor-kantor pemerintahan, kedutaan besar asing, dengan membawa kesibukannya masing-masing, juga uang yang beredar membuat beban itu terbagi- tetapi juga seharusnya dibuat pusat bisnis baru untuk memecah konsentrasi untuk tidak hanya di Jawa.

Hanya saja solusi seperti ini sudah terlambat. Harusnya sejak puluhan tahun yang lalu dilakukan.  Sebetulnya kalau dilakukan pada 1950-an, mungkin tidak akan separah ini Jakarta.  Pertanyaan pertama pada 1950-an kota mana yang pantas jadi ibu kota. Sebetulnya ada dua kota yang disebutkan dalam referensi sejarah.

Bandung

Pada masa Hindia Belanda dan sebetulnya juga pada 1957 Bandung pernah menjadi wacana ibu kota. Pada saat itu secara planologis-para ahli Belanda pasti sudah punya hitungan matang-saat terbaik Bandung menjadi ibu kota RI. 

  1. Jika Ibu kota Bandung, Jakarta menjadi pusat perdagangan dan bisnis, jarak kedua kota tidak terlalu jauh.  Masih rasional. Bukankah Washington DC dan New York, atau Sidney-Melbourne jaraknya setidaknya sebangun dari akses transportasi.  Tetapi kalau Bandung dipilih itu harusnya dilakukan sejak 1950-an akhir atau awal 1960-an,  ketika kota Bandung masih nyaman dan masih ada tanah untuk kantor pemerintahan.  Masih banyak bangunan peninggalan Belanda yang bisa digunakan.
  2.  Bandung memenuhi syarat menyediakan tenaga untuk direkrut menjadi pegawai pemerintahan.  Selain Fakultas Teknik dan MIPA UI yang kemudian jadi ITB pada 1959,  Universitas Padjadjaran baru saja berdiri pada 1957 bersama Universitas Parahyangan, diikuti Universitas Pasundan, Universitas Islam Bandung, IKIP Bandung, Sekolah Tinggi Pariwisata, STT Telkom sudah ada dan masih ada Universitas NU, Sariwegading dan sebagainya.   
  3. Untuk gaya hidup Bandung punya bioskop yang lebih baik dari Jakarta, pusat kebudayaannya hidup, restoran, hotel punya.
  4. Bandung berhasil menyelenggarakan KAA dan Bandung adalah pusat Asia dan Afrika.

Bandung yang paling memenuhi syarat untuk jadi ibu kota masa itu. Hanya saja waktu itu faktor politik dan keamanan seperti masih ada gangguan Darul Islam di selatan. Namun apakah hanya itu? Saya kira ada faktor lain yang politis yang masih saya teliti.

Yogyakarta

Pilihan lain sebetulnya adalah Yogyakarta yang pernah menjadi ibu kota masa Perang Kemerdekaan. Hanya saja jaraknya dengan Jakarta (kalau jadi pusat perdagangan dan bisnis) cukup jauh. Sekalipun untuk menjadi kota menarik setidaknya masih ada tanah untuk tempat pemerintahan, kotanya belum padat penduduknya.  Hanya saja di sana ada "Kesultanan Yogyakarta"  membuat problem lain kalau jadi ibu kota permanen. 

Tetapi kalau seandainya Yogyakarta dipilih sejak 1950-an akan dua budaya yang berkembang, budaya ibu kota yang bersahaja dan lengket dengan budaya tepa seliranya, serta kota Jakarta yang jadi kota perdagangan yang metropolis.   

Palangkaraya

Lebih baik terlambat daripada tidak.  Boleh saja pepatah itu.  Jika memang ibu kota harus pindah pada 2019 atau 2020-an. Baiklah, tetapi di mana?  Bagaimana dengan Palangkaraya? Saya kira menarik. Ada beberapa alasan Palangkaraya dipilih seperti bukan daerah yang rawan gempa, relatif masih bisa dikembangkan dan ada alasan historis seperti  pernah dipilih Bung Karno.

Bagaimana kalau Palangkaraya dipilih?

Wah ini menarik. Setidaknya beban Jakarta -bahkan di Jawa -akan berkurang. Tentu ada persoalan.  

Soal pegawai pemerintahan (PNS), ya suruh pilih saja pegawai pusat mau jadi PNS Jakarta Raya itu pun kalau masih ada tempat atau pindah ke Palangkaraya. Bukankah gaji PNS sekarang  sudah besar? Apa salahnya pindah? Apa yang ditakutkan soal sekolah anak? Soal perumahan.

Saya kira pemerintah akan membangun infrastuktur lebih dulu sebelum memindahkan ibukota.  Sarana pendidikan akan dibangun. Sarana kesehatan juga dibangun. Saya kira juga kualitasnya akan baik karena akan merekrut guru-guru berkualitas dengan gaji besar. Setidaknya di Palangkaraya lebih kondusif untuk anak sekolah karena nggak ada tawuran pelajar seperti Jakarta.

Kuliah? Mungkin Universitas Palangkaraya belum bisa menyamai UI, ITB, UGM atau universitas di Jawa yang selalu mendominasi besar dalam sepuluh tahun.  Ya, mengapa mereka nggak kirim kuliah di Jawa. Bukankah mengirim kuliah anak ke luar negeri biasa? Orang dulu bagaimana?

Soal transportasi naik pesawat terbang untuk ke Jawa, ya itu masalah lain. Berapa kali setahun harus ke Jawa? (itu kalau PNS banyak asal Jawa).  Bukankah menjadi PNS itu pilihan?  Apa yang ada di pikiran PNS itu?

Takut kehilangan gaya hidup?  Takut tidak ada tempat rekreasi atau mal bersama anak-anak. Ya, didik dong anak-anak itu dengan gaya hidup baru. Apa sih masalahnya tidak ada mal semegah Jakarta?  

Kalau tidak mau juga? Ya,  cari kerjaan lain di Jakarta yang bisa akses ke gaya hidup dan biar pemerintah pusat rekrut PNS baru  yang mau hidup jadi pionir.

Biaya besar? Ya, mungkin akan dikaji. Tetapi saya kira harus berangsur untuk membangun sebuah ibu kota. Bahkan ini kesempatan membuat ibu kota yang ramah bagi warganya hingga hilang pameo sekejam-kejamnya ibu tiri lebih kejam ibu kota. Pedestrian seimbang dengan jalan raya. RTH kota akan sesuai.  Premanisme seperti di Jakarta selama ini akan lebih minimal. Saya optimis sekali.

Pertanyaan besar bukan soal kepentingan orang-orang Jakarta yang dipindahkan ke Palangkaraya ini. Kesampingkan itu. Tetapi justru kepentingan orang-orang Palayangkaraya ini? Apa dampak sosialnya bagi mereka? Saya tidak setuju mereka seperti orang Betawi terpinggirkan. 

Orang-orang Palangkaraya dan Kalteng harus menikmati kue ekonominya. Harus ada perubahan sosial ke arah yang lebih baik di Kalimantan.  

Lalu apa dampak lingkungannya, misalnya terhadap hutan Kalimantan. Apakah orang-orang Jakarta ini mau patuh terhadap kearifan lokal di daerah baru, ini soal revolusi mental. Saya kira ini harus pikirkan pemerintah.   

 Palembang

Pilihan lain yang menarik adalah Palembang.  Jaraknya relatif cukup dengan Jakarta. 45 menit penerbangan kalau tidak salah. Bisa diakses dengan bis atau kapal. Infrastrukturnya sedang berkembang terutama di daerah hulu yang dulu tertinggal oleh daerah hilir. Kota yang terbelah sungai akan mengingatkan pada Bangkok. 

Secara geografis dekat dengan Singapura, Malaysia dan adanya lalu lintas sungai bisa masuk ke ibu kota lewat jalan laut.  Secara sosio historis orang Palembang punya sejarah panjang berinteraksi dengan orang luar.  Tentu ada persoalan sosial yang harus diatasi kalau pilihannya Palembang, karena orangnya relatif keras.   

Prasarana olahraga megah dan juga diikuti sarana komersial juga sedang berkembang.  Daerahnya masih bisa dikembangkan.  Belum pernah saya dengar adanya gempa bumi cuma karena dataran rendah atau risiko banjir.  Sewaktu saya ke sana beberapa tahun lalu pembenahan sosial seperti larangan memberi uang pada pengemis juga dilakukan.

Pertanyaan untuk Jakarta.

Suatu pertanyaan lagi, bagaimana nasib Jakarta?  Apakah benar-benar menjadi pusat perdagangan dan bisnis seperti New York atau Melbourne? Ingat Amerika Serikat dan Austarlia adalah negara federal.

Apakah bisa dipisah perizinan-perizinan yang menyangkut bisnis antara ibu kota baru dan Jakarta?  Mengingatkan kultur politik Indonesia menjadi pusat sentris selama puluhan tahun hal itu menjadi tanda tanya. Saya kahwtair malah pelaku-pelaku bisnis berbondong-bondong ke ibu kota baru.

Saya khawatir tanpa regulasi, kemauan dan mental  yang kuat ibu kota baru ini akan jadi "Jakarta" berikutnya, sementara Jakarta akan kembali jadi "The Big Village". Moga-moga kalau ibu kota baru kalau terwujud kekhawatiran ini tidak terjadi.

Irvan Sjafari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun