Menteri PPK Prof. Dr. Prijono yang dibicakan Djusar Kartasubrata mengharapkan FDP menjadi tempat menggembleng mental sesuai dengan manifesto politik dan usdek. Prijono menyrakan agar istilah publisitas diganti publisistik .
Hal senada juga diungkapkan Menteri Penerangan Maladi dalam sambutan tertulis yang dibacakan Kepala Direktorat Daerah dan Publisitet Depatemen Penerangan Sudono bahwa pers nasional pengabdi cita-cita bangsa dan bertugas menyelesaikan revolusi nasional. Pendidikan pers diperlukan untuk menampung perkembangan yang terjadi di masyarakat.
Pada malam itu juga Adinegoro menyampaikan kuliah umumnya yang pertama. Dia mengupas hal yang elementer dari mulai dari pemandangan (reportase sekarang) hingga pojok (tajuk rencana). Selain itu gambar (foto), film, yang digunakan untuk menyampaikan pernyataan bersifat umum untuk mempengaruhi perilaku termasuk dalam lapangan penyelidikan ilmu publitistik.
Adinegoro juga mengingatkan publitistik menyelidiki dasar berita ada bertujuan murni atau merupakan penerangan bahkan propaganda. Ada berita yang bersifat pendidikan, hiburan. “Bukan pers yang menjadi Ratu Dunia, melainkan opini publik itu Ratu Dunia,” cetus Adinegoro dalam kuliah umumnya [11].
Pendirian PDP berada dalam situasi yang bertentangan. Di satu sisi pemerintah tampaknya mendukung pendidikan wartawan secara profesional, tetapi di sisi lain pemerintah menginginkan pers mendukung kebijakannya. Ada kemungkinan pemerintah menginginkan mencetak wartawan yang dididik dengan garis kebijakan Manipol dan Usdek hingga bisa membuat pers relatif lebih bisa dikendalikan dibandingkan era Demokrasi Liberal.
Pada Juli 1960 Presiden Soekarno membentuk Badan Pembina dan Pengendalian Pers yang langsung berada di bawah Presiden sendiri selaku penguasa perang tertinggi (Peperti).
Badan ini diketuai oleh PDS Kepala Peperti Kolonel Basuki Rachmat dengan anggota-anggotanya Menteri Luar Negeri Subandrio, Menteri/Jaksa Agung Gunawan. Badan Pembina dan Pengendalian Pers telah diputuskan dalam Sidang ke IV Musyawarah pembentukan Peperti di Istana Merdeka pada 7 Juli 1960. Sidang itu langsung dipimpin Soekarno dan dihadiri oleh Mr. Leimena selaku Wakil Peperti, serta Menteri Keamanan Nasional Jenderal Nasution [12]
Menteri Penerangan Maladi dalam pernyataan persnya menuturkan bahwa dalam masa 1945-1950 pers nasional adalah salah satu alat perjuangan . Namun sejak 1950 fungsi itu sudah hilang. Pers tidak lepas dari pengaruh aliran atau golongan yang kadang-kadang bertentangan. Meskipun Maladi mengungkapkan bahwa bergantung tulisan dan tajuknya, surat kabar yang tidak membantu pelaksanaan dan tujuan Usdek sebagai haluan negara akan dicabut izin penerbitannya .
Kalangan wartawan tentu saja mempertanyakan apa maskud kebijakan Presiden ini. Pengurus PWI Pusat menyatakan kegelisahannya terhadap perkembangan pers Indonesia dengan adanya keputusan Presiden. [13].
Pada pertengahan Oktober 1960 Teks lengkap dan Penjelasan Peraturan peperti No. 10 Tentang Izin Terbit-Penerbitan Surat Kabar dan Majalah sudah diumumkan media massa. Pd Presiden/Panglima Tertinggi Djuanda telah mengeluarkan pedoman bahwa surat kabar atau majalah yang tidak memenuhi seluruhnya atau sebagian dari ketentuan-ketentuan yang dikandung dalam pedoman tersebut tidak luput dari sanksi.