Sejak Januari 1960 ketegangan politik pasca Dekrit Presiden makin memuncak. Adanya pengumuman bahwa Presiden sudah mendengarkan Makamah Agung dapat melarang atau membubarkan partai-partai yang pemimpinnya ikut serta melakukan pemberontakan sedangkan partai tidak dengan resmi melakukan pernyataan penyesalan (Pikiran Rakjat, 13 Januari 1960). Isyaratnya jelas partai yang dimaksud ialah Partai Masyumi dan PSI.
Kedua,adanya rencana pembentukan DPR Gotong Royong untuk menggantikan DPR yang telah dipilih dalam Pemilu membuat pemerintah menghadapi oposisi yang lain lagi.
Politisi IPKI HJ Princen adalah penentang pembentukan DPR Gotong Royong. Menurut Princen sistem penunjukkan yang dilakukan Soekarno untuk menentukan siapa yang duduk bertentangan dengan demokrasi. Pembentukan DPR GR hanya akan menguntungkan golongan tertentu. Dia menuding UUD 1945 tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya (Pikiran Rakjat, 8 April 1960) .
Atas prakarsa Masyumi dan PSI, didukung oleh IPKI, beberapa anggota dari NU, Partai Kristen Indonesia dan Partai Katolik membentuk Liga Demokrasi. Resminya Liga Demokrasi dibentuk pada 24 Maret 1960. Liga Demokrasi pada awalnya dibentuk sebagai protes terhadap pembubaran DPR hasil pilihan rakyat.
Prakasra itu juga didukung oleh Bung Hatta dalam artikelnya “Demokrasi Kita” dan untuk pertama kalinya, Hatta menyebutnya Soekarno sebagai diktator. Bila sebelumnya kritikan melalui surat pribadi, maka untuk pertama kalinya Bung Hatta mengkritik Bung Karno secara terbuka. Pembentukan Liga Demokrasi ini dilakukan ketika Bung karno berada di luar negeri. Setelah Bung Karno menunjukkan sikap anti terhadap liga. (Alam, 2003, 285. Maarif, 1996, halaman 61-62).
Hanya dalam satu bulan Liga Demokrasi dibentuk di berapa daerah oleh aktivis partai yang sama. Liga Demokrasi Jawa Barat dibentuk pada 28 April 1960 diketuai oleh Djaja Rahmat (Masyumi), didukung oleh Gatot Mangkupraja (Pancasila), dr. Siregar (Parkindo), KH Djawari (NU), Afifah (PSI), Baharmus (PSI), Ahmad (IPKI), Sule (IPKI). Para pendiri Liga Demokrasi Jawa Barat sebelumnya telah menyusun apa yang disebut sebagai Piagam Sukajadi.
Djaja Rachmat menyebutkan:
Piagam Sukadjadi telah bersifat ideologis yaitu anti komunis. Yang bergabung dengan Piagam Sukadjadi otomatis akan menjambut lahirnja Liga Demokrasi Jawa Barat (Pikiran Rakjat, 29 April 1960).
Hanya PNI yang belum menentukan sikap.
Sudah bisa diprediksi pada Peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1960, Presiden Soekarno mengumumkan setelah mendengar pendapat dari Makamah Agung, ia memerintahkan pembubaran Partai Masyumi dan PSI. Jika satu bulan sesudah perintah Masyumi dan PSI belum dibubarkan, maka Masyumi dan PSI dinyatakan partai terlarang (Pikiran Rakjat, 18 Agustus 1960).
Ketua Umum Masyumi Prawito Mangkusasmito lebih memilih “mengalah” daripada konfrontatif dengan Presiden. Dengan surat pernyataan, yang ia tandatangani pada Presiden RI pada 13 September 1960 partai ini menyatakan diri bubar (Pikiran Rakjat, 15 September 1960). Kurang dari seminggu kemudian Gubernur Jawa barat memberhentikan 20 anggota DPRD Jawa Barat dari Masyumi dan PSI (Pikiran Rakjat, 21 September 1960).
Peristiwa Maukar dan Pusat Pendidikan Kavaleri di Cibangkong
Pada Rabu, 9 Maret 1960 warga Kota Jakarta digemparkan oleh penembakan yang dilakukan oleh sebuah pesawat MIG A7 AURI terhadap Istana Merdeka sekitar pukul 12.20. Serangan oleh pesawat MIG itu bukan saja terhadap Istana Merdeka, tetapi juga terhadap Istana Bogor. Pesawat itu kemudian jatuh di areal persawahan Kewedanaan Leles, Garut dengan kondisi sayap pesawat hancur.
Pesawat itu jatuh karena melewati batas waktu terbang. Perwira penerbang yang diduga ingin melakukan percobaan pembunuhan terhadap Presiden itu Daniel Alexander Maukar segera tertangkap (Pikiran Rakjat, 10 Maret dan 11 Maret 1960). KSAU Suryadarma menyatakan siap mengundurkan diri, namun Soekarno tetap mempertahankannya.
Minggu Dini hari 20 Maret 1960 diperkirakan pukul 00:30, sekitar 50 orang menyerbu Pusat Pendidikan Kavaleri di Cibangkong, Kota Bandung sebelah timur. Di antara pasukan penyerbu terdapat anggota tentara. Mereka bermaksud menyerobot senjata yang ada di kompleks pendidikan tersebut.
Tindakan para peyerbu dihalangi anggota TJAPER yang berada di dalam Pusat Pendidikan Kavaleri. Dalam tembak menembak singkat. Di pihak tentara seorang Kopral gugur dan di pihak penyerobot seorang anggota pimpinan, yang juga seorang anggota tentara dan dua lainnya tewas. Pimpinan penyerobot dan beberapa anggotanya menyerahkan diri.
Hari minggu itu juga menurut Perwira Penerangan Daerah Militer VI/Siliwangi, Mayor Nawawi Alif mengadalan razia kepada mereka yang masuk dan keluar kota Bandung. Raziad dilakukan di Cimindi dan Cimareme di sebelah Barat, Padasuka di Timur dan Ciater di Utara (PIkiran Rakjat, 21 Maret 1960).
Pada Senin 21 Maret 1960 Kepala Pusat Penerangan A Letkol Sunarjo mengumumkan 7 penyerobot dinyatakan tewas dan 37 orang tertangkap. Sementara di pihak tentara Kopral Mustar dari Garnisun Bandung gugur dan dua tentara luka-luka. Peristiwa penyerangan itu dinyatakan sebagai usaha subversif untuk mengadakan pengacauan di daerah RI (Pikiran Rakjat, 22 Maret 1960).
Dalam penyelidikan peristiwa penyerangan ke Istana Merdeka dan Pusat Kavaleri di Bandung dilaksanakan oleh organisasi terlarang Manguni dengan tujuan memaksa Pemeirntah RI melakukan cease fire atau berunding dengan PRRI/Permesta.
Organisasi Manguni dipimpin oleh Samuel Karundeng dibantu Pantouw. Nama lain yang terlibat disebut Kolonel Sukanda Bratamangala dan Front Pemuda Sunda (FPS). Kelompok kini juga menggerakan rasa kesukuan (Pikiran Rakjat, 31 Maret 1960).
Ulf Sundhaussen dalam bukunya membenarkan bahwa gerakan ini untuk memaksa pemerintah pusat menghentikan serangannya terhadap kaum pemberontak. Kolonel Sukanda Bratamanggala sudah dikenakan tahanan rumah dan tahanan kota di Bandung menghimpun pengikut pribadi, FPS dan kelompok dari Minahasa, Batak, Bugis dan Ambon, organisasi veteran dan malahan anasir Darul Islam di dalam suatu Komando Operasi untuk Perdamaian Nasional.
Maksud gerakan ini mula-mula menyampaikan petisi kepada Presiden untuk mengakhiri perang dan jika gagal melancarkan pemberontakan di Jawa Barat. Namun rupanya kelompok dari Minahasa tidak dapat menyetujui siasat Bratamanggala untuk lebih dahulu berunding. Itu sebabnya terjadi serangan oleh Maukar ke Istana Merdeka dan serangan ke Pusat Kavaleri (Sundhaussen, 1986,201-202).
Sejarawan Nina Herlina Lubis dalam bukunya membenarkan bahwa Front Pemuda Sunda dituduh sebagai organisasi yang berdiri di belakang “Peristiwa Maukar” dan Penyergapan Pusat Kavaleri di Bandung. Samuel Karundeng memang mengharapkan bantuan dari Front Pemuda Sunda dalam upanya menentang pemerintahan Soekarno dengan jalan kekerasan. Akan tetapi kontak dengan Front Pemuda Sunda belum pernah diadakan (Lubis, 2003,hal:304-305).
Bentrokan Hoa Kiu dengan Alat Negara di Cimahi
Ketegangan lain di Jawa Barat ialah menyangkut persoalan Hoa Kiu sesuai dengan PP 10 1959 bahwa orang asing yang ada di pedalaman harus pindah ke kota pada akhir November 1960. Karena jumlah warga Tiongkok yang harus dipindahkan berjumlah besar, sementara Kota Bandung menerima pengungsian pada waktu itu, maka sebagian Hoa Kiu ditampung di beberapa tempat di Lembang, Padalarang dan Cimahi.
Berhubung dengan hal itu seharusnya selambat-lambatnya pada 1 Juni 1960, mereka yang ada di tiga tempat itu sudah pindah ke tempat yang ditunjuk, yaitu Ujungberung. Tetapi faktanya selama enam bulan tidak ada upaya mereka melaksanakan pemindahan itu. Ada yang mengatakan mereka akan kembali ke RRC dalam waktu singkat atau mereka meminta agar pindah ke Kota Bandung.
Menurut Juru BIcara Kodam Siliwangi Kolonel Nawawi Latief, oleh karena itu mereka diberi waktu satu bulan lagi dan kepada mereka disampaikan bahwa mereka diperbolehkan untuk pindah ke Kota Bandung dan untuk itu diberi waktu satu bulan. Sayangnya hingga waktu yang ditentukan pada 1 Juli 1960 mereka masih belum melaksanakan kepindahan. Kalau kepala keluarganya dipanggil, selalu mendapat jawaban tidak ada di rumah.
Pada Jumat 1 Juli 1960 Kodim memerintahkan polisi negara untuk mendatangi tempat penampungan Hoa Kiu untuk memanggil kepala keluarga. Namun yang terjadi warga Hoa Kiu yang ada di tempat pengungsian mengeroyok alat negara hingga mereka babak belur. Polisi mengundurkan diri dan insiden lebih besar bisa dihindari.
Agar bisa menjumpai kepala keluarga Minggu pagi 3 Juli 1960 Polisi dan tentara diperintahkan Kodim untuk bertemu kepala keluarga kembali. Awalnya hanya dua laki-laki saja yang dapat dijumpai. Tiba-tiba sekitar 60 orang laki-laki perempuan dengan menggunakan kayu, batu dan botol menyerbu alat negara. Di antara mereka ada yang berteriak serang! Rampas senjatanya!.
Melihat hal itu polisi melakukan tembakan peringatan ke udara. Namun rupanya massa tidak reda, percobaan merebut senjata dilakukan. Dalam perebutan senjata terjadi letusan, dua perempuan tertembak. Satu meninggal di tempat dan yang lain meninggal di rumah sakit. Barulah massa insyaf akan perbuatannya.
Pihak militer akhirnya melakukan pemeriksaan terhadap semua pihak yang terlibat dalam insiden itu (Pikiran Rakjat, 4 Juli 1960). Duta Beasar RRC Huang Chen memprotes masalah “Dwi Kewarganegaraan” Hoa Kiu. Huang Chen bertemu Menlu Subandrio sehari setelah Peristiwa Cimahi. Insiden Cimahi membuat ketegangan lain di Kota Bandung, 75% toko-toko ditutup (Pikiran Rakjat, 5 Juli 1960).
Presiden Soekarno membahas masalah ini dengan para menterinya. Pemerintah menyesalkan jatuhnya korban, tetapi juga menyesalkan tindakan ceroboh merebut senjata alat negara. Korban yang jatuh segera diketahui bernama Liem Moek May, 38 tahun dan Jap Kim Nio, 45 tahun. Bupati Bandung Mayor memed Ardiwilaga mengeluarkan pernyataan alat negara mendapat pukulan dan hinaan dari para hoa kiu. Namun situasi pulih kembali pada 5 Juli 1960, toko-toko dibuka kembali (Pikiran Rakjat, 6 Juli 1960).
Pangdam Siliwangi Brigjen Kosasih dalam apel besar di Lapangan Tegallega dan di Cimahi yang dibacakan Danrem Priangan Barat Letkol RA Satari pada 18 Juli 1960 menyindir peristiwa itu diperbuat oleh tamu-tamu yang belum insyaf akan kewajibannya terhadap tata tertib dan peraturan rumah tangga. Pembangkangan terhadap pelaksanan perintah jangan terulang lagi. Meskipun demikian Kosasih menyesalkan Peristiwa Cimahi.
Petugas dan Rakjat kita umumnja masih diperlukan kewaspadaan dan kebijaksanaannja jang tinggi dan jangan terulang provokasi (Pikiran Rakjat, 19 Juli 1960).
Irvan Sjafari
Sumber Buku
Alam, Wawan Tunggul,Demi Bangsaku: Pertentangan Antara Bung Karno dan Bung Hatta, Jakarta: Gramedia, 2003.
Lubis, Nina Herlina, Sejarah Tatar Sunda Jilid 2, Bandung: Lembaga Pendidikan Universitas Padjadjaran, 2003
Maarif, Ahmad Syafii, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu dalam Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Jakarta: Gema Insani pres, 1996
Sundhaussen, Ulf, Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI, Jakarta: LP3ES, 1986