Sejarawan Nina Herlina Lubis dalam bukunya membenarkan bahwa Front Pemuda Sunda dituduh sebagai organisasi yang berdiri di belakang “Peristiwa Maukar” dan Penyergapan Pusat Kavaleri di Bandung. Samuel Karundeng memang mengharapkan bantuan dari Front Pemuda Sunda dalam upanya menentang pemerintahan Soekarno dengan jalan kekerasan. Akan tetapi kontak dengan Front Pemuda Sunda belum pernah diadakan (Lubis, 2003,hal:304-305).
Bentrokan Hoa Kiu dengan Alat Negara di Cimahi
Ketegangan lain di Jawa Barat ialah menyangkut persoalan Hoa Kiu sesuai dengan PP 10 1959 bahwa orang asing yang ada di pedalaman harus pindah ke kota pada akhir November 1960. Karena jumlah warga Tiongkok yang harus dipindahkan berjumlah besar, sementara Kota Bandung menerima pengungsian pada waktu itu, maka sebagian Hoa Kiu ditampung di beberapa tempat di Lembang, Padalarang dan Cimahi.
Berhubung dengan hal itu seharusnya selambat-lambatnya pada 1 Juni 1960, mereka yang ada di tiga tempat itu sudah pindah ke tempat yang ditunjuk, yaitu Ujungberung. Tetapi faktanya selama enam bulan tidak ada upaya mereka melaksanakan pemindahan itu. Ada yang mengatakan mereka akan kembali ke RRC dalam waktu singkat atau mereka meminta agar pindah ke Kota Bandung.
Menurut Juru BIcara Kodam Siliwangi Kolonel Nawawi Latief, oleh karena itu mereka diberi waktu satu bulan lagi dan kepada mereka disampaikan bahwa mereka diperbolehkan untuk pindah ke Kota Bandung dan untuk itu diberi waktu satu bulan. Sayangnya hingga waktu yang ditentukan pada 1 Juli 1960 mereka masih belum melaksanakan kepindahan. Kalau kepala keluarganya dipanggil, selalu mendapat jawaban tidak ada di rumah.
Pada Jumat 1 Juli 1960 Kodim memerintahkan polisi negara untuk mendatangi tempat penampungan Hoa Kiu untuk memanggil kepala keluarga. Namun yang terjadi warga Hoa Kiu yang ada di tempat pengungsian mengeroyok alat negara hingga mereka babak belur. Polisi mengundurkan diri dan insiden lebih besar bisa dihindari.
Agar bisa menjumpai kepala keluarga Minggu pagi 3 Juli 1960 Polisi dan tentara diperintahkan Kodim untuk bertemu kepala keluarga kembali. Awalnya hanya dua laki-laki saja yang dapat dijumpai. Tiba-tiba sekitar 60 orang laki-laki perempuan dengan menggunakan kayu, batu dan botol menyerbu alat negara. Di antara mereka ada yang berteriak serang! Rampas senjatanya!.
Melihat hal itu polisi melakukan tembakan peringatan ke udara. Namun rupanya massa tidak reda, percobaan merebut senjata dilakukan. Dalam perebutan senjata terjadi letusan, dua perempuan tertembak. Satu meninggal di tempat dan yang lain meninggal di rumah sakit. Barulah massa insyaf akan perbuatannya.
Pihak militer akhirnya melakukan pemeriksaan terhadap semua pihak yang terlibat dalam insiden itu (Pikiran Rakjat, 4 Juli 1960). Duta Beasar RRC Huang Chen memprotes masalah “Dwi Kewarganegaraan” Hoa Kiu. Huang Chen bertemu Menlu Subandrio sehari setelah Peristiwa Cimahi. Insiden Cimahi membuat ketegangan lain di Kota Bandung, 75% toko-toko ditutup (Pikiran Rakjat, 5 Juli 1960).
Presiden Soekarno membahas masalah ini dengan para menterinya. Pemerintah menyesalkan jatuhnya korban, tetapi juga menyesalkan tindakan ceroboh merebut senjata alat negara. Korban yang jatuh segera diketahui bernama Liem Moek May, 38 tahun dan Jap Kim Nio, 45 tahun. Bupati Bandung Mayor memed Ardiwilaga mengeluarkan pernyataan alat negara mendapat pukulan dan hinaan dari para hoa kiu. Namun situasi pulih kembali pada 5 Juli 1960, toko-toko dibuka kembali (Pikiran Rakjat, 6 Juli 1960).
Pangdam Siliwangi Brigjen Kosasih dalam apel besar di Lapangan Tegallega dan di Cimahi yang dibacakan Danrem Priangan Barat Letkol RA Satari pada 18 Juli 1960 menyindir peristiwa itu diperbuat oleh tamu-tamu yang belum insyaf akan kewajibannya terhadap tata tertib dan peraturan rumah tangga. Pembangkangan terhadap pelaksanan perintah jangan terulang lagi. Meskipun demikian Kosasih menyesalkan Peristiwa Cimahi.