Mereka makin merapat.
“Mandi dulu sana…!” katanya mendorong Alif masuk.
Alif membersihkan diri. Kemudian ia mengakhirinya berendam di air rempah-rempah dan wewangian itu. Dia merasa relaks dan seluruh syarafnya pulih. Dia tak menyadari Zahra sudah muncul di samping bak mandi bertopang dagu menatap matanya lewat mata tajamnya menusuk.
“Kalau sudah wangi kan sama-sama enak. Laki-laki maunya kan perempuannya saja yang wangi.”
Alif terperanjat dan tak menyangka perempuan itu masuk. Dia merasa tersindir.
Zahra tahu. Dia juga tahu bagaimana membuat Alif tidak marah. Dia tergelak. Libido Alif tiba-tiba melecut sampai ubun-ubun. Zahra menangkap gestur tubuh suaminya yang makin gelisah.
“Jaka Tarub kan bisa minta baik-baik pada bidadarinya,” katanya halus.
Alif mencium punggung tangan halus. Zahra kembali tergelak khasnya. Dia tahu itu permohonan. Dia pun mencium tangan laki-laki itu kemudian melepas baju mandinya, menggantungkannya di tempat gantungan bersama baju mandi Alif.
Dia ikut masuk ke dalam bak berhadapan dengan Alif. Kali ini dia tidak tergelak, tetapi matanya menatap tajam seperti siren menghipnotis para pelaut. Alif kembali seperti ditarik ke langit ke tujuh.
Satu setengah jam kemudian mereka berdua sudah di bengkel tempat Zahra bekerja. Iffa dan Tian sudah tahu tugas mereka. Mereka berdua terbang menuju pantai dan mendarat di suatu tempat. Di bawah pohon kelapa mereka melepas alat kupu-kupunya. Lalu pelan-pelan Alif bercerita.
“Yola teman sekampus aku. Sahabat. Frisca itu adik aku tahu! Umurnya kira-kira sepantar kamu! Nanda itu reporter di kantor aku. Tidak lebih dari teman. Kami satu tim mengungkap satu kasus yang pernah menyangkut Mariana Rosa. Dia adalah ibu kamu sayang! Harusnya menjadi ibu kamu. “