Sekalipun ketika jumlah hunian dan penduduk tumbuh pesat jalan yang digunakan hanya diperlebar dari perempatan Gandul-Jakarta hingga perbatasan Mal Cinere. Tetapi antara pertigaan Jalan Bandung hingga Jakarta tidak berubah. Situasi itu menjadi bottle neck, apalagi sejak Masjid Kubah Emas menjadi tujuan wisata.
Akibatnya kemacetan bukan hanya setiap jam pergi dan pulang kerja, tetapi juga pada akhir pekan. Sementara pembangunan Cinere Bellevue menambah bottle neck berikutnya di Karang Tengah yang sudah masuk wilayah Jakarta? Seharusnya walaupun memerlukan mal, tetapi sebetulnya Cinere Mall dan Grand lucky plus Pasar Segar di perempatan menuju Gandul dan Jalan Jakarta sudah cukup.
Mengapa harus ditambah lagi? Bukankah jadi tanda tanya untuk tata ruang, kok mengulangi kesalahan di Jalan Margonda? Membangun kawasan komersial tetapi tidak menyiapkan infrastruktur memadai? Seperti halnya Margonda, mal memang menjadi satu-satunya tempat warga untuk hangout, karena kurangnya ruang publik.Â
Pertanyaan besar ialah tanggungjawab siapa pembenahan infrastuktur ini? Pemkot Depok atau pengembang? Tidak terbayangkan kalau satu lagi apartemen dan pusat komersial di dekat Mal Cinere selesai dibangun. harus bangun jam berapa warga agar tidak terjebak kemacetan.
Kesannya di satu sisi pihak pengembang properti begitu ekspansif tanpa memperhitungkan kemampuan akses dan di sisi lain Pemkot Depok maunya mendapatkan uang dari PBB tanpa banyak memberikan konstribusi balik.
Padahal Cinere memberikan konstribusi besar. Pada 2017 itu Iuran PBB untuk warga Cinere naik antara 50-100%. Tidak semua warga yang sudah tinggal di Cinere orang yang terus mempunyai penghasilan besar. Sebagian sudah pensiun dan ada janda yang hidup hanya dari pensiun. Mereka sudah menjadi warga lebih dari 30 tahun.
Irvan Sjafari
Koran Tempo, 28 April 2017
http://jabar.pojoksatu.id/depok/2017/04/28/hut-depok-ke-18-persoalan-kemacetan-jadi-sorotan/