Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

HUT Depok ke 18: Kemacetan Masalah Utama Kota "Dormitory"

28 April 2017   16:12 Diperbarui: 28 April 2017   16:59 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kemacetan di Jalan Margonda (kredit Foto HarianDepok.com)

Kemacetan adalah salah satu persoalan yang lazim dihadapi sebuah kota di dunia. Kemacetan adalah buah persoalan karena terjadi ketimpangan antara infrastuktur dan demografi. Kota Depok sebagai kota dormitory (kebanyakan penduduk hanya tidur, mencari rezeki di Jakarta) juga menghadapi hal itu. Jumlah populasi di Kota Depok mencapai 2,1 juta jiwa.

Pada 27 April yang lalu Depok merayakan ulang tahunnya yang ke 18. Kota “dormitory” (kebanyakan warganya hanya numpang tidur, sementara mereka mencari rezeki ke Jakarta) ini menduduki peringkat ke lima sebagai kota termacet se-Indonesia.

Kelima kota itu masing-masing Bogor (15,32 km/jam) VC ratio 0,86. DKI Jakarta (10-20 km/jam) Vc Ratio 0,85, Bandung (14,3 km/jam) VC ratio 0,85, Surabaya (21 km/jam) VC ratio 0,83 dan Depok (21,4 km/jam) VC ratio 0,83

Jumlah kendaraan di Kota Depok berjumlah 979.868 unit dengan laju pertumbuhan per bulan 9-10%. Jumlah kendaraan ini didominasi sepeda motor sebanyak 817.850 unit, mobil peribadi 155.510 unit dan angkutan umum 6.508 unit.

Sementara panjang jalan di Kota Depok 530,5 kilometer dengan laju pertumbuhan 0,7% per tahun. Dari jumlah itu sepanjang 476,5 km Jalan kota, 36,25 kilometer Jalan Nasional dan 17,75 Kilometer Jalan Provinsi. Masalahnya jalan yang berada di bawah kewenangan pemerintah pusat atau provinsi strategis, seperti Jalan Sawangan, Jalan Raya Bogor dan Jalan KSU (Koran Tempo, 28 April 2017).

Titik kemacetan utama di Jalan Margonda yang merupakan sentra Kota Depok. Sekalipun jalan itu diperlebar rasanya tidak mampu menampung kepentingan yang ada di sepanjang ruas jalan itu. Keberadaan pusat pemerintahan Depok, Universitas Indonesia, Universitas Gunadharma, berikut apartemennya, serta sejumlah mal besar seperti, Margo City, Depok Town Square dan D Mall membuat kendaraan hilir mudik tidak saja di hari kerja tetapi juga pada akhir pekan.

Kebiasaan warga berkunjung ke mal disebabkan minimnya lokasi wisata di Depok. Akibatnya, pengunjung mal membludak dan berimbas kepada kemacetan di jalan sekitarnya (Pikiran Rakyat online, 19 April 2017).

Harusnya para pembuat perencana kota – sebelum kota ini berstatus Dati II- sudah mengantisipasi keberadaan Universitas Indonesia yang dibuka pada 1987 bakal memicu pusat komersialisasi. Ketika saya masih SMA di kawasan Pasarminggu mengunjungi rumah seorang kawan di Depok II, rasanya seperti pergi jauh ke luar negeri dengan jalan yang kecil.

Titik kemacetan lainnya Cinere.

Sejak 1970-an akhir dan 1980-an awal Megapolitan memulai pembangunan hunian baru di kawasan yang tadinya sawah dan kebun pada awalnya belum menghadapi persoalan kemacetan. Pada waktu keluarga kami memutuskan tinggal di sini pada 1984. Pada waktu itu akses jalan menghubungkan Cinere- Pangkalan Jati (perbatasan dengan Jakarta) hanya jalan kecil). Waktu itu masih masuk Kabupaten Bogor.

Pada 1980-an, ketika saya masih SMA di kawasan Pasarminggu hanya butuh 30-45 menit untuk sampai di Ragunan.  Tetapi setelah 2000-an waktu tempuh nyaris tiga kali lipat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun