Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Wajah Media Sosial yang Sudah Serupa "Two Face"

6 April 2017   16:17 Diperbarui: 6 April 2017   16:20 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Pada 2009 ketika diajak beberapa kawan untuk membuat akun di Facebook, saya berulang kali menampik. Sebagai seorang yang cenderung melankolis, lebih menyukai menulis diary kalau ingin curhat terhadap hal yang pribadi  atau memberikan tanggapan terhadap suatu kejadian yang dianggap penting – sebagai seorang yang kesadaran sejarahnya kuat-membuka diri kepada orang lain, sekalipun dekat hal  yang dihindari.  Apalagi memamerkan foto-foto pribadi  bagi saya waktu itu masih merupakan hal yang tabu.

“Teman-teman (sekampus) sudah pada punya akun Facebook, Van?” bujuk Wiwik, salah seorang adik kelas saya di Fakultas Sastra UI.   Katanya facebook bisa membuat saya bertemu dengan kawan-kawan yang berjauhan, bahkan di luar negeri.  Teman sekantor saya di sebuah tabloid telekomunikasi juga tak henti membujuk. “Masa anak Telko nggak punya akun media sosial?”

Saya luluh.  Saya kemudian membuat akun Facebook.  Dengan cepat pertemanan saya bertambah mula-mula kurang dari 100 kemudian di atas 500  dan kini di atas 1000.  Awalnya saya share hal-hal yang bersifat silaturahim atau sedang butuh teman mengobrol waktu lewat tengah malam.  Jumlah foto hanya belasan.  Saya sangat hati-hati memberikan komentar di wall orang lain. Memberikan pernyataan bersifat politik saja pantang bagi saya.  Apalagi mencaci.

Kawan-kawan saya bukan hanya teman sekampus atau satu satu SMA atau rekan kerja, tetapi juga narasumber.  Rentang usianya juga beragam mulai dari ABG hingga paruh baya. Saya mulai berani share foto-foto perjalanan atau kegiatan yang saya anggap penting.  Tiga tahun pertama facebook menyenangkan.  Apalagi ada perangkat Blackberry bisa diakses kapan saja. Berita suka cita, berita duka cita, undangan bisa melalui media sosial.

Namun kemudian facebook diganggu oleh hacker.  Suatu hal yang tidak terpikirkan oleh saya. Saya sendiri juga pernah kena bajak. Untuk apa membajak akun orang? Untuk apa pula bersembunyi dengan identitas palsu atau pakai orang lain? Belakangan saya tahu itu ada yang  bermotivasi ke arah kriminal, walau sebagian lebih karena iseng, pamer kehebatannya di IT. Mungkin juga ada motivasi tidak suka atas apa yang dishare.  

Tetapi apa pun alasannya artinya sama saja merampas lahan tanah orang. Kalau tidak suka mengapa tidak kritik terbuka? Bukankah media sosial untuk silaturahmi dan saling berdialog?

Menimbulkan iri hati atau tidak suka atas apa yang dishare (baik foto maupun cerita) seseorang juga menjadi hal lain yang tidak menyenangkan dari media sosial. Misalnya, Saya pernah menengok perdebatan di wall kawan perempuan saya karena mencibir soal dada six pack cowoknya.  Kawan itu tentu aja bereaksi dan dengan sinis memberikan tips punya dada six pack.

Belum lagi soal bully yang tidak patut dilakukan.  Misalnya untuk apa membully pacar seorang pelaku tabrak lari? Apa salahnya dia?  Lalu tidak suka pada seorang politisi, gaya anak perempuannya dijadikan ejekan.

Ketika Media Sosial Dijadikan Ajang Kampanye Politik

Sejak tiga tahun media sosial menjadi semakin tidak menyenangkan gara-gara Obama menggunakannya untuk kampanye Pilpres.  Orang Indonesia menjadikan contoh untuk pilpres 2014. Celaka benar karena pilihan hanya dua.  Silaturahim menjadi retak hanya karena suka atau tidak suka, bahkan ada yang mengunfriend. Loh, kalau tidak suka mengapa dulu mengiyakan atau meminta pertemanan?  Mengapa tidak ditolak dari awal?

Mutiple effect-nya bukan saja soal pertemanan, tetapi sistem sosial terguncang. Media mainstream rontok, karena anak muda lebih suka mendapatkan berita dari media sosial entah Facebook, Twitter atau apa.  Sekalipun berita itu hoax atau berita lama yang dipublikasi kembali. Celaka benar, berita SARA juga menyebar lewat media sosial dengan identitas akun palsu lebih dipercaya. 

Memang ada faktor lain beberapa bagian masyarakat akhirnya lebih percaya media sosial karena media mainstream dianggap bias atau berpihak.  Harusnya media mainstream itu walau punya ideologi tetap harus cover both sides.  Saya bekerja sebagai editor  di sebuah media online, tega mendrop  tulisan jurnalis yang tidak mau   konfirmasi pihak yang diserangnya. 

Media boleh punya ideologi, tetapi tetap harus mewawancarai pihak yang ingin dituding.  Sebagai contoh majalah Sabilli pada masa kejayaannya, walau “Islam Garis Keras” tetap mewawancarai seorang pendeta yang dituduh melakukan penyebaran agama. Masalahnya ini kurang dilakukan media mainstream.  Misalnya FPI hanya ditulis negatifnya, tetapi kiprah positifnya diabaikan. Jadi ada saluran kemarahan yang tersumbat. 

Apa pun itu media mainstream masih bisa dituntut pertanggungjawabannya karena orangnya ada. Alamatnya jelas.  Lain halnya dengan media online abal-abal  dengan para awaknya pakai inisial. Jadi kebijakan verifikasi oleh Dewan Pers percuma karena penyebar hoax bukan wartawan sejati yang sangat menjaga Kode Etik Jurnalistik.   

Apalagi media sosial yang bisa menggunakan akun palsu. Masih bagus kalau pemilik akun benar asli. Saya geli kalau ada yang  nggak suka pernyataan atau apa yang dishare pakai membajak akunnya. Padahal yang membuat pernyataan itu identitasnya asli. Kalau itu dilakukan, maka yang dibajak itu sebetulnya menang. Karena dia bisa membuat takut kepentingan tertentu terganggu. Yang seharusnya dilakukan mendebatnya terus menerus dengan identitas asli. Berani mengeluarkan pernyataan harus berani dikritik.

Kehadiran para buzzer dengan identitas palsu pula sudah menyebar bahkan sampai ke blogger.  Mulai dari Pilpres hingga Pilkada DKI Jakarta.  Tulisan yang menyangkut jagonya walaupun sebenarnya tidak dimaksudkan untuk keuntungan jago lain dianggap lawan.  Saya merasakan baik media sosial dari facebook, twitter hingga blogger ibaratnya sudah seperti Dewa Janus bermuka dua. Lebih buruk lagi Media Sosial seperti tokoh “Two Face” dalam Komik Batman, separuh buruk dan separuh utuh,

Terlalu mahal persahabatan yang dijalin sejak lama harus hancur hanya karena satu pilkada.  Kalau memang tidak mau berteman lagi, lakukan sejak awal. Bukan karena perbedaan politik putuskan pertemanan.   Kalau saya pemutusan pertemanan baru dilakukan kalau sudah ada komentar atau upaya  membully secara pribadi atau ke arah intimidasi. Alhamdullilah belum pernah terjadi.   

Namun untuk hengkang dari media sosial sampai saat ini bukan merupakan keputusan yang bijak. Komunikasi yang paling efesien dan efektif hingga saat itu memang menggunakan media sosial. Kontribusi positif dari media sosial, yaitu jejak sejarah pembelajaran yang bisa diwariskan ke generasi mendatang setidaknya bisa terekam.  

Yang harus dilakukan oleh pengelola media sosial verifikasi pemilik akun harus lebih ketat.  Jangan sampai muncul pemilik akun palsu yang tidak bisa dituntut pertanggungjawabannya.  Pengelola media juga harus melindungi privasi dan keamanan pemilik akun.  Intervensi terhadap apa yang dishare seorang pemilik akun  juga harus dipikirkan.  Jangan sampai Perang Dunia ke III  terjadi kontribusi dari media sosial.

Irvan Sjafari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun