Memang ada faktor lain beberapa bagian masyarakat akhirnya lebih percaya media sosial karena media mainstream dianggap bias atau berpihak. Harusnya media mainstream itu walau punya ideologi tetap harus cover both sides. Saya bekerja sebagai editor di sebuah media online, tega mendrop tulisan jurnalis yang tidak mau konfirmasi pihak yang diserangnya.
Media boleh punya ideologi, tetapi tetap harus mewawancarai pihak yang ingin dituding. Sebagai contoh majalah Sabilli pada masa kejayaannya, walau “Islam Garis Keras” tetap mewawancarai seorang pendeta yang dituduh melakukan penyebaran agama. Masalahnya ini kurang dilakukan media mainstream. Misalnya FPI hanya ditulis negatifnya, tetapi kiprah positifnya diabaikan. Jadi ada saluran kemarahan yang tersumbat.
Apa pun itu media mainstream masih bisa dituntut pertanggungjawabannya karena orangnya ada. Alamatnya jelas. Lain halnya dengan media online abal-abal dengan para awaknya pakai inisial. Jadi kebijakan verifikasi oleh Dewan Pers percuma karena penyebar hoax bukan wartawan sejati yang sangat menjaga Kode Etik Jurnalistik.
Apalagi media sosial yang bisa menggunakan akun palsu. Masih bagus kalau pemilik akun benar asli. Saya geli kalau ada yang nggak suka pernyataan atau apa yang dishare pakai membajak akunnya. Padahal yang membuat pernyataan itu identitasnya asli. Kalau itu dilakukan, maka yang dibajak itu sebetulnya menang. Karena dia bisa membuat takut kepentingan tertentu terganggu. Yang seharusnya dilakukan mendebatnya terus menerus dengan identitas asli. Berani mengeluarkan pernyataan harus berani dikritik.
Kehadiran para buzzer dengan identitas palsu pula sudah menyebar bahkan sampai ke blogger. Mulai dari Pilpres hingga Pilkada DKI Jakarta. Tulisan yang menyangkut jagonya walaupun sebenarnya tidak dimaksudkan untuk keuntungan jago lain dianggap lawan. Saya merasakan baik media sosial dari facebook, twitter hingga blogger ibaratnya sudah seperti Dewa Janus bermuka dua. Lebih buruk lagi Media Sosial seperti tokoh “Two Face” dalam Komik Batman, separuh buruk dan separuh utuh,
Terlalu mahal persahabatan yang dijalin sejak lama harus hancur hanya karena satu pilkada. Kalau memang tidak mau berteman lagi, lakukan sejak awal. Bukan karena perbedaan politik putuskan pertemanan. Kalau saya pemutusan pertemanan baru dilakukan kalau sudah ada komentar atau upaya membully secara pribadi atau ke arah intimidasi. Alhamdullilah belum pernah terjadi.
Namun untuk hengkang dari media sosial sampai saat ini bukan merupakan keputusan yang bijak. Komunikasi yang paling efesien dan efektif hingga saat itu memang menggunakan media sosial. Kontribusi positif dari media sosial, yaitu jejak sejarah pembelajaran yang bisa diwariskan ke generasi mendatang setidaknya bisa terekam.
Yang harus dilakukan oleh pengelola media sosial verifikasi pemilik akun harus lebih ketat. Jangan sampai muncul pemilik akun palsu yang tidak bisa dituntut pertanggungjawabannya. Pengelola media juga harus melindungi privasi dan keamanan pemilik akun. Intervensi terhadap apa yang dishare seorang pemilik akun juga harus dipikirkan. Jangan sampai Perang Dunia ke III terjadi kontribusi dari media sosial.
Irvan Sjafari